Oleh : KPP-PRD
NOMOR: 007/KPP PRD/I/D/XII/2010
TAHUN 2010:
Tiga Serangan Neoliberal Terhadap Kepentingan Nasional Indonesia
Pada akhir 2009, pasangan SBY-Budiono dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Tidak lama kemudian, kasus kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century mendorong krisis terhadap pemerintahan baru. Sebagian partai dalam koalisi pemerintah berselisih faham mengenai persoalan ini, sementara pemerintahan baru terus terpojok.
Akan tetapi, tidak lama pula dari kejadian itu, berdirilah “Sekretariat Gabungan” (Setgab), sebuah pewadahan baru bagi kekuatan-kekuatan politik yang mendukung rejim neoliberal, SBY-Budiono. Dengan segala cara yang mungkin, Setgab ini telah bertindak sebagai katalisator untuk menciptakan kestabilan politik, sehingga memberi “kesempatan” kepada rejim neoliberal untuk bekerja.
Dan, memang benar sekali, pasca pembentukan setgab itulah rejim neoliberal baru memulai apa yang disebut “opensif neoliberal”, yaitu periode dimana serangan neoliberal jauh lebih dahsyat dan mendalam dibandingkan sebelum-sebelumnya. Ada tiga serangan neoliberal yang paling dashyat pada tahun 2010, yaitu:
Serangan terhadap perekonomian nasional:
1. Kenaikan harga tarif dasar listrik (TDL) pada bulan Juli 2010, yang menurut pengkajian Apindo, melebihi 18%. Kenaikan ini bukan hanya membuat konsumen rumah tangga berteriak, tetapi juga sangat menyiksa jutaan usaha mikro dan menengah (UMKM) dan industri nasional.
2. Penambahan secara signifikan jumlah utang baru, yang sekarang ini totalnya sudah menghampiri Rp2000 trilyun. Pada tahun 2010, paska terbentuknya setgab, SBY langsung mendapatkan komitmen utang sebesar 800 juta USD dari tiga lembaga imperialis, yaitu Japan International Cooperation Agency (JICA), Agence Française de Développement (AFD), dan Bank Dunia. Dan, menjelang penutup tahun 2010, SBY kembali dapat pinjaman baru dari ADB sebesar 200 juta USD.
3. Program privatisasi terhadap sejumlah BUMN strategis, terutama sekali, PT. Krakatau Steel (penguasa baja nasional), PTPN III, IV, VII (penguasa sektor perkebunan/agrobisnis), dan dua raksasa perbankan nasional, Bank Mandiri dan Bank BNI. Pada tahun 2010 ini, rejim SBY-Budiono berusaha memastikan privatisasi terhadap delapan BUMN, yaitu PTPN III, PTPN IV, PTPN VII, PT C Phrimissima, PT Kertas Padalarang, PT sarana Karya, Bank Mandiri, dan Bank BNI.
4. Penghancuran terhadap ekonomi rakyat, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan kaum tani, melalui kebijakan perdagangan bebas. Pada tahun 2010, bersamaan dengan diberlakukannya China-ASEAN Free Trade Area(CAFTA), sektor UMKM Indonesia seperti digiring ke liang pembantaian. Sementara itu, pasar rakyat mendapat pukulan keras akibat ekpansi ritel-ritel raksasa asing, seperti Carrefour, Giant, Hypermart, 7-eleven, Circle K, Lotte Mart, dan lain-lain.
5. Kebijakan liberalisasi impor dari negara-negara maju, termasuk beras, yang menyebabkan kejatuhan pasar bagi beras para petani. Indonesia, tanpa diketahui secara luas, telah masuk dalam skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT), yang mengharuskan penghapusan bea-impor hingga nol persen.
6. Sebagian besar ekonomi Indonesia telah dikuasai oleh kaum kapitalis besar asing, terutama kapitalis besar dari Amerika, Eropa, dan Jepang. Penguasaan itu meliputi bagian terbesar dari perusahaan industri, perdagangan, dan keuangan: bank-bank, pabrik-pabrik, tambang2, pengangkutan, perkebunan, dsb. Dengan dikuasainya perbankan dan pasar modal (lebih dari 60%), maka pihak asing sudah mengontrol sebagian besar kapital di dalam negeri. Dan, dengan begitu pula, maka sebagian besar keuntungan dari aktivitas ekonomi di dalam negeri telah diangkut ke negeri-negeri imperialis.
7. Makin kuatnya apa yang disebut Mohammad Hatta sebagai perang psikologi di lapangan ekonomi, seperti kampanye bahwa orang Indonesia belum sanggup untuk mengelola sendiri sumber daya alamnya, dsb. Ada juga perang dagang yang dibungkus dengan isu kesehatan, seperti kasus rokok kretek dan Mie Instant, yang kesemuanya itu hendak membunuh industri dalam negeri.
Serangan terhadap sistim politik dan kehidupan demokrasi: pendirian sekretariat gabungan bukan hanya untuk mewadahi kekuatan politik pendukung pemerintah, tetapi juga untuk mengkanalisasi kekuatan oposisi, baik di parlemen maupun di luar parlemen.
1. Menguapnya kasus bank century sebagai hasil kompromi politik di dalam Setgab, KPK, dan pemerintahan SBY-Budiono. Sebagai hasil komprominya: kasus bank century dibiarkan menguap, tetapi Sri Mulyani dilengserkan dari jabatannya sebagai Menkeu.
