TRIPANJI PERSATUAN NASIONAL

1. HAPUSKAN HUTANG LUAR NEGERI 2. NASIONALISASI INDUSTRI ASING 3. INDUSTRIALISASI NASIONAL

07 Januari 2011

Catatan Akhir Tahun 2010






Oleh Redaksi Berdikari Online


Catatan Akhir Tahun 2010


Situasi Politik Internasional


Tahun 2010 diwarnai oleh berbagai macam krisis yang dipicu oleh intervensi imperialisme AS dan sekutunya. Ancaman perang nuklir di semenanjung Korea dan Iran meningkat sepanjang tahun ini. Krisis di Korea bahkan semakin menghawatirkan dengan meletusnya beberapa kali kontak senjata, berlanjutnya provokasi AS seperti dalam latihan perangnya dengan Korea Selatan. Di sekitar Asia Barat – atau yang lebih dikenal dengan Timur Tengah – kekerasan politik terus berlanjut di Irak maupun Pakistan dan Afghanistan. Kepentingan AS di wilayah yang strategis dan kaya minyak ini mendorongnya untuk menjaga keberadaan basis militernya di wilayah sekitarnya, seperti di negeri-negeri Asia Tengah, sehingga dukungannya terhadap rejim korup yang mengakomodasi kepentingan AS, seperti rejim Bakiyev di Kyrgyztan, sering menyebabkan pergolakan politik yang disertai konflik etnis dan berakibat menghambat kemajuan gerakan demokratik.

Lebih dekat dengan tanah air, konflik hebat terjadi di Thailand sepanjang April dan Mei. Ini berujung dengan pertumpahan darah di pusat kota Bangkok antara militer dan massa aksi “kaus merah”. Kaum kaus merah menuntut kebebasan demokratik yang dikekang oleh pemerintahan militeristik yang didukung kaum monarki. Sementara di Burma, setelah digelarnya pemilu pada bulan November – pemilu yang dinilai penuh kecurangan dan memenangkan kembali partai pendukung kaum junta berkuasa – pemerintah Burma membebaskan tokoh oposisi terkenal Aung San Suu Kyi. Perkembangan di Asia khususnya menunjukan pertarungan dominasi antara imperialisme AS dan Tiongkok yang kini berkembang pesat sebagai adidaya baru.

Persaingan antara AS dan Tiongkok saat ini masih berada pada tataran ekonomi dan belum menunjukan konflik terbuka dan bersenjata, meskipun hal ini bukan berarti mustahil terjadi di masa depan. AS dan negeri-negeri sekutunya di Eropa Barat yang tergabung dalam NATO (Organisasi Kesepakatan Atlantik Utara) masih dirundung oleh krisis ekonomi terutama sejak keruntuhan finansial 2008. Krisis ini menyebabkan penyusutan pasar di AS dan Eropa Barat yang sebelumnya menjadi tujuan utama ekspor barang-barang yang diproduksi di Tiongkok. Dalam mengatasi krisis ini, negeri-negeri Barat termaju – seperti biasa – mendorong kebijakan-kebijakan yang menekan defisit anggaran, terutama melalui jalur pengetatan atau penstrukturan.

Secara global arah kebijakan neoliberal ini disepakati melalui pertemuan Kelompok-8 (G-8) di antara 8 negeri-negeri industri termaju. Hasil dari pertemuan ini kemudian didesakkan kepada negeri-negeri berkembang penting lainnya – termasuk Indonesia – yang tergabung dalam Kelompok 20 (G-20). Pola konsolidasi kebijakan imperialis neoliberal ini terlihat dalam pertemuan G-8 dan G-20 di Toronto, Kanada, pada bulan Juni ini. Pertemuan G-8 Pada bulan November kelompok G-20 kembali melakukan pertemuan di Seoul, Korea Selatan. Seperti biasa, pertemuan-pertemuan tingkat tinggi ini disambut dengan perlawanan aksi-aksi massa.

Tidaklah berlebihan untuk menggambarkan tahun 2010 sebagai tahun aksi protes melawan kebijakan neoliberal. Negeri kelahiran Ilmu Filsafat, Yunani, menjadi ajang pertempuran jalanan paling sengit antara aksi rakyat terorganisir dengan kaum neoliberal yang hendak menerapkan kebijakan pengurangan defisit dengan memotong subsidi. Patut dicatat bahwa pergolakan di negeri ini turut didalangi oleh kaum bankir dan investor asing yang secara mendadak menutup aliran dana kredit ke negeri itu dan memaksakan restrukturisasi ekonomi yang lebih ‘ramah investasi’. Pada bulan Mei pertarungan jalanan memuncak di Yunani dan setidaknya tiga orang tewas akibat terperangkap dalam bank yang sedang terbakar. Mantan menteri keuangan Yunani, Kostas Hatzidakis, turut menjadi korban protes rakyat setelah berdarah-darah dipukuli pendemo dan diteriaki maling. Setelah melakukan pemotongan defisit yang menjatuhkan banyak korban tersebut, pemerintah Yunani pun masih belum mendapat kepastian bahwa investasi akan kembali datang untuk menyelamatkan ekonomi mereka. Di Spanyol, perlawanan serupa terjadi pada bulan September dan diwarnai oleh pemogokan umum selama 24 jam.

Di Perancis, demonstrasi demi demonstrasi pada bulan Oktober melibatkan jutaan orang dan melumpuhkan negeri itu. Aksi protes ini dipicu oleh kebijakan pemerintahan Sarkozy yang hendak menaikan usia pensiun sebesar dua tahun, sehingga mewajibkan warga untuk bekerja untuk waktu yang lebih lama. Suasana perlawanan ini bahkan merambah hingga ke Inggris Raya yang pada bulan November menjadi panggung dari aksi-aksi protes besar mahasiswa yang diwarnai oleh sejumlah kekerasan terutama oleh aparat.

Di sisi lain, negeri-negeri di Eropa maupun di Amerika Utara menunjukan polarisasi di antara kekuatan kanan yang anti-imigran. Partai-partai kanan jauh mencatat kemajuan dalam perolehan suara di negeri-negeri Eropa seperti Belanda, Swedia, Perancis, Inggris, dan AS dengan Tea Party-nya. Ini adalah kecenderungan politik yang tipikal terjadi saat krisis berkepanjangan, ketika terjadi polarisasi tajam yang memberikan peluang pembesaran bukan saja bagi kekuatan kiri, namun juga kanan.

Bila dampak krisis ekonomi di negeri-negeri Barat diwarnai oleh konsolidasi kaum neoliberal dan pertarungan kelas dalam memperebutkan jatah subsidi sosial, maka sepertinya kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Tiongkok dalam merespon penurunan daya serap ekspornya di negeri Barat adalah dengan memperluas kerjasama ekonominya dengan negeri-negeri berkembang lainnya, terutama di Asia Tenggara, di mana Indonesia adalah negeri yang terpenting di wilayah ini. Secara formal, sejak 1 Januari 2010, berlakulah kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China Free Trade Agrement (ACFTA atau CAFTA). ACFTA adalah kerjasama ekonomi regional yang melibatkan jumlah penduduk terbesar di dunia dan yang inisiatifnya telah dimulai setidaknya sejak penandatanganan perjanjian di Phnom Penh, Kamboja, pada 2002.

Dalam upayanya mempertahankan kinerja ekonominya, pemerintahan Tiongkok melakukan intervensi mata uang untuk menjaga nilai tukar Yuan, setelah pada bulan Juni mengumumkan akan memberlakukan fleksibilitas yang lebih besar bagi Yuan. Langkah ini dikecam oleh negeri-negeri Barat, terutama AS, yang menuduh pemerintahan Tiongkok secara sepihak mengontrol mata uangnya demi menjaga nilai saing produk-produknya dengan mengorbankan ekonomi negeri pesaingnya. Pergerakan beberapa negeri dalam melepaskan ketergantungan dari ekonomi AS, khususnya dolar AS, semakin terlihat sejak krisis finansial 2008 lalu. Dalam bulan November ini Rusia dan Tiongkok sepakat untuk melakukan perdagangan tanpa menggunakan dolar AS. Gagasan-gagasan untuk menggantikan peran dolar AS dalam perdagangan internasional memang telah berkembang di antara negeri-negeri BRIC (Brasil, Rusia, India dan China), dan bahkan telah diterapkan dalam kelompok regional yang lebih keciil seperti ALBA (Aliansi Bolivarian bagi Rakyat Amerika Kita) yang terdiri dari negeri-negeri Amerika Latin dengan dimotori Venezuela dan Kuba. ALBA dalam proses memberlakukan mata uang regional baru bernama Sucre.

