Oleh : Ulfa Ilyas
Hari sudah menghampiri malam. Agak gelap memang, sebab hampir seharian penuh matahari ditutupi oleh awan tebal. Di pinggir jalan, dekat sebuah sekolahan di kawasan Tebet, Jakarta, sesosok tubuh lelaki tergeletak begitu saja. Tidak jauh dari situ, seorang ibu dan anak perempuan sedang asyik bermain.
Sutarmin, nama sosok lelaki tersebut, mengaku pertama-kali menginjakkan kaki di Jakarta pada tahun 2009. Dia memilih menjadi “manusia gerobak” di Jakarta lantaran uang dari menjual sawahnya sudah habis, sedangkan rumahnya di sita pengadilan atas gugatan saudaranya sendiri.
Awalnya, dia berniat mencari pekerjaan serabutan di Jakarta, tetapi tidak ketemu-ketemu juga. Akhirnya, karena tidak ada keluarga dekat yang bisa ditempati bernaung untuk sementara, Sutarmin pun memilih “gerobak” sebagai tempat tinggalnya.
“Saya ini mau bekerja apa saja, asalkan itu bisa menghasilkan duit dan halal. Lama saya mencari-cari, tapi tidak ketemu juga. Ya, sudah…saya memilih hidup seperti ini,” katanya dengan suara agak pelan.
Pemandangan manusia gerobak memang bukan hal baru di Jakarta. Setidaknya, dalam beberapa tahun terakhir ini, jumlah manusia gerobak sepertinya kian bertambah. Mereka bisa ditemukan di setiap jalan-jalan di Jakarta, pinggir-pinggir ruko, di bawah jembatan layang, dan lain-lain.
Meskipun jumlahnya kian bertambah, tetapi kami masih sulit mendapatkan data resmi dari pemerintah perihal angka pasti “manusia gerobak” ini. Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial (Yanrehsos) DKI Jakarta memperkirakan jumlah mereka ini mencapai ribuan orang.
Hidup dari mengais sampah dan plastik bekas
“Bila tidak bekerja, anda tidak makan,” itulah prinsip yang dipegang teguh oleh Sutarmin. Dengan bermodalkan gerobak yang ditariknya setiap hari, Sutarmin dan keluarganya menyusuri jalan-jalan Jakarta untuk mengais sampah dan mengumpulkan plastik bekas.
Jika lagi beruntung, sehari Sutarmin bisa menghasilkan uang Rp20 ribu. Tetapi, jika cuaca kurang baik atau jika ada razia, maka dia hanya bisa mengumpulkan paling banyak Rp10 ribu.
“Jumlah uang segitu hanya cukup untuk membeli nasi dua bungkus, dua biji tempe, dan sambel. Itupun, istrinya saya harus berbagai dengan anak saya,” jelasnya.
Meskipun begitu, Sutarmin masih memendam cita-cita yang sangat mulia, yaitu membuka warung makan bersama istrinya. “Kalau nanti punya duit, saya bercita-cita membuka warung. Nanti, hasilnya saya gunakan untuk membiayai sekolah anak saya,” ungkapnya.
Dengan pendekatan Pemda DKI yang sangat represif kepada mereka, ruang gerak Sutarmin dan kawan-kawannya pun semakin terbatas. “Kami lebih baik menghindar dan mencari tempat aman. Kalau terkena razia, masalahnya bisa banyak,” katanya.
Selain mendapat perlakuan kasar dan kehilangan gerobak, mereka yang terkena razia pun akan dikirim ke Panti Sosial Kedoya atau Cipayung. “Bukan mendapat pembinaan dan pelatihan di sana, tetapi katanya diperas juga,” ujar Sutarmin mengisahkan cerita teman-temannya yang pernah terkena razia.
Presiden curhat soal gaji
Ketika saya memberitahu Sutarmin, bahwa Presiden SBY baru saja “curhat” mengenai gajinya yang tidak naik selama 7 tahun, ia langsung memotong pembicaraan dan berkata: “memangnya gaji Presiden SBY berapa, mas?”
“Kalau menurut The Economist, ini adalah majalah ekonomi paling bergengsi di dunia, gaji SBY sebesar US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per tahun. Gaji SBY nomor 16 tertinggi di dunia,” jawabku.
“Masya Allah,” kata Sutarmin tersontak kaget. “Jumlah gaji yang segunung itu masih dikira masih kurang. Curhat lagi.”
Bagi orang kecil seperti Sutarmin, pernyataan Presiden sangat melukai perasaan orang miskin, terutama mereka yang belum punya rumah dan pekerjaan.
Sutarmin, yang kini berusia 46 tahun, menganjurkan agar Presiden SBY rajin-rajin mengunjungi rakyat seperti dirinya. “SBY harus turun melihat kondisi kami, supaya tahu betapa sulitnya hidup kami. Tapi, kami masih mau bekerja untuk makan, tidak sekedar makan gaji buta seperti SBY,” katanya dengan nada tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar
Segala kritikan, cacian , makian dsb selalu diterim kirim juga pesan tau call : 0812 6034 7147 / 0819 3426 3185