TRIPANJI PERSATUAN NASIONAL

1. HAPUSKAN HUTANG LUAR NEGERI 2. NASIONALISASI INDUSTRI ASING 3. INDUSTRIALISASI NASIONAL

06 Januari 2011

“Sehari Tanpa Beras,” Kampanye Sesat Kaum Neoliberal


Untuk kesekian kalinya dalam masa pemerintahan SBY-Budiono, kampanye menyesatkan dibuat untuk menutupi kegagalan pemerintah untuk mensejahterakan rakyat. Semenjak 14 oktober 2010, pemerintah secara resmi telah meluncurkan kampanye “sehari tanpa beras” (one day no rice), yang dimaksudkan untuk mengurangi konsumsi beras dan memperkuat ketahanan pangan.

Padahal, tidak jauh dari bulan oktober, yaitu tanggal 26 Agustus 2010, Kepala Pusat Distribusi Pangan Badan Ketahanan Pangan, Arman Moenek, menyatakan bahwa produksi beras Indonesia akan mengalami surplus 5,6 juta ton, sehingga tidak perlu impor beras (Sumber: Vivanews.com).

Kemudian, pada tanggal 29 November 2010, Menteri Pertanian Suswono menyatakan bahwa produksi padi nasional bisa mencapai prediksi BPS, yaitu sebesar 2.64 persen dari target 3,20 persen atau sebanyak 66 juta ton beras. “Dengan bertambahnya lahan pertanian, stok Pangan Nasional tidak menuai kendala dan diprediksi mengalami surplus 4 juta ton setara beras,” demikian disampaikan Sang Menteri.

Beberapa bulan terakhir ini, harga besar di pasar dalam negeri memang mengalami kenaikan hingga dua kali lipat. Pemerintah menyimpulkan bahwa penyebab kenaikan harga ini adalah keadaan cuaca yang kurang menguntungkan, sehingga mempengaruhi produksi padi. Oleh karena itu, dengan maksud menghemat stok pangan nasional, maka pemerintah pun menggencarkan kampanye “One Days No Rice” dalam setahun ini. Tidak tanggung-tanggung, jika kampanye ini sukses dilakukan, maka pemerintah bermimpi bisa menghemat stok beras sebesar 1,1 juta ton.

Nasi merupakan makanan pokok bagi Rakyat Indonesia. Orang baru dianggap sudah selesai makan jika sudah memakan nasi. Lebih dari itu, nasi sudah menjadi bagian relasi sosial-produksi masyarakat Indonesia, setidaknya sebagai peninggalan masyarakat agraris.

Apa yang perlu diketahui di balik kebijakan ini? pertama, kampanye ini adalah sangat membodohi dan menyesatkan. Adalah tidak terbantahkan, dan tentu ini tidak bisa ditutup-tutupi, bahwa pemerintah tidak bisa mewujudkan ketahanan pangan, juga tidak punya komitmen untuk membangun dan mengembangkan sektor pertanian.

Meskipun ada dampak perubahan cuaca, tetapi jika pemerintah membekali kaum tani dengan modal, teknologi, dan jaminan pasar, maka hal itu tidak akan membuat petani menelan kerugian, dan sebaliknya, akan memicu produktifitas pertanian.

Apa yang dilakukan SBY justru sebaliknya, yaitu mencabut subsidi pertanian, menutup akses modal bagi petani, dan membiarkan hasil produksi petani tergilas oleh beras impor dari berbagai negara.

Kedua, harga beras di pasar internasional pun sedang melonjak sangat tinggi akibat kegagalan panen di sejumlah negara, yakni berkisar 500 USD per-ton. Krisis pangan ini bukan hanya karena persoalan bencana alam, tetapi juga karena krisis ekologi dan permainan perusahaan agrobisnis besar.

Dari kenyataan di pasar internasional itu, saya mengendus sebuah pernyataan Menteri Pertanian yang berkata, “mengurangi konsumsi beras dapat meningkatkan ketahanan pangan, dan setelah itu, dapat mendorong ekspor beras ketika sudah surplus.” Maksud pernyataan ini dapat ditafsirkan, “bahwa pemerintah Indonesia meminta rakyat Indonesia untuk mengurangi konsumsi beras agar supaya beras itu dapat diekspor ke pasar internasional.”

Kita sedang berada dalam dunia yang sangat brutal, dimana jutaan kaum tani terancam musnah karena harga jual pangan mereka terlalu murah, sementara segelintir orang berlimpah kekayaan karena menikmati untung dari harga pangan yang sangat tinggi di pasar internasional.

Itulah yang terjadi di negeri kita. Karena pasar beras di dalam negeri sudah terkoneksi dengan pasar internasional, maka harga beras setinggi apapun tidak ada hubungannya dengan peningkatan penghasilan petani.

Padahal, ketika Indonesia baru saja merdeka dan saat itu sedang berada dalam kepungan kolonial Belanda, bangsa Indonesia justru mengirimkan bantuan beras sebanyak 500 ribu ton kepada rakyat India. Jika dijaman kita sedang berevolusi saja masih bisa mengirim beras ke negara sekawan, kenapa di jaman sekarang ini kita tidak bisa memproduksi beras dalam jumlah lebih banyak?

Ini salahnya pemerintah kita sendiri, bukan kesalahan siapa-siapa. Presiden SBY sangat suka menjadi budak negeri-negeri imperialis, dan sebagai konsekuensinya, harus menjalankan kebijakan neoliberal di Indonesia. Neoliberalisme ini sangat menghancurkan sektor pertanian, yakni melalui penghapusan subsidi pertanian, liberalisasi impor beras, perampasan tanah rakyat, dan lain sebagainya.

0 komentar:

Posting Komentar

Segala kritikan, cacian , makian dsb selalu diterim kirim juga pesan tau call : 0812 6034 7147 / 0819 3426 3185

Perfect Day

BTricks


ShoutMix chat widget

Pengunjung

PENGUNJUNG

free counters