Selama tahun 2010, negeri-negeri di Amerika Latin yang banyak berhaluan kiri dan kiri-tengah masih dapat bertahan dalam situasi krisis dan ancaman imperialisme. Pemilu parlementer di Venezuela pada akhir September masih memenangkan koalisi pendukung Chavez namun tidak berhasil meraih jumlah mayoritas besar yang dibutuhkan untuk dapat menjalankan program-program revolusioner. kaum oposisi juga turut merayakan perolehan suara mereka yang melonjak pesat dibandingkan pemilu sebelumnya. Tak dapat disangkal bahwa pemilu Venezuela ini mengharuskan kubu Chavez melakukan pembenahan demi memenangkan lebih banyak dukungan rakyatnya. Walau perlu dicatat bahwa pada pemilu sebelumnya tahun 2005 kaum oposisi melakukan boikot sehingga memberikan kemenangan telak bagi kubu Chavez. Tak lama setelah pemilu ini, Presiden Correa berhasil selamat dari percobaan kudeta yang terjadi pada tanggal 30 September. Sementara di Brasil, pemerintahan Partai Buruh berhasil melanjutkan kekuasaannya dalam pemilu bulan Oktober dengan kemenangan Dilma Roussef sebagai Presiden perempuan Brazil yang pertama menggantikan kepemimpinan Lula da Silva. Di Kuba, pemerintahan Raul Castro menjawab tantangan yang ada dengan mendorong pembentukan usaha-usaha mandiri dan koperasi demi mengurangi inefisiensi di sektor publik.

Berbagai bencana yang disebabkan oleh alam maupun manusia mewarnai sepanjang tahun 2010, dimulai dari gempa bumi di Haiti yang menelan korban ratusan ribu jiwa pada bulan Januari, maupun gempa dan Tsunami yang melanda Cile pada bulan Februari dan menelan ratusan jiwa. Pada bulan April bencana besar akibat ulah manusia terjadi dengan kebocoran minyak di Teluk Meksiko, yang dijadikan sebagai bencana nasional di AS. Banjir besar terjadi di Pakistan pada bulan Juli dan menelan korban ribuan jiwa. Indonesia turut menjadi korban dari bencana alam dengan terjadinya Tsunami yang menghantam kepulauan Mentawai serta letusan gunung Merapi. Di luar itu, perubahan iklim menghantui dunia dan kini memberikan musim dingin yang sangat parah di Eropa. Langkah-langkah untuk merespon perubahan iklim masih belum memberikan solusi yang nyata dan menjauhi logika korporasi. Pertemuan di kota Cancun, Meksiko, beberapa minggu lalu juga masih belum beranjak logika ini dan masih dihambat oleh kebuntuan dan kekeras-kepalaan negeri-negeri industri maju yang menolak bertanggung-jawab atas pencemaran yang mereka lakukan.

Perlawanan terhadap negeri-negeri imperialis dapat dibilang menjadi tema dari perjalanan tahun 2010. Perlawanan ini dilakukan oleh para aktivis dan rakyat, yang berhasil menekan rejim-rejim penjajah, seperti perlawanan yang dilancarkan aktivis di kapal Freedom yang berusaha menembus blokade Israel terhadap Jalur Gaza. Perlawanan ini berhasil menjatuhkan posisi diplomatik Israel secara internasional. Begitu pun dengan perlawanan yang ditunjukan oleh situs Wikileaks berikut para hacker2 yang mendukungnya, yang berjuang dengan membuka kejahatan-kejahatan imperialisme AS dan mengangkat transparansi, dan bahkan turut menyerang dalam dunia maya, situs-situs korporasi besar seperti Mastercard, Amazon, dsb yang terbukti dapat dikendalikan oleh pemerintahan AS. Mengacu pada perjalanan tahun 2010, tahun 2011 menyimpan potensi peningkatan perlawanan terhadap imperium AS yang dilakukan oleh siapa pun, baik dari balik komputer, jalanan, hingga ruang-ruang parlemen dan sidang – dari mana pun.


Ekonomi

Pada saat memasuki tahun 2010, ekonomi dunia sedang mengalami dua kejadian penting, yaitu: pertama, krisis ekonomi kapitalisme global yang sangat mendalam dan struktural, dan kedua, pergeseran kekuatan ekonomi dunia dari utara (AS dan eropa) ke Asia timur (Tiongkok) dan amerika latin.

Amartya Sen, seorang ekonom India, dalam tulisannya di Newyork review menyebut tahun itu sebagai “tahun krisis”, dan tahun berikutnya akan disertai dengan penurunan tajam ekonomi dunia melebihi depresi besar tahun 1930-an.

Perkiraan Amartya Sen ada benarnya, sebab di tahun 2010 krisis ekonomi dunia bukannya menjinak, malah semakin mengganas dan melahap ekonomi negara-negara kuat di eropa, seperti Yunani, Spanyol, Portugal, Inggris, dan lain sebagainya.

Sementara ekonomi Indonesia, yang sebagian besar tumpuannya bergantung kepada ekonomi kapitalis global, turut merasakan pukulan telak dari keberlanjutan krisis ini. Jika pada tahun 2009 tenggelamnya ekonomi Indonesia baru mencapai leher, maka pada tahun ini tenggelamnya ekonomi Indonesia sudah mencapai dagu.

The Economist, majalah mainstream paling bergengsi, pernah menulis, “ekonomi Indonesia memang tumbuh, tapi sayang sekali, kemiskinan juga tumbuh.” Meskipun pertumbuhan ekonomi diprediksi akan menembus 6,3%, tetapi hal tersebut tidak menciptakan “Trickle down effect”.

Penghancuran Industri Nasional

Tahun 2010 dapat dikatakan sebagai tahun kematian industri nasional. Beberapa jenis industri yang selama ini menjadi benteng terakhir, seperti baja, kretek, produk pertanian, dan lain sebagainya, telah dihancurkan dengan jalan dijual atau dibangkrutkan.

Pada tahun 2006, Indonesia diperkirakan mempunyai 29 ribu perusahaan manufaktur skala menengah, tetapi sekarang jumlahnya tidak melebihi 27 ribu. Industri skala mikro dan kecil pun anjlok 2,1 persen dan 5 persen dihantam oleh kebijakan neoliberalisme.

Jika di masa sebelumnya, proses de-industrialisasi baru menghantam perusahaan-perusahaan menengah dan kecil, maka sekarang ini (tahun 2010) korbannya sudah mencakup perusahaan-perusahaan tulang punggung

Sementara itu, sebagian sektor industri telah menurunkan kapasitas produksinya hingga 25% dari potensi produktifnya, antara lain, industri baja, sepatu dan tekstil. Salah satu penyebab penurunan kapasitas produksi itu adalah turunnya permintaan, terutama di pasar dunia, yang sekarang ini memang sedang dilanda krisis over-produksi.

Ada keterkaitan langsung antara krisis kelebihan produksi di negara maju dengan praktik penghancuran industri di negeri dunia ketiga. Sebab, dengan menghancurkan industri negeri dunia ketiga, maka industri negara maju kehilangan pesaing potensialnya dan dapat menguasai pasar negara dunia ketiga tersebut.

Fonemena inilah yang menjelaskan mengapa pemerintahan SBY-Budiono sangat agressif untuk menjalankan program privatisasi terhadap sejumlah BUMN paling strategis, yaitu PT. Krakatau Steel (penguasa baja nasional), PTPN III, IV, VII (penguasa sektor perkebunan/agrobisnis), dan dua raksasa perbankan nasional, Bank Mandiri dan Bank BNI.

Pada tahun 2010 ini, rejim SBY-Budiono berusaha memastikan privatisasi terhadap delapan BUMN, yaitu PTPN III, PTPN IV, PTPN VII, PT C Phrimissima, PT Kertas Padalarang, PT sarana Karya, Bank Mandiri, dan Bank BNI.

Industri kretek, salah satu industri yang tumbuh dengan corak nusantara dan mempergunakan modal/sumber daya di dalam negeri, juga sedang berada di mulut kehancuran. Sejumlah lembaga asing, seperti Bloomberg Initiative, telah menggelontorkan dana kepada sejumlah lembaga pemerintah dan ormas untuk mengkampanyekan “anti-rokok” dan pembatasan tembakau.

Perusahaan asing juga sangat berjaya dalam mengusai sumber energi nasional, terutama migas dan batubara, yang menyebabkan industri nasional kesulitan mendapatkan pasokan energi. Hal ini semakin diperparah dengan kebijakan energi pemerintahan SBY-Budiono, yang justru mengutamakan ekspor gas dan batubara ke luar negeri sebelum kebutuhan domestik terpenuhi.