2. Praktik pemberantasan korupsi yang tebang pilih, yang sasarannya hanya politisi atau pelaku korupsi di luar Setgab, sementara koruptor di dalam partai demokrat tidak tersentuh proses hukum. Tidak salah kemudian jika sebagian orang menganggap bahwa partai demokrat adalah “bungkernya para koruptor”.
3. Pihak asing semakin dominan dalam mengintervensi pembuatan UU atau kebijakan politik di parlemen maupun eksekutif. Pada bulan Agustus 2010 lalu, politisi asal PDI Perjuangan, Eva Kusumah Sundari, menemukan indikasi 76 UU yang yang dikonsultani atau sarat dengan campur-tangan asing.
4. Salah satu “buah paling pahit” dari persekutuan Setgab adalah lahirnya UU No 51Tahun 2010 tentang Partai Politik. UU ini bukan saja menyederhanakan jumlah parpol untuk kompetitor pemilu, tetapi juga memperberat pendirian partai politik itu sendiri.
Serangan terhadap karakter dan jiwa bangsa:
1. Menguatnya provokasi untuk memecah belah persatuan nasional, yang dijalankan dengan cara memunculkan kembali pengkotak-kotakan menurut suku, agama, dan ras (SARA). Berbagai kasus penyerangan terhadap kebebasan beragama, kaum minoritas, dan kelompok sosial tertentu, karena tidak direspon dengan baik oleh pemerintahan SBY-Budiono dengan baik, menunjukkan bahwa rejim neoliberal mengambil keuntungan dalam kasus ini.
2. Sistim pendidikan dibawah dekapan sistim neoliberal, selain menyebabkan komersialisasi dan mahalnya dunia pendidikan, juga menghilangkan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan dalam pengajaran.
3. Promosi individualisme dan komsumerisme yang sangat gencar, di segala aspek kehidupan sosial, menyebabkan rakyat berubah menjadi inidvidualis, apatis, pragmatis, dan kurang tertarik untuk memperjuangkan kepentingan kolektif.
Jika selama satu dekade terakhir serangan neoliberal sudah terasa hingga di leher rakyat, maka pada tahun 2010 ini serangan neoliberal sudah mencapai dagu dan sebentar lagi tenggelam sama sekali. Boleh jadi di masa sebelumnya sebagian orang belum menyadari hadirnya hadirnya penjajahan baru di negeri kita, tetapi pada tahun 2010 semua itu sudah nyata dan sangat konkret.
Disamping itu, sebagai bagian dari usaha untuk mereproduksi sistem politik yang sanggup mewadahi serangan yang lebih deras ini, maka sistim politik telah dibuat sesederhana mungkin agar tercipta stabilitas sosial-politik.
Akan tetapi, situasi politik juga menunjukkan bahwa imbangan kekuatan masih dipegang oleh kekuatan neoliberal dan sekutunya, sementara gerakan oposisi belum memperlihatkan daya politiknya untuk melakukan terobosan. Kaum oposisi di parlemen, yang sedari awalnya memang salah lemah secara politik, sangat mudah dijinakkan dalam “kompromi-kompromi politik”. Sementara oposisi jalanan juga belum memperlihatkan signifikansi politiknya dalam menghalau atau menghentikan kebijakan-kebijakan neoliberal.
Dihadapkan dengan situasi yang kurang menguntungkan ini, sekaligus sebagai harapan di tahun baru mendatang, PRD mengajak gerakan rakyat dan gerakan politik lain yang anti-imperialisme dan anti-neoliberal, untuk:
1. Menyerukan kepada seluruh gerakan rakyat dan kekuatan-kekuatan politik nasional untuk segera mengkonkretkan pembangunan front persatuan nasional. Front persatuan ini akan menjadi alat politik untuk mengimbangi Setgab dan mendorong imbangan kekuatan bergeser ke kubu anti-neoliberalisme.
2. Menyerukan kepada seluruh gerakan rakyat dan gerakan politik yang ada untuk mulai mengambil dan memaksimalkan seluruh ruang politik, mulai dari pemilihan ketua RT/RW hingga pemilu presiden, untuk menciptakan syarat-syarat bagi sebuah transformasi sosial.
3. Menyerukan kepada seluruh gerakan rakyat dan kekuatan politik nasional untuk mengambil peran aktif dalam mengorganisir dan mengorganisasikan perjuangan rakyat, termasuk dengan menciptakan ruang-ruang partisipatoris dan konsultasi kerakyatan (survey, referendum, mosi tidak percaya, dsb).
4. Menyerukan kepada rakyat Indonesia, terutama sekali kaum buruh, petani, dan mahasiswa, untuk membangun unit-unit produksi yang dijalankan secara kolektif seperti koperasi dan sejenisnya.
Untuk menghadapi situasi yang berat tetapi terang hari depannya ini, PRD telah mengambil slogan dari seorang pejuang partai sebelumnya: “Bukan saatnya lagi kita hanya melancarkan kritik dan kebusukan kapitalisme, tetapi sudah saatnya memburu kapitalisme hingga ke liang kuburnya.”
Demikian, PRD berharap bahwa tahun 2011 akan menjadi tahun dimana kita bisa menyaksika pasang perlawanan rakyat.
Jakarta, 30 Desember 2010
Dikeluarkan secara resmi oleh:
==============================
Komite Pimpinan Pusat- Partai Rakyat Demokratik
KPP-PRD
Jln. Tebet Dalam II.G Nomor 1, Jakarta Selatan, Telp.021-8354513
0 komentar:
Posting Komentar
Segala kritikan, cacian , makian dsb selalu diterim kirim juga pesan tau call : 0812 6034 7147 / 0819 3426 3185