Saudara-saudara sekalian
Saya diminta untuk memberikan wejangan sekadarnya resepsinya dalam pendahuluan daripada kongres Partindo ini.
Wejangan atau pidato biasanya dimulai dari beberapa sudut. Dari sudut apa saya harus mulai pidato saya ini? Saya kira lebih baik saya mulai pidato saya ini dari sudut apa yang telah dikatakan apa yang dikatakan oleh saudara Asmara Hadi dan saudara Winoto, yang mengatakan bahwa Partindo berdiri diatas dasar Marhaenisme ajaran bung Karno. Malahan saudara Winoto ditandas-tandaskan beberapa kali, Marhaenisme Partindo adalah Marhaenisme ajaran bung Karno, Marhaenisme ala Sukarno, Marhanisme ala bung Karno. Itu beberapa kali ditandas-tandaskan. Sampai rasanya juga masuk tulang sumsum saya saudara-saudara. Masuk tulang sumsum saya.
Kemudian saya ngerogoh salira, meriksa saya punya diri sendiri. ”He Sukarno! Engkau diperingatkan oleh Asmara Danuwinoto, bahwa yang harus dipakai sebagai dasar, dus harus dilaksanakan adalah Marhanisme ala Sukarno. Sekarang Sukarno bertanya kepada Sukarno, apakah engkau menjalankan Marhaenisme ala Sukarno apa tidak? Itulah ragahan salira saya, waktu saya duduk disana mendengarkan pidatonya saudara Asmara Hadi dan saudara Asmoro Danuwinoto…..
Saudara-saudara menurut keyakinan saya, saya bediri melaksanakan Marhaenisme ala Sukarno. Sebab sebagai tadi dikatakan oleh Saudara Asmara Hadi, Marhaenisme adalah Marxisme yang dijalankan Indonesia.
Saya bertanya: He Sukarno, apakah engkau menjalankan Marhaenisme di Indonesia? Ya, kataku.
Nah, lantas urutan yang lain ialah, dua orang menamakan dirinya Marhanis. Tetapi tidak menjalankan Marxisme di Indonesia, apakah dia Marhaenisme apa tidak? Saya bilang bukan! Orang demikian itu Marhaenisme gadungan ! saudara-saudara.
Ada lagi pertanyaan: kalau Marxisme sejati, apakah Marxis sejati itu radikal revolusioner apa tidak ? saya kata, ya. Marxis sejati adalah radikal revolusioner. Dus orang yang menyebut dirinya radikal revolusioner tapi tidak Marxistis, apakah dia benar-benar radikal revolusioner? Saya berkata, tidak! Orang yang demikian itu, yang tidak radikal, tidak revolusioner adalah Marxisme gadungan.
Ada lagi urutan lain, kalau Marxis sejati, apakah dia menderita penyakit komunistophobi apa tidak. Dus, orang yang tidak menyebutkan dirinya Marxis, tetapi dia menderita penyakit komunistophobi, dia itu ? Marxis gadungan.
Nah, ini saya petani (teliti) saya punya diri sendiri. Saya ini Marhaenis, ya apa tidak? Ya. Saya ini menderita komunistophobi apa tidak? Tidak.
Nah, saya minta juga di dalam Partindo jangan ada orang yang menderita komunistophobi.
Dulu didalam kongres PNI saya pernah berkata, awas ada makelar gelap lho! Sekarang kepada kongres Partindo pun ada makelar-makelar gelap, sebab, makelar gelap itu dimana-mana ada. Karena itu, kita harus waspada benar, kata saudara Danuwinoto itu.
Saudara-saudara mengetahui, bahwa sebagai sebagai sudah saya katakan di dalam pidato saya pada hari ibu, revolusi Indonesia itu sekarang sedang memuncak lagi. Revolusi, kataku, tidak pernah dan tidak bisa, tidak dapat mandeg. Kalau sesuatu revolusi mandeg, maka itu bukan revolusi. Itu sekedar revolusi-revolusian, revolusi bikinan manusia, ya gadungan.
Tadi pak Winoto berkata, Partindo misalnya bukan bikinannya Winarno, bukan bikinannya Asmara Hadi, bukan bikinannya Winoto, bukan bikinannya siapa pun. Partindo, pak Winoto, adalah hasil daripada proses masyarakat. Benar kata pak Winoto itu.