Ada pula program Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD), yang oleh penganjurnya dimaksudkan untuk mencegah kerusakan hutan lebih lanjut di seluruh dunia, justru menjadi kesempatan baru bagi imperialis untuk menguasai hutan kita dan menghidupi bisnis karbonnya.

Penghancuran ekonomi Rakyat

Sampai tahun 2010 jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diperkirakan mencapai 51 juta unit atau 99% dari total unit usaha yang ada. Namun, sejak ekonomi nasional berayun ke arah liberalisasi, UMKM telah menjadi korban paling pertama yang bertumbangan.

UMKM ini sangat bergantung pada dua hal, yaitu jaminan kredit dan pasar. Jauh sebelumnya, UMKM sudah menderita akibat kenaikan harga BBM dan TDL. Pada tahun 2010, bersamaan dengan diberlakukannya China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), sektor UMKM Indonesia seperti digiring ke liang pembantaian.

Misalnya Industri batik, yang sekarang ini juga banyak dibuat oleh China, telah mengancam masa depan industri batik di dalam negeri.

Namun, cerita sedih mengenai penghancuran ekonomi rakyat belum berhenti di sini, tetapi terus berlanjut dengan keputusan pemerintah membiarkan peritel modern memasuki kampung-kampung dan pelosok-pelosok.

Sebagai perbandingan mengenai hal ini, dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, ekonomi nasional atau rakyat (UMKM) yang berjumlah 51 juta atau 99% dari total pelaku ekonomi hanya menikmati 39,8% dari PDB, sementara korporasi besar asing menikmati hingga 60,2%. Dalam hal pasar, ekonomi nasional atau ekonomi rakyat hanya menempati 20% pangsa pasar nasional, sementara korporasi besar asing dan domestik menguasai 80%.

Pasar rakyat, yang selama ini menjadi tempat bagi ekonomi mikro dan menengah memasarkan produknya, semakin terancam oleh ekspansi peritel raksasa modern, seperti Carrefour, Giant, Hypermart, 7-eleven, Circle K, Lotte Mart, dan lain-lain. Peritel modern didukung oleh modal yang lebih besar, fasilitas, tekonologi, dan ruang yang strategis, sementara pasar rakyat identik dengan kumuh, semrawut, dan bau kurang sedap.

Jika pasar rakyat hancur, maka hal itu akan membawa konsekuensi luas, yaitu, pertama, menghancurkan produsen kecil, khususnya produk petani dan usaha kecil (mikro dan menengah), dan kedua, menyulitkan konsumen klas menengah ke bawah.

Penguasaan asing terhadap perbankan

Sejak UU Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan di berlakukan, sebagian besar perbankan nasional sudah jatuh ke tangan asing, yaitu antara 65%-70%. UU perbankan ini, yang memperbolehkan kepemilikan asing terhadap bank lokal hingga 99%, adalah salah satu UU perbankan paling liberal di dunia.

Sebut saja, misalnya, Bank haga, Rabobank dan Hagakita (seluruh sahamnya dikuasai Rabobank Belanda, BTPN (71% sahamnya dikuasai Texas Paicific AS), Bank Permata (44,5% dikuasai Standard Chartered Inggris), SCB (seluruh sahamnya dikuasai Standard Chartered Inggris), Bank Panin (35% sahamnya dikuasai ANZ Bank Australia), BII (55,85% sahamnya dikuasai Maybank Malaysia), CIMB Niaga (60,38% sahamnya dikuasia CIMB group Malaysia), dan lain-lain.

Penguasaan asing terhadap perbankan nasional akan berdampak serius terhadap perekonomian nasional, yakni mempengaruhi aliran modal dan penyaluran kredit terhadap industri nasional.

Pada tahun 2010 ini, sebagaimana dibangga-banggakan pemerintah dan ekonom neoliberal, bahwa perbankan indonesia telah kebanjiran arus dana asing yang masuk (capital inflow), yang keberadaannya sangat bebas untuk masuk dan keluar kapan saja. Hal ini membuat cadangan devisa melonjak menjadi USD 92,75 miliar per akhir November 2010 yang bisa mencapai USD100 miliar pada akhir 2010.

Namun, tidak dapat dibantah bahwa pihak asing sudah mengusai lebih dari 60% kepemilikan di pasar modal, dan hal itu sangat berbahaya bagi kesehatan ekonomi Indonesia di masa depan.

Alih-alih bahwa dana itu bisa memperkuat sektor real kita, arus dana asing itu malah berpotensi menjerumuskan perekonomian kita. Karena BI menganut sistem capital free flow, maka investor asing dapat dengan bebas mengambil keuntungan di Indonesia kapan saja.

Penumpukan utang luar negeri

Hanya lima tahun memerintah, berdasarkan catatan Buku Statistik Utang Indonesia yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), SBY berhasil menambah utang luar negeri Indonesia Rp300 triliun. Hingga bulan April 2010, total utang luar negeri Indonesia sudah menghampiri Rp2000 trilyun, atau setara dengan dua kali APBN kita.

Terakhir, bulan desember ini, SBY kembali menambah utang melalui ADB sebesar 200 juta US Dollar, dan katanya, ini akan dipergunakan untuk mendanai reformasi ekonomi di Indonesia.

Meski terjadi peningkatan utang yang sangat signifikan, tetapi pemerintah berusaha mengelak dengan menyatakan bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) telah menurun, yaitu dari 89 persen menjadi 32 persen.

Ada dua hal yang perlu dibantah terkait pernyataan pemerintah di atas: Pertama, Utang luar negeri tidak bisa dibandingkan dengan PDB. Sebab, PDB tidak mencerminkan produksi Indonesia, tetapi juga ada porsi asing yang besar di dalamnya. Peningkatan PDB bukan karena naiknya produktifitas nasional, melainkan karena aktivitas perusahaan atau bisnis pihak asing. Kedua, meskipun rasio utang terhadap PDB menurun, namun stock utang justru terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Ada peningkatan stock utang sekitar 30% dalam lima tahun ini.

Persoalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI)

Bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, tahun 2010 juga merupakan ‘tahun penderitaan”. Meskipun tahun-tahun sebelumnya TKI Indonesia memang sudah sangat menderita, tetapi pada tahun ini kasus kekerasan terhadap TKI telah mengundang kemarahan rakyat terhadap pemerintah.

Jika pada tahun-tahun sebelumnya kita mendengar kasus Nirmala Bonat dan Siti Hajar, maka tahun ini kita mendengar nasib yang lebih tragis dari dua TKW Indonesia, yaitu Sumiati dan Kikim Komalasari.

Berdasarkan catatan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu RI), pihaknya mempunyai catatan mengenai 4.532 laporan kasus terkait tenaga kerja Indonesia (TKI) selama 2010, yang sebagian besar adalah pelanggaran kontrak, beban kerja, jam kerja, pembayaran gaji, serta pelecehan seksual.

sementara Kepala Litbang Kemenkum HAM, Prof Dr Ramly Hutabarat SH, menyampaikan kepada peserta diskusi “Hubungan Bilateral Indonesia – Malaysia”, yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP UNS, bahwa sepanjang tahun 2010 saja, terjadi 3.835 kasus penganiayaan dan 2.500 kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan TKW.

Persoalan buruh migran, sebagaimana diterangkan dengan jelas sekali oleh Lenin, adalah juga persoalan imperialisme. Negara-negara imperialis telah memobilisasi pekerja-pekerja dari dunia ketiga untuk dipekerjakan pada sektor pekerjaan ber-upah rendah di negeri kapitalis maju, sekaligus untuk mengistimewakan pekerja tertentu di negeri imperialis.

Sementara itu, akibat dari praktek neoliberalisme dalam sepuluh tahun terakhir, sebagian besar rakyat kita, di desa dan di kota, telah kehilangan pekerjaan. Akhirnya, sebagian besar diantara mereka telah direkrut dan dikirim sebagai pekerja migran. Pendek kata, neoliberalisme punya andil besar dalam mengeksploitasi pekerja migran.

Kesimpulan: Sifat kolonialisme semakin mendominasi dalam perekonomian Indonesia

Kenyataan ekonomi pada tahun 2010 ini semakin mempertegas, bahwa sebagian besar ekonomi Indonesia telah dikuasai oleh kaum kapitalis besar asing, terutama kapitalis besar dari Amerika, Eropa, dan Jepang. Penguasaan itu meliputi bagian terbesar dari perusahaan industri, perdagangan, dan keuangan: bank-bank, pabrik-pabrik, tambang2, pengangkutan, perkebunan, dsb.

Dengan dikuasainya perbankan dan pasar modal (lebih dari 60%), maka pihak asing sudah mengontrol sebagian besar kapital di dalam negeri. Dan, dengan begitu pula, maka sebagian besar keuntungan dari aktivitas ekonomi di dalam negeri telah diangkut ke negeri-negeri imperialis.

Kecuali perusahaan-perusahaan kecil, seperti industri rokok, batik, tekstil, dan kerajinan tangan, hampir semua perusahaan yang besar pengaruhnya terhadap perekonomian nasional telah dipegang oleh pihak asing; a) perusahaan berteknik modern (elektronik, otomotif, dll), pabrik-pabrik besar (tekstil, garmen, makanan dan minuman, bijih besi, baja, logam, dll), perusahaan-perusahaan pertambangan (migas, batubara, emas, timah, dll). b) perusahaan alat-alat perhubungan dan telekomunikasi, seperti penerbangan, perusahaan telekomunikasi, stasiun penyiaran, dll. c) perusahaan bank dan asuransi.

Corak kolonial juga terlihat dalam penerimaan kas negara, yang sebagian besarnya didapatkan dari pajak, baik langsung maupun tidak langsung. Bahkan, hampir seluruh aktivitas ekonomis rakyat telah dikenakan pajak.

Orang-orang melarat dan para penganggur, meskipun berusaha disembunyikan dengan memanipulasi angka statistik, tetapi terlihat jelas berkeliaran di kota-kota besar untuk mencari makan dan pekerjaan. Mereka tidur di trotoar, di kolong-kolong jembatan, emperan toko, dan gerobak-gerobak. Di Jakarta, ada yang disebut dengan “manusia gerobak”, yaitu orang miskin yang sudah tak punya rumah dan keluarganya tinggal di gerobak yang dibawanya kemana-mana.

Tidak salah kemudian jika ada yang menyebut bahwa tahun 2010 sebagai tahun “menuju kebangkrutan”. Meskipun akhirnya banyak perusahaan nasional yang tumbang, tetapi situasi itu telah melahirkan sentimen nasionalisme dan anti-penjajahan yang semakin kuat.


Politik

Catatan Akhir Tahun 2010 (Ekonomi) telah mengulas masalah-masalah ekonomi, yang erat kaitannya dengan kebijakan neoliberal pemerintahan SBY-Boediono. Pada catatan tersebut disimpulkan, bahwa “sifat kolonialis semakin mendominasi perekonomian Indonesia”, yang menjadikan tahun 2010 ini sebagai “tahun menuju kebangkrutan”. Kebijakan-kebijakan neoliberal datang dari kepentingan modal asing melalui operatornya di kelompok “Setgab Koalisi”.

Setgab versus Oposisi?

Dinamika 2010 dimulai dengan kelanjutan isu skandal penyaluran dana Bank Century—yang diduga digunakan untuk biaya kampanye capres-cawapres terpilih, SBY-Boediono. Menghadapi tekanan ini, singkat cerita, SBY memberi dua bentuk konsesi kepada Partai Golkar, khususnya kepada Aburizal Bakrie, yang saat itu termasuk paling sengit ‘mengobok-obok’ kasus Century lewat pansus di DPR, dan juga yang paling kuat secara finansial untuk mengorganisir tambahan kekuatan dari faksi-faksi oposisi di parlamen maupun luar parlamen.

Dua bentuk konsesi tersebut adalah, pertama, menyingkirkan (mantan) Menteri Keuangan Sri Mulyani dari jajaran kabinet, yang sengit pula dilawan oleh para pendukungnya dari sedikit kalangan elit intelektual; dan kedua, konsesi berupa posisi ketua koalisi Setgab (Sekretariat Gabungan), yang merepresentasikan partai-partai dalam kabinet SBY-Boediono. Terdapat enam partai politik yang tergabung dalam koalisi setgab, yaitu Partai Demokrat (PD), Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Posisi Aburizal Bakrie ini telah menguatkan peran Partai Golkar di hadapan Partai Demokrat, dan dalam dominasinya atas partai-partai lain dalam koalisi. Partai Golkar dan Demokrat menjadi dua sejoli pemegang kekuasaan terbesar dalam pemerintahan pusat. Dominannya dua partai ini menimbulkan friksi internal dalam koalisi, khususnya dari PKS dan PPP yang menuntut ‘peran’ lebih.

Sementara partai-partai di luar koalisi Setgab (PDIP, Hanura, dan Gerindra) hanya mampu memainkan peran terbatas berupa kritik-kritik ringan terhadap berbagai persoalan. Harapan kepada partai-partai ini untuk menjadi oposisi yang benar-benar solid dan programatik terhadap “pemerintahan koalisi” ternyata belum mampu dijalankan. Terdapat usaha oleh Surya Paloh untuk menggandeng kekuatan-kekuatan oposisi di luar parlamen ke dalam ormasnya Nasional Demokrat (Nasdem), namun langkah ini langsung ‘dikunci’ lewat partai-partai yang anggotanya merangkap sebagai anggota Nasdem. Koalisi Setgab telah menguasai mayoritas suara (kursi) di parlamen, serta ‘mengunci’ posisi-posisi penting yang dapat digunakan untuk mengganggu kemapanan pemerintahan. Beberapa figur penting dalam ‘partai oposisi’ bahkan secara implisit telah menyatakan diri ‘menyerah’ dan menjamin amannya pemerintahan SBY-Boediono sampai 2014. Salah satu tokoh kunci yang berperan demikian adalah Ketua MPR RI, Taufik Kiemas, yang disebut-sebut sebagai “ketua sesungguhnya” yang memainkan berbagai posisi politik PDIP.

Konsensus yang dicapai oleh politisi di level lembaga-lembaga tinggi negara ini merupakan kemenangan lanjutan presiden SBY di satu sisi, dan, di sisi lain, hasil dari upaya faksi-faksi politik di lingkaran kekuasaan untuk memperoleh konsesi ekonomi-politik, yang dapat dipakai sebagai ‘tabungan’ menuju pemilu 2014. Keputusan-keputusan dari pemerintahan SBY yang menyusahkan rakyat relatif tidak mendapatkan perlawanan di dalam parlamen; seperti yang terjadi pada kasus privatisasi sejumlah BUMN termasuk Krakatau Steel, dan rencana kenaikan harga BBM mulai awal 2011.

Sementara perimbangan kekuatan politik antara “koalisi” dan “oposisi”, yang dapat dicapai melalui hubungan antara kekuatan di dalam dengan di luar parlamen, ada terjalin tapi masih terbatas dan belum mencapai kesepakatan platform yang tegas. Baru bulan lalu, upaya SBY untuk menggoyang singgasana Sultan HB X di Yogyakarta sempat meluapkan kemarahan sejumlah masyarakat Yogya. Namun ‘perdamaian’ kembali dicapai keduanya, dengan Taufik Kiemas sebagai mediator.

Intervensi Asing Dalam Pembuatan 76 Undang-Undang

Di bulan Agustus 2010, anggota DPR RI dari fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari mengungkap keterlibatan lembaga-lembaga asing dalam pembuatan 76 Undang-Undang yang sebagian besar telah diberlakukan. Tiga lembaga internasional yang berbasis di Amerika Serikat, yaitu IMF (International Monetary Funds), Bank Dunia, dan United States Agency for International Development (USAID), telah menjadi konsultan pemerintah selama kurang lebih 12 tahun untuk pekerjaan ini.

Posisi lembaga-lembaga tersebut sebagai ‘konsultan’, diperoleh melalui ‘bantuan’ utang untuk berbagai program pemerintah di bidang-bidang strategis, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, minyak dan gas, serta pengelolaan kekayaan alam lainnya. Hasil dari ‘konsultasi’ tersebut telah mengarahkan pemerintah untuk mengajukan sejumlah Undang-Undang baru, atau mengubah Undang-Undang (UU) yang ada, seperti UU Pendidikan Nasional (Nomor 20 Tahun 2003), Undang-Undang Kesehatan (Nomor 23 Tahun 1992), UU Kelistrikan (Nomor 20 Tahun 2002), dan Undang-Undang Sumber Daya Air (No 7 Tahun 2004), UU BUMN (Nomor 19 Tahun 2003), UU Penanaman Modal Asing (Nomor 25 Tahun 2007, UU Migas (Nomor 22 Tahun 2001), UU Pemilu (Nomor 10 Tahun 2008). Sebagai catatan, keseluruhan UU tersebut kental dengan muatan liberalisasi, atau menaklukkan kepentingan nasional di bawah kehendak modal asing.