Maka demikian pula revolusi. Revolusi bukan bikinan manusia, malah saya sebagai Marxis men-siteer Karl Marx itu berkata, bahwa revolusi bukanlah anggitan daripada seseorang didalam satu malam yang ia tidak bisa tidur. Ya ini perkataan Marx, revolusi bukanlah anggitan daripada seseorang, kata dalam bahasa asingnya, ”in een slapelozemacht”.
Maka demikian pula revolusi Indonesia bukan anggitan daripada seseorang manusia “in een slapezo macht”. Bukan bikinan Sukarno, bukan bikinan siapa pun, tetapi revolusi Indonesia, oleh karena revolusi Indonesia adalah benar-benar revolusi dan bukan revolusi gadungan, adalah hasil daripada satu “maatschappelijk process”, satu proses daripada masyarakat yang akhirnya meledak sebagai revolusi.
Nah kataku, revolusi yang demikian itu tidak mandeg, revolusi yang demikian itu berjalan terus sampai ia mencapai tujuan daripada proses masyarakat itu. Hanya benar jikalau orang berkata, suatu revolusi itu mengalami ups and down. Pasang naik dan pasang surut, pasang naik, pasang surut, pasang naik, pasang surut, tetapi pasang naik dan pasang surut tak lain bukanlah ialah laksana naik dan turunnya gelombang-gelombang didalam satu samudra yang maha sakti. Tetapi samudranya tetap ada dan akhirnya samudranya menjalankan darma baktinya sebagai samudra pula. Maka revolusi kita saudara-saudara, tidak pernah mandek, tidak akan mandek, tetapi akan mengalami ups and down, pasang naik, pasang surut, pasang naik, pasang surut.
Saudara-saudara mengetahui bahwa kita mengalami pasang naiknya revolusi kita sejak 17 agustus 1945 sampai pada akhir tahun 1949. Kemudian mengalamilah kita pasang surut, 1950 sampai kepada 1957. Alhamdulillah kita mengalami lagi pasang naik, dan pasang naik memuncak sekarang ini kepada persoalan Irian Barat.
Didalam alam pasang naik inilah saudara-saudara, kita harus dapat menempatkan kita punya diri didalam naiknya pasang revolusi Indonesia ini, kita akan tenggelam didalam revolusi, tenggelam dalam arti hilang. Tenggelam didalam arti kita digiling sama sekali oleh revolusi ini. Revolusi tenggelam didalam revolusi itu, hilang, sebagai sampah yang hilang ditelan samudera.
Nah, soal Irian Barat adalah demikian saudara-saudara. Saudara mengetahui segala saja-saja yang ikut-mengikuti satu sama lain daripada persoalan Irian Barat dan akhirnya kita menjalankan konfrontasi politik. Tidak perlu saya ulangi, semua saudara sudah mendengarkan pidato saya pada tanggal 11 desember yang lalu di Yogyakarta. Saudara-saudara bisa mendengarkan pidato saya dihadapan kaum wanita pada hari ibu. Jalannya gelombang perjuangan kita memasukkan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan republik saudara-saudara telah mengetahui semuanya. Dan akhirnya, kita pada saat sekarang ini mencapai satu tingkat yang tinggi dalam perjuangan itu.
Maka saudara-saudara, saya berkata dalam Kongres Gerwani dengan tegas agar supaya benar-benar kita memasukkan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan republic, maka kita harus menyelenggarakan satu persatuan total. Satu persatuan total, persatuan daripada segenap tenaga yang ada didalam bangsa kita Indonesia ini. Maka disinilah tempatnya pengertian benar-benar akan salahnya sesuai phobi.
Kalau orang bicara tentang persatuan total, jangalah bicara tentang phobi. Jangan kita menderita komunistophobi, jangan kita menderita nationalistophobi, jangan kita menderita islamophobi. Persatuan total hanyalah bisa kita selenggarakan benar-benar jikalau tidak ada manusia diantara bangsa Indonesia ini menderita suatu phobi.
Saya lihat kedalam nasionalis menderita islamtophobi. Hilangkan penderitaan yang demikian itu. Ada yang menderita dikalangan kaum nasionalis, komunistophobi. Hilangkan yang demikian itu, juga dalam Partindo. Sebab saya tahu, bung Karno ini meskipun sudah tua, 60 tahun, mungkin karena oleh bung Karno ini presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republic Indonesia, sekarang malah dikatakan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, ditambah lagi dengan title baru lagi Pemimpin Besar Pengerahan Tenaga untuk memasukkan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan republic. Mungkin karena itu, bung Karno ini tua-tua matanya seribu saudara-saudara, mata seribu, telinga dua ribu. Dan dengan mata seribu, telingan dua ribu itu bung Karno mengetahui bahwa didalam Partindo pun ada orang-orang yang menderita komunistophobi. Dengan terus terang saja saudara-saudara, didalam Partindo juga ada makelar-makelar gelap. Dan makelar-makelar gelap ini harus kita keluarkan dari Partindo. Makelar gelap daripada orang-orang yang yaitu “jangan sampai….komunistophobi, katanya ini, jangan sampai dapat pengaruh besar….he, Partindo jangan terlalu rapat sama PKI”.