Jauh sebelum diungkapkan oleh Eva, dalam tiap-tiap pembahasan UU tersebut telah ada kelompok atau individu yang memperingatkan masalah intervensi tersebut. Misalnya, dalam penyusunan UU Migas, pakar minyak Kurtubi telah memastikan adanya campur tangan kepentingan asing, yang kemudian dikonfirmasi oleh (mantan) anggota DPR RI Drajat Wibowo. USAID mengeluarkan anggaran sebesar 21,2 juta US dolar atau sekitar 200 miliar rupiah untuk asistensi pembahasan UU tersebut. Namun pengungkapan-pengungkapan ini masih terpisah-pisah antara satu UU dengan UU yang lain, sehingga tidak tampak satu rangkaian kepentingan modal asing dalam keseluruhan kepentingannya.

Tebang Pilih Pemberantasan Korupsi

Di samping isu terorisme yang ‘meredup’, isu korupsi merupakan trade-mark (merek dagang) andalan bagi pemerintahan SBY-Boediono. Namun barang dagangan ini hanya tampak baik pada kemasan, karena isinya sama sekali buruk. Komitmen pemberantasan korupsi yang dicanangkan sebenarnya sudah sulit dipercaya khalayak sejak terjadi kriminalisasi terhadap pejabat KPK, pertama terhadap mantan ketua KPK, Antasari Azhar, dan kemudian percobaan yang sama terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Upaya kriminalisasi ini, menurut pengamatan banyak kalangan, merupakan tindakan ‘pencegahan’ agar kasus-kasus yang melibatkan kepala negara tidak diusut lebih lanjut.

Sepanjang tahun 2010, retorika pemberantasan korupsi oleh SBY semakin terbukti hanya manis di bibir. Pada acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi, tanggal 1 Desember 2010, SBY antara lain mengatakan bahwa pemberantasan korupsi dapat efektif apabila penegak hukum bersih. Berlawanan dengan pernyataannya, alat-alat penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, maupun KPK, justru dibuat menjadi semakin ‘kotor’ atau bermasalah. “Alat hukum” terkini buatan SBY adalah Satgas Antimafia Hukum yang diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto, tangan kanan SBY juga .

Kasus korupsi yang melibatkan pegawai kantor pajak, Gayus Tambunan, membuktikan keberadaan alat-alat penegakan hukum yang dapat dimanfaatkan penguasa sesuka hatinya. Pengakuan-pengakuan yang diberikan oleh Gayus, tampak sengaja diarahkan untuk menyerang Aburizal Bakrie (Ical), sebagai salah satu manipulator pajak yang ‘dibantunya’. Drama lolosnya Gayus dari tahanan untuk menyaksikan pertandingan tenis di Bali, yang ‘kebetulan’ dihadiri juga oleh Ical, seakan mengkonfirmasi adanya konspirasi besar untuk memainkan isu tersebut tanpa penyelesaian yang pasti.

Sisa Watak Hukum Kolonial

Pada bulan November tahun lalu, ada kisah Nenek Minah (55), yang dihukum penjara 1,5 bulan karena secara tidak sengaja ‘mencuri’ tiga buah cokelat. Saat itu kita alami ramainya kecaman dan kritikan terhadap kejadian ini. Hakim yang membacakan vonis hukuman mengalami situasi emosional dan menyatakan bahwa, “kasus ini kecil tapi telah melukai banyak orang.” Ketidakadilan yang sangat mencolok mata semacam ini ternyata tidak berkurang dengan kegeraman banyak orang.

Di tahun 2010 ini kejadian serupa kembali berulang. Seorang nenek di Pekalongan dihukum tiga bulan penjara karena mencuri lima batang permen coklat. Kemudian, baru bulan Oktober lalu, seorang petani di Pasuruan divonis hampir 1,5 bulan karena ‘mencuri’ dua batang singkong milik tetangganya buat makan sekeluarga. Kasus-kasus memilukan yang terungkap di media massa ini hanyalah sedikit contoh dari gejala umum posisi penegakan hukum. Rakyat, yang sedang dimiskinkan, sangat gampang diseret hukum, sementara orang yang berkuasa atau berduit sangat sulit tersentuh hukum. Hukum menjadi tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.

Menuju “Perampingan Sistem” dan Stabilisasi Pemerintahan Neoliberal

Tahun 2010 ditutup dengan pengesahan atas perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Perubahan ini terutama diarahkan untuk memperberat syarat pendirian partai politik (parpol). Ini merupakan saringan pertama peraturan perundang-undangan, untuk mewujudkan “pemerintahan yang kuat dan stabil”. Saringan peraturan berikutnya adalah yang mengatur tentang pemilihan umum (pemilu), yakni syarat bagi parpol untuk menjadi kompetitor dalam pemilu, dan batas perolehan suara untuk dapat mengirim perwakilan ke parlamen (electoral threshold).

Di samping telah melakukan pelanggaran konstitusional, yang untuk ini dapat diadukan ke Mahkamah Konstitusi, pembatasan partai politik merupakan bagian dari upaya membangun “pemerintahan yang kuat dan stabil” tadi. Fase reformasi politik tampaknya mulai mendekati tahap puncak berupa tercapainya konsensus kepentingan antara sebagian faksi-faksi politik yang sempat ‘terpecah-belah’ oleh liberalisasi 1998. Bila dipandang dari sudut ini, maka kemunculan koalisi setgab yang sedikit terbahas di atas, tampak seperti sebuah ‘uji-coba’ menuju perampingan sistem, menuju pengorganisasian politik yang lebih tersentralisasi, tidak berserak di banyak parpol seperti keadaan sekarang


Sosial Dan Budaya

Dalam usahanya memperkuat penjajahan di bidang politik dan ekonomi, sebagaimana sudah dijelaskan dalam catatan akhir tahun sebelumnya, pihak imperialis telah berusaha keras untuk menghancurkan jiwa dan karakter bangsa Indonesia.

Dengan mengobrak-abrik kehidupan sosial dan budaya, kaum imperialis percaya bahwa bangsa Indonesia tidak punya lagi kebanggan nasional, tidak punya lagi jiwa dan karakter sebagai sebuah bangsa, dan dengan demikian, sangat mudah untuk dipecah-belah dan dihancurkan.

Perjalanan bangsa selama setahun ini, tahun 2010, membenarkan hal itu, bahwa penetrasi imperialis paling nyata juga terjadi di lapangan sosial-budaya, yang ditandai dengan semakin tergerusnya martabat dan kehormatan bangsa kita.

Memproduksi Manusia Bermental Inlander

“Pada waktu itu kaum Bumiputra diinjak, diperas dan diambil kekuatan dan uangnya. Akan tetapi, bumiputera (lebih-lebih bangsa Jawa) yang biasa membedakan orang tinggi dan rendah, memandang bangsa Belanda sebagai bangsa yang tinggi….Mulai itu, mulai belanda disangka patut dihormati,” demikian ditulis Mas Marco Kartodikromo, seorang pejuang anti-kolonial Indonesia.

Pernyataan Mas Marco ini sangat tepat menyindir manusia-manusia baru di Indonesia, terutama mereka kaum intelektual dan kalangan elit, yang suka sekali memuji-muji keunggulan barat di luar batas.

Ini juga terlihat jelas di sebagian besar elit politik kita dan kelas menengah hasil didikan barat, khususnya kaum intelektual, yang cakrawala berfikirnya sangat disesaki ketundukan terhadap apa yang disebut “keunggulan barat”.

Mereka pula yang menjadi arsitek kebijakan neoliberal di Indonesia, menjadi pembela setianya, dan sekaligus kelompok sosial yang menikmati “keuntungan” dari proyek neoliberalisme di Indonesia.

Kapitalisme dan imperialisme memang berkepentingan untuk menciptakan perasaan inferior, rendah diri, perasaan tidak mampu kepada rakyat jajahan, agar mereka tidak pernah bertindak merdeka dan bebas dari kunkungan penjajah. Anehnya, perasaan inferior ini justru sangat mudah merasuknya di kalangan sebagian intelektual, yang selama ini dianggap sebagai kelompok tercerahkan.

Mereka pula yang paling berkontribusi dalam merusak bahasa nasional kita, yaitu bahasa Indonesia, dengan meluaskan penggunaan bahasa inggris dalam alam pergaulan mereka.

Mereka pula yang paling antusias, dan atas dukungan media massa yang dikontrolnya, mengelu-ngelukan kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, presiden negeri imperialis terbesar di dunia. Pantas saja mereka begitu gegap gempita menyambut obama, karena memang “way of life” mereka adalah Amerika.

Para inlander ini pula yang banyak bekerja untuk melayani kepentingn asing, seperti di lembaga-lembaga imperialis asing (USAID, Bank Dunia, dll), LSM/NGO pro-imperialis, dan perusahaan-perusahaan asing. Bahkan, tidak sedikit diantara kaum intelektual yang menjadi juru-bicara kepentingan imperialisme di Indonesia.

Menguatnya Pertikaian SARA

Tidak cukup dengan merusak mental dan jiwa bangsa Indonesia, kaum imperialis juga berusaha menghancurkan persatuan nasional, yaitu dengan memicu pertikaian suku, agama, dan ras di berbagai tempat.

Beberapa kejadian tahun ini cukup menyakiti perasaan nasional sebagai bangsa yang berlandaskan pada “bhineka tunggal ika”. Sebut saja, diantaranya, kasus penutupan gereja di berbagai kota, penyerangan terhadap jemaat HKBP, penyerangan terhadap jemaah ahmadiyah, dan penurunan patung budha di tanjung Balai.

Kelompok radikal kanan, misalnya Front Pembela Islam (FPI), menjadi salah satu tangan yang dipergunakan kaum imperialis untuk mengusik semangat “bhineka tunggal ika”. Meskipun organisasi seperti FPI dan radikal kanan lainnya sering mempergunakan sentimen anti-asing, namun tindakan politik mereka justru merusak persatuan nasional bangsa kita.

Selain itu, kerusuhan berbau SARA juga meletus di berbagai tempat, khususnya yang terjadi di Tarakan, Kalimantan Timur. Konflik-konflik horizontal juga mewarnai perjalanan bangsa kita dalam setahun ini. Konflik-konflik horizontal ini semakin dimungkinkan karena dipanas-panasi oleh ormas-ormas reaksioner.

Pendidikan dan Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)

Meskipun persoalan putus sekolah sudah menjadi sorotan setiap tahun, namun pemerintah tetap saja tidak bisa mengatasi persoalan ini di tahun 2010 ini. Menurut catatan Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2010, terdapat 13 juta anak Indonesia yang terancam putus sekolah.

Anehnya, kendati pemerintah mengklaim telah menggratiskan biaya pendidikan untuk anak SD sampai SMP, tetapi kenyataannya para siswa justru dibebani begitu banyak biaya tambahan. Inilah mengapa banyak orang yang menyebut program pendidikan gratis SBY sebagai “gratis bohong-bohongan”.

Disamping itu, sampai tahun 2010 ini, masih ada siswa SD/SMP di Indonesia yang belajar dengan melantai, atau juga belajar di bawah kondisi ruangan yang buruk dan terancam roboh. Selain anggaran pendidikan yang sangat minim, situasi ini diperparah oleh praktik korupsi di dinas pendidikan.

Di tingkat pendidikan tinggi, para mahasiswa sedang berjuang keras melawan kenaikan biaya pendidikan akibat kebijakan neoliberalisme. Isu paling disoroti mahasiswa masih persoalan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang isinya memang sangat berbau neoliberal.

Sudah begitu, mahasiswa juga diperhadapkan dengan pasar tenaga kerja yang fleksibel, yang ditandai dengan pemberlakuan sistim kerja kontrak dan outsourcing. Untuk diketahui, jumlah keluaran Universitas yang menganggur setiap tahunnya mencapai 60%, sedangkan yang terserap lapangan kerja hanya 37%.

Ada kecenderungan yang semakin nyata, bahwa neoliberalisme hendak mengembalikan sistim pendidikan Indonesia seperti jaman kolonialisme dulu, dimana pendidikan hanya diberikan kepada golongan tertentu dan keluarannya pun sekedar menjadi pelayan sistem yang sedang berkuasa.

Budaya Individualisme

Sementara itu, gempuran budaya asing juga menciptakan apa yang disebut oleh pelukis revolusioner, Amrus Natalsya, sebagai masyarakat “happy”. Masyarakat happy ini, sebagaimana diterangkan Amrus, dicirikan oleh kecenderungan orang berfikir untuk dirinya sendiri dan kurang memikirkan kepentingan kolektif (umum).

Jika dulu orang Indonesia dikenal dengan semangat “gotong royong” dan solidaritasnya, maka sekarang anda jangan berharap bisa menumpang di rumah orang lain ketika terhalang oleh hujan lebat. Jika dulu orang luar disambut oleh masyarakat dengan tangan terbuka dan bersahabat, maka sekarang mereka disambut dengan rasa curiga dan bermusuhan: tudingan teroris, pengacau keamanan, dan sebagainya.

Ada banyak kejadian mengharukan di tahun 2010 ini, seperti ibu yang rela membunuh anaknya, bunuh diri secara mengenaskan, dan lain sebagainya, menjelaskan bahwa solidaritas dan kerjasama di kalangan rakyat sudah menipis. Beban seorang tetangga tidak lagi dirasa sebagai beban kita pula.

Budaya individualisme, terutama sekali, dipasokkan dan disebarluaskan oleh kalangan atas dan klas menengah. Mereka suka berkumpul dan berasosiasi berdasarkan hobby dan kesenangan mereka, sangat jarang asosiasi atau acara kumpul-kumpul sebagai sesama tetangga atau warga masyarakat.

Konsumerisme, misalnya, sangat berperan dalam menghancurkan budaya solidaritas, dan memaksakan setiap individu untuk memaksakan pencarian sumber-sumber keuangan untuk menopang belanjanya. Orang dipaksa dengan biaya hidup dan konsumsi yang tinggi, entah dengan utang ataupun menjual diri, sehingga berdampak pada kerusakan moral dan nilai kolektivitas.

Jika dicermati dalam laporan perbankan, kredit konsumsi malah tumbuh lebih pesat dibandingkan kredit modal kerja (KMK), dimana kredit konsumsi tumbuh 22,7% sedangkan kredit modal kerja hanya 20,1%. Ini dapat diartikan pula, bahwa orang indonesia lebih suka makan dan belanja ketimbang berproduksi.

Gempuran kebudayaan imperialis, terutama melalui iklan hingga film-filmnya, telah membius ratusan juta kaum muda kita, sehingga di kepala mereka hanya soal bagaimana berbelanja dan mengkonsumsi barang-barang terbaru.

Mereka bukan saja menciptakan ketergantungan rakyat terhadap barang impor dari negeri imperialis, lalu menghancurkan perekonomian nasional, tetapi juga membuat kebudayaan rakyat kita menjadi tidak produktif.

Perkembangan Olahraga

Praktek neoliberalisme, yang menghendaki segalanya membawa keuntungan (profit), turut berkontribusi negatif terhadap prestasi olahraga nasional, disamping karena praktik korupsi dan nepotisme di kubu pengurus cabang olahraga.

Di ajang perhelatan akbar Asian Games XVI di Guangzhou, Tiongkok, kontingen Indonesia hanya membawa pulang empat medali emas, sembilan perak, dan 13 perunggu. Ironisnya lagi, tiga dari empat emas Indonesia berasal dari cabang perahu naga yang sempat nyaris tidak diberangkatkan. Hasil ini sangat jauh dibawah prestasi negara tetangga, Malaysia dan Thailand.

Cabang Bulu tangkis, yang dulu pernah mengantarkan nama Indonesia di panggung internasional, juga sudah merosot. Di ajang piala Thomas 2010 di Malaysia, bulan Mei lalu, Indonesia gagal meraih juara setelah dikandaskan oleh Tiongkok dengan skor telak:0-3.

Meski begitu, Indonesia boleh tersenyum dengan prestasi pemuda-pemudi Indonesia di cabang olahraga angkat besi, yang berhasil menyumbangkan medali emas dalam kejuaraan dunia dan medali perak di Asian Games XVI.

Dan, setitik harapan kini sedang ditunggu-tunggu bangsa Indonesia dari ajang sepak bola di piala AFF Zuzuki 2010, dimana sekarang ini Indonesia sedang berlaga di final melawan Malaysia. Keperkasaan Indonesia di laga awal bukan saja menaikkan optimisme kebangkitan sepak bola, tetapi juga membangkitkan kembali “nasionalisme Indonesia” yang sedang terpuruk.

Sayang sekali, dalam laga pertama final piala AFF di Stadion Bukit Jalil, Malaysia, kesebalasan Indonesia ditekuk 0-3. Sebagian orang menganggap bahwa kekalahan ini akan mengakhiri efhouria nasionalisme, sementara yang lain memaki-maki politik pencitraan dan gaya bombastis media dalam menceritakan Timnas.