Ini zaman bukan phobi-phobian, ini adalah zaman untuk mengadakan persatuan total diantara bangsa Indonesia. Saya menghendaki kepada PNI jangan menderita komunistophobi, saya minta kepada PNI jangan menderita komunistophobi, saya minta kepada Nahdatul Ulama jangan menderita nasionalistophobi, saya minta kepada Nahdatul Ulama jangan menderita komunistophobi, jangan ada phobi-phobian. Saya ulangi lagi bagaimana kita bisa menggembleng persatuan total jikalau kita masih phobia-phobian.
Nah, jikalau itu terang saudara-saudara, maka marilah kita laksanakan kita punya darma didalam sejarah, antara lain, saya kata, antara lain masukkan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan republic. Satu darma lain ialah untuk nanti membikin kuat kita punya Negara republic Indonesia kesatuan ini. Dharma lain ialah menyelenggarakan suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang dengan tegas saya katakan ini adalah masyarakat sosialis. Dharma lain ialah untuk membangun satu dunia batu menurut kerangka nomor tiga daripada dharma bakti bangsa Indonesia.
Saudara-saudara dalam menjalankan dharma-dharma kita itu kita harus benar-benar berdiri diatas kewajiban-kewajiban yang diletakkan oleh sejarah diatas pundak kita.
Maka saudara-saudara, saya ulangi apa yang saya katakan dihari ibu. Sekarang pun habis waktunya untuk hanya pernyataan-pernyataan dukungan-dukungan. Komando Rakyat kami dukung sepenuhnya.
Saya tadi mengucapkan syukur Alhamdulillah, bahwa ucapan saudara Asmara Hadi sebenarnya dikoreksi oleh saudara Winoto. Pak Asmara ucapkan oleh presiden. Taat, taat itu seperti “inggih, semuhun dawuh”, abdi nah taat, nuwun inggih, dalem taat. Saya minta Partindo bukan hanya taat kepada Komando Rakyat yang diucapkan presiden pada tanggal 19 desember yang lalu, tetapi bahwa itu sebenarnya adalah pengutaraan dari hati Partindo sendiri. Lantas dikatakan pak Winoto tadi, malahan Partindo berjalan dimuka bung Karno. Ya memang, tetapi saya pun minta, jangan hanya Partindo saja berjalan dimuka bung Karno. Ya memang, tetapi juga saya minta, jangan hanya Partindo saja berjalan dimuka bung Karno, PKI dimuka bung Karno, PNI dimuka bung Karno, NU dimuka bung Karno, Sobsi dimuka bung Karno, seluruh rakyat Indonesia dimuka bung Karno. Sebab saudara-saudara, politik pada waktu sekarang ini sudah mencapai satu tingkat lagi yang lebih tinggi daripada yang biasa. Dulu, apa yang dinamakan politik? Politik dulu itu yah, siapa yang menulis disurat kabar…….politik……..adalagi, kalau ada orang pidato……..politik. sekarang ini sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi. Ingat, tahun 1927, 34 tahun yang lalu saya peringatkan buat pertama kali didalam pidato kursus saya di Cilentah-saya ingat benar, ya Cilentah Bandung-bahwa politik adalah sebagai yang sekarang saya ulangi beberapa kali, penyusunan tenaga dan penggunaan tenaga, ”machtsvorming dan machtsontplooing”. Sehingga saya berkata, siapa yang mengatakan dia menjalankan politik, tapi tidak menyusun macth, tidak menjalankan machtsvorming dan machtsontplooing, orang yang demikian itu, kataku, sekedar menjalankan politik-politikan.
*) Pidato Bung Karno di depan peserta Kongres Partindo, di Gedung Olahraga, Jakarta, tanggal 26 Desember 1961.
0 komentar:
Posting Komentar
Segala kritikan, cacian , makian dsb selalu diterim kirim juga pesan tau call : 0812 6034 7147 / 0819 3426 3185