Namun, satu hal yang tidak dapat ditutupi, bahwa rakyat Indonesia sangat merindukan sebuah prestasi, bukan saja untuk mengangkat nama baik persepak-bolaan Indonesia tetapi juga untuk menyakinkan bahwa bangsa Indonesia masih bisa bangkit.

Perkembangan Seni-Budaya

Berita mengenai kriminalisasi KPK telah menyulut kemarahan rakyat di mana-mana, termasuk para pekerja seni. Mengawali tahun 2010, kaum seniman berpartisipasi dalam berbagai panggung seni mengecam korupsi dan menuntut skandal bank century segera dituntaskan.

Slank, salah satu group musik yang paling tegas menentang korupsi, mendapat cekal dari pihak berwajib dan baru dibolehkan konser pasca tanggal 2 Januari 2010. Sementara di bulan Februari, pemusik balada Indonesia, Iwan Fals, menggelar konser bertajuk “keseimbangan”, yang tidak lain dan tidak bukan juga merupakan judul album yang diluncurkannya.

Pada bulan Mei 2010, dunia perfilm-an Indonesia menghasilkan karya yang cukup inspiratif, yaitu film ‘Indonesia Tanah Air Beta, yang dikaryakan oleh Ari Sihasale. Film ini menceritakan kehidupan sosial-politik masyarakat pro-NKRI pasca referendum di perbatasan Indonesia-Timor Leste tahun 1999.

Kemudian, sutradara muda Hanung Bramangtyo memproduksi film berjudul “Sang Pencerah”, yang menceritakan perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam melakukan reformasi di dalam islam.

Dan, pada bulan Agustus, film kedua dari trilogi Merdeka, yaitu “Darah Garuda” diluncurkan menjelang peringatan HUT Kemerdekaan, sekaligus menjadi film perjuangan satu-satunya dalam beberapa tahun terakhir.

Meskipun begitu, jumlah film-film yang berbicara patriotisme, nasionalisme, ataupun kemanusiaan masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan film-film yang merusak mental dan karakter bangsa kita; film porno, film horor, film percintaan, dan lain sebagainya.

Film, lagu-lagu, majalah, tarian-tarian masih didominasi oleh kebudayaan imperialis, yang bersifat cabul, membodohi, dan merusak moral rakyat. Lihatlah bagaimana kasus video porno Ariel dan Luna Maya mendominasi pembicaraan sepanjang tahun ini.

Kemudian, akibat kehancuran karakter dan mental bangsa kita, karya-karya yang tidak mempunyai mutu sama sekali, seperti Sinta-Jojo dengan “Keong Racun-nya”, bisa meluncur cepat menjadi selebriti.

Begitu pula dengan film yang sangat melecehkan nasionalisme dan patriotisme pahlawan, yaitu “Laskar Pemimpi”, menjelaskan betapa rendah nasionalisme dan tidak bermutunya gagasan pekerja film. Mereka menggunakan segala macam cara untuk mencari popularitas, termasuk dengan melecehkan perjuangan bangsa.

Pada bulan Agustus, para pekerja seni yang tergabung dalam Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) menggelar festival kemerdekaan, yang berlangsung selama sebulan penuh. Acara diiisi dengan diskusi, pameran lukisan, pementasan seni, pemutaran film, dan pengumpulan karya tulis mengenai perjuangan kemerdekaan.

Sampai akhir tahun 2010 ini, lapangan seni dan budaya kita masih terdominasi oleh kebudayaan asing, yang pada umumnya menawarkan apatisme, nihilisme, eksistensialisme, dan individualisme.

Sementara kebudayaan nasional, yang kata Pramoedya Ananta Toer, berakar pada kebudayaan daerah dan media baru yang diberikan dunia modern, semakin tersingkirkan dari panggung kebudayaan. Tidak seluruhnya memang, karena masih ada pekerja budaya yang tetap berjuang keras menyelamatkan kebudayaan rakyat ini.

Karya-karya literatur juga mengalami perkembangan signifikan, terutama penerbitan literatur progressif revolusioner. Orang dengan mudah dapat menerbitkan buku sekarang ini, bahkan temanya pun cenderung dilonggarkan.

Apalagi, sebagai hasil perjuangan keras para penulis dan intelektual progressif, maka Undang-undang Nomor 4/PNPS/1963 yang memberikan kewenangan Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran buku, telah dicabut Mahkamah Konstitusi (MK).

Kesimpulan: Penghancuran sosial-budaya untuk menaklukkan bangsa

Untuk melapangkan jalan penjajahan, neoliberalisme telah menargetkan penghancuran terhadap kehidupan sosial dan budaya.

Di lapangan kehidupan sosial, neoliberalisme telah mengubah masyarakat menjadi atom-atom yang terpisah satu sama lain, yang merasakan demoralisasi dan secara sosial tidak berdaya.

Di tengah kemiskinan dan kesenjangan sosial yang sangat lebar, masyarakat yang sudah tidak berdaya ini dikonflikkan satu sama lain, bahkan terkadang dengan membakar sentimen etnis, pribumi dan pendatang, agama, dan lain-lain.

Kesemuanya ini menjelaskan kepada kita, bahwa neoliberalisme bukan sekedar ideologi tentang penjarahan sumber daya alam dan pemiskinan, tetapi juga sebuah ideologi yang mengubah manusia menjadi “pasif, nihilis, dan tidak berdaya”. Masyarakat yang terfragmentasi ini, pada gilirannya, akan sulit mengejar kepentingan-kepentingan sosialnya, apalagi berbicara soal kepentingan nasionalnya.

Untuk menjajah jiwa dan kepribadian, Neoliberalisme memiliki sebuah pedang dengan kedua sisinya yang sangat tajam; individualisme dan konsumtivisme. Individualisme disebarkan melalui pola dan gaya hidup, dan metode fragmentasi sosial; proses penghancuran bentuk-bentuk kolektifisme dan komunalitas. Konsumtifisme juga demikian, dia menyerang sel-sel otak kira bagaikan virus mematikan.

Dengan demikian, terjadilah seperti apa yang dikatakan ahli linguistik Amerika, Noam Chomsky, bahwa neoliberalisme menciptakan manusia seperti kawanan gembala yang dapat dibawa kemanapun.

Dengan demikian, kami dapat menyimpulkan bahwa penghancuran sosial-budaya merupakan bagian dari proyek “penghancuran bangsa”, dan demikian, para kolonialis merasa yakin untuk berkuasa lebih lama lagi. ****


Pertahanan dan Keamanan

Jika anda beranggapan bahwa penjajahan asing masih sangat abstrak terjelaskan di lapangan ekonomi, politik, dan sosial budaya, maka kami mengajak anda untuk menyaksikan bagaimana penjajahan asing itu benar-benar hadir dalam bentuk pencaplokan teritorial.

Korea Utara, negara kecil yang luasnya tidak melebihi Pulau Jawa, berani menembak kapal perang asing yang berusaha memasuki perairan teritorialnya. Sebaliknya, Indonesia justru tidak banyak berbuat ketika kawasan udaranya dipakai latihan perang oleh negeri kecil, yaitu Singapura, yang luasnya tidak jauh beda dengan kepulauan Seribu.

Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia seharusnya punya kedaulatan penuh terhadap semua wilayah teritorialnya, dari sabang sampai merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Dan, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dibentuk untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan teritorial tersebut.

Pencaplokan tanah dan wilayah

Tanpa diketahui secara luas, praktik kebijakan neoliberal telah menghasilkan pencaplokan sebagian besar teritorial Indonesia oleh pihak asing. Dalam menggambarkan hubungan kebijakan neoliberal dan pencaplokan tanah oleh asing ini, Salamudin Daeng, seorang peneliti di Institute For Global Justice (IGJ), menunjukkan bahwa lebih dari 175 juta hektar lahan dikuasai oleh penanaman modal besar, dan sebagian besar adalah modal asing.

Meskipun dengan menggunakan atas nama “investasi”, tetapi penguasaan itu disertai dengan eksploitasi sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, dan hasilnya pun kemudian diangkut ke negeri asal perusahaan asing tersebut. Bahkan, tidak jarang terjadi, penguasaan modal asing ini disertai penggusuran paksa terhadap pemilik sah tanah tersebut, yaitu rakyat Indonesia.

Lebih ironis lagi, tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ditangkap oleh pihak kepolisian malaysia. Pihak Malaysia beranggapan bahwa petugas KKP Indonesia memasuki wilayah teritorialnya, sementara Indonesia juga menganggap bahwa wilayah tersebut masih berada di dalam wilayah NKRI.

Kita pun tentu masih mengingat bagaimana dua pulau kita, yaitu Sipadan dan Ligitan, juga jatuh ke tangan Malaysia. Setidaknya, jika Indonesia tidak berhati-hati atau bertindak tegas dalam menjaga teritorialnya, maka ada 18 titik yang berpotensi memicu konflik perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, yaitu: di Pulau Sentut, Tokong Malang Baru, Damar, Mangkai, Tokong Nanas, Tokong Belayar,Tokong Boro, Semiun, Subi Kecil,Kepala,Sebatik, Gosong Makasar, Maratua, Sambit, Berhala,Batu Mandi,Iyu Kecil, dan Karimun.

Kemudian, untuk kepentingan menjaga pulau terluar dari klaim asing, maka ada 12 pulau yang patut mendapat perhatian khusus, yaitu Pulau Rondo, Sekatung, Nipa, Berhala, Marore, Miangas, Marampit, Batek, Dana, Fani, Fanildo, dan Pulau Bras.

Pulau Miangas, yang merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Talaud, di Sulawesi Utara, sekaligus gerbang utara nusantara, sedang diklaim oleh Philipina sebagai wilayahnya.

Penjualan dan Penyewaan Pulau-Pulau

Isu penjualan tiga pulau di kepulauan Mentawai, yaitu Macaroni, Pulau Siloinak, dan Pulau Kandui, sempat memicu kemarahan rakyat Indonesia. Kasus ini diketahui dari situs privateislandsonline.com, situs yang memang melayani penjualan pulau-pulau di berbagai belahan dunia.

Isu penjualan pulau juga sempat terjadi di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, dimana Pulau Sitabok hendak dilego dengan harga Rp 3 miliar. Kejadian seperti ini tidak terlepas dari mental pemerintah yang sangat inlander.

Pada bulan November lalu, pihak Direktur Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan telah melego pulau-pulau kecil di Indonesia untuk disewakan kepada pihak asing. Dengan menggunakan alasan pariwisata, pemerintah telah jelas-jelas menggadaikan kedaulatan nasional kita kepada asing.

Dua pulau paling indah di Indonesia, yaitu Pulau Karimata di Kalimantan dan Raja Ampat di Papua, sudah disewakan kepada pengusaha asing untuk kepentingan bisnis pariwisata. Pulau Karimata dikelola oleh investor dari Perancis, sementara Pulau Raja Ampat oleh pengusaha Swiss.

Di Sulut, ada sejumlah pulau yang sebagian daratannya dikelola orang asing, seperti Pulau Gangga di Minahasa Utara yang dikelola investor asal Italia. Pemerintah berlindung di balik kebijakan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil serta Peraturan Menteri No 20/2005 tentang Pemanfaatan Pulau Kecil.

Pembangunan dan kesejahteraan rakyat di daerah perbatasan

Indonesia memiliki wilayah perbatasan yang terentang di 12 provinsi dan 38 kabupaten, termasuk 92 pulau kecil terdepan, namun nasib sebagian besar rakyat di daerah-daerah tersebut masih sangat memprihatinkan.

Sebelumnya, Menteri Negara Pembangunan Desa Tertinggal sebelumnya, Lukman Edy, pernah membuat pengakuan, bahwa dari 199 kabupaten tertinggal di Indonesia, 26 kabupaten terletak di perbatasan.

Seperti dikabupaten Sambas, Kalimantan barat, ada daerah dimana anak-anak sekolah harus menempuh jarak 20-30 kilometer untuk bersekolah. Padahal, jikalau mereka mau, mereka bisa menyebrang ke Malaysia yang hanya berjarak sekitar 1 kilometer.

Hingga Juli 2010 ini, sekitar 15 dusun di sepanjang perbatasan Sanggau, Kalimantan Barat (Indonesia) dan Sarawak (Malaysia) diketahui tidak lancar berbahasa Indonesia dan buta huruf karena minimnya pembangunan bidang pendidikan di daerah tersebut.

Situasi tak kalah miris ditemukan di Kabupaten Maluku Barat Daya, daerah kepulauan Nusantara yang berbatasan dengan Timor Leste. Sebanyak 57 persen dari total 73.000 penduduk daerah itu tergolong miskin. Jalur perhubungan ke tempat ini juga sangat buruk, mengakibatkan harga kebutuhan pokok di kawasan tersebut dua kali lipat di atas harga normal.

Ketertinggalan pemerintah dalam membangun daerah perbatasan dibanding negara tetangga memang pantas memicu lunturnya nasionalisme. Lihat saja, misalnya, pendapatan masyarakat di perbatasan Entikong hanya mencapai US$400, sementara pendapatan perkapita masyarakat Serawak telah mencapai US$4.000.

Menjaga Kedaulatan Laut, Udara, dan Darat

Pada tahun 1950-1960-an, ketika Indonesia baru saja merdeka dan sedang dikepung dari imperialism dari segala sudut, negeri muda ini memiliki angkatan perang yang sangat tangguh, bahkan disegani di dunia.

Tetapi sekarang, setelah angkatan perang Indonesia bersekutu dengan imperialisme AS, mereka tidak bisa menghentikan kapal nelayan asing yang mengambil ikan-ikan di perairan nusantara.

Bahkan, selain peristiwa masuknya 5 jet tempur amerika di pulau Bawean beberapa tahun silam, pelanggaran terhadap wilayah teritorial indonesia masih terjadi, terutama di laut dan udara.

Bahkan, Lalu lintas udara Indonesia di Kepulauan Riau masih dalam kontrol Singapura karena perjanjian internasional pada masa lalu, yaitu Flight Information Regions (FIR), dimana sebagian wilayah udara NKRI masuk kedalam FIR Singapura. Bahkan, wilayah di sekitar Tanjung Pinang dan Natuna berada di bawah Air Traffic Control Singapura (ATC Singapura), sehingga kita tidak bisa terbang bebas di atas udara nunsantara sendiri.

Kemudian, penyelenggaran festival bahari, seperti Sail Bunaken 2009 dan Sail Banda 2010, juga memberi kesempatan kepada pihak asing untuk melanggar kedaulatan teritorial kita. Tidak hanya itu, dengan iming-iming promosi pariwisata dan pengobatan gratis, acara ini justru menjadi ajang “melego” kekayaan maritim Indonesia kepada negeri-negeri imperialis.

Kesimpulan: Sejengkal tanah diduduki asing, kita kembali terjajah!

Kemerdekaan untuk merdeka, meminjam perkataan Bung Karno, adalah kemerdekaan untuk menentukan politik nasional kita sendiri, untuk merumuskan konsep-konsep nasional kita sendiri, dan tidak dihalangi atau dirintangi oleh campur tangan oleh pihak luar.

Jika sejengkal tanah atau wilayah kita dikuasai asing, maka sebetulnya kita sudah tidak bisa disebut berdaulat lagi. Lebih jauh, penguasaan asing terhadap tanah dan teritorial kita sejalan dengan agenda neoliberalisme, terutama melalui penciptaan sejumlah UU untuk mempermudah kepemilikan asing itu terhadap sumber daya alam (SDA).

Jika diibaratkan dengan rumah, maka Indonesia ini sudah seperti rumah yang tidak memiliki pintu, bahkan siapapun bisa memasuki rumah ini tanpa meminta izin. Pihak asing dapat melakukan apapun, termasuk menjarah seluruh isi rumah tersebut.

Di sini, ada beberapa hal yang perlu dikoreksi dalam sistim pertahanan nasional kita;

Pertama, cara mendefenisikan musuh dan ancaman terhadap NKRI masih ditekankan ke dalam negeri, yaitu gerakan-gerakan yang dianggap mengancam stabilitas politik, termasuk gerakan rakyat. Padahal, ancaman paling nyata terhadap kedaulatan NKRI justru berasal dari luar, yaitu imperialisme global.

Kedua, Pembangunan sistem pertahanan sejak orde baru sangat menekankan pada pertahanan darat, sementara kondisi geografi Indonesia adalah kepulauan. Semestinya, mengikuti gagasan Bung Karno, pembangunan pertahanan Indonesia seharusnya diletakkan pada maritim, yaitu kekuatan angkatan laut.

0 komentar:

Posting Komentar

Segala kritikan, cacian , makian dsb selalu diterim kirim juga pesan tau call : 0812 6034 7147 / 0819 3426 3185

Perfect Day

BTricks


ShoutMix chat widget

Pengunjung

PENGUNJUNG

free counters