TRIPANJI PERSATUAN NASIONAL

1. HAPUSKAN HUTANG LUAR NEGERI 2. NASIONALISASI INDUSTRI ASING 3. INDUSTRIALISASI NASIONAL

28 Mei 2009

Hingar Bingar Isu HAM Di Bulan Mei

RUDI HARTONO
BERDIKARI ONLINE, Jakarta: Menjelang Pilpres 2009, sejumlah mantan petinggi militer turut mewarnai arena pemilihan. Disini bisa disebutkan; Prabowo Subianto yang masih berupaya mencari jalan untuk menjadi kandidat, Wiranto yang sudah mendeklarasikan diri sebagai kandidat bersama JK, dan SBY yang punya kans paling besar. Tapi yang terakhir ini jarang sekali disebutkan sebagai personifikasi jenderal pelanggara HAM. Entah karena luput atau disengaja.



Aku bukan pendukung petingi-petinggi militer itu maupun Orde baru, bahkan menentangnya. Akan tetapi, hal yang perlu didiskusikan disini adalah benarkah kemunculan petingi-petinggi militer ini adalah musuh paling reaksioner bagi demokrasi dan bagi rakyat. Isu ini perlu diperdebatkan lagi, apalagi mendekatnya momen Pilpres boleh jadi menggelindingkan isu ini untuk menguntungkan salah satu kubu, SBY, sambil mendepak kubu yang lain; kubu jenderal pelanggar HAM.



Tidak Bisa Dimaafkan



Untuk membendung pengaruh sosialisme dan gerakan pembebasan nasional di berbagai belahan dunia, AS melancarakan intervensi politik secara langsung dan tidak lansung melalui operasi militer maupun gerakan intelijen. Pada saat itu, AS terlibat dalam penjatuhan sejumlah pemimpin yang terpilih secara demokratis dan mendapat mandate dari rakyat, seperti Jacobo Arbenz di Guatemala, Salvador Allende di Chile, Mohammed Moassadegh di Iran, hingga Soekarno di Indonesia.



Di Indonesia, orde baru yang disponsori oleh AS berhasil mengambil kekuasaan dari pemerintahan Soekarno, kemudian mengelolah kekuasaannya dengan cara-cara militeristik dan anti demokrasi. Pada awal kekuasaanya, orde baru telah membunuhi jutaan orang yang dianggap sebagai pendukung dan simpatisan PKI. Setelah itu, semua kekuatan politik yang potensial menjadi lawan politiknya pun dihajar, termasuk gerakan mahasiswa dan kelompok islam.



Banyak diantara kejahatan itu tidak terpublikasikan. Bahkan, ada sejumlah pihak yang berusaha menutupi fakta-fakta mengenaskan ini. Di akhir pemerintahannya, tepatnya pada tahun 1997-1998, kekuasaan orde baru kembali menciptakan korban; sejumlah aktifis di culik, dihilangkan, ada yang tewas terkena tembakan, hingga mereka yang menjadi korban dari sebuah kerusuhan pada bulan Mei. Dalam sebuah artikel, saya menyebut “Indonesia” sebagai negeri genosida, dimana berbagai pembantaian berlansung terhadap berbagai kelompok masyarakat, baik di jaman kolonial maupun di era yang disebut “kemerdekaan”.



Ketika orde baru tumbang, berbagai kasus tersebut tidak juga berhasil diungkap, bahkan beberapa pelaku utamanya masih bebas berkeliaran. Berhadapan dengan kebuntuan tersebut, para pejuang HAM tidak henti-hentinya menuntut kejelasan dan tanggung jawab negara. Namun, hasilnya tetap nihil. Negara tidak bisa bertanggung jawab, sebab tanggung jawab yang lebih jauh akan menyeret begitu banyak actor kekuasaan dalam persoalan ini. hal itu, bagaimanapun, bukan hal yang dikehendaki.



Imperialisme Humanitarian



Paska perang dingin, AS mulai merasa “bahaya merah” mulai menurun. Di samping itu, rejim-rejim militer yang diprakarsai AS mulai kehilangan kekuasaan dan bertumbangan satu per satu. Mulai dari Argentina hingga ke berbagai negara lain. Negeri-negeri imperialis, khususnya AS, mulai memikirkan ulang bentuk pendekatan dan justifikasi untuk melindungi kepentingan mereka di dunia ketiga. mereka mulai kembali untuk meneguhkan nilai-nilai tradisional mereka mengenai kebebasan, demokrasi, keadilan, dan hak azasi manusia.



Seperti yang dicatat oleh Jean Bricmont, penulis Humanitarian Imperialism, sejak berakhirnya perang dingin, kaum intelektual dan pemimpin di barat terseret pada sebuah dilemma untuk mencari bentuk justifikasi baru untuk segala bentuk intervensi mereka di dunia ketiga. AS kemudian buru-buru menarik dukungan terhadap rejim-rejim militer yang pernah disokongnya, setelah itu mereka mendokong proses yang disebut “demokrasi”, seperti pemilu regular, kebebasan pers, dan sebagainya. Dalam scenario baru ini, AS menggunakan isu HAM untuk melawan apa yang disebut ancaman “Hitler baru”.



Meskipun argumentasi Bricmont sebetulnya untuk membantah sejumlah argumentasi kiri eropa yang mengijinkan intervensi imperialis di beberapa tempat, seperti Kosovo, dengan alasan hak azasi manusia. Tetapi, bagi saya, konsep Bricmont juga berlaku kepada bentuk-bentuk intervensi imperial di berbagai belahan dunia lainnya melalui isu kemanusiaan.



Sekarang ini, sejumlah negara yang dicap mengabaikan HAM, seperti Kuba, Irak, China, Korea utara, dan terakhir Venezuela, merupakan negara-negara yang kurang harmonis dengan AS. Diluar China, misalnya, kebanyakan negara yang disebut “melanggar HAM” adalah negara-negara yang tidak mau didikte oleh kebijakan “Washington Consensus”.



Penilaian mereka sungguh tidak valid. Sebagai contoh, Human Rights Watch dalam releasenya yang berjudul Venezuela: Rights Suffer Under Chavez”, dikatakan, presiden Chavez telah melakukan diskriminasi politik terhadap oposisi, mencabut kebebasan berekspresi dan mengelurkan pendapat, membungkam media massa, dan menindas aksi protes oposisi. Pada kenyataannya, Chaves tidak pernah memberlakukan diskriminasi politik terhadap siapapun, justru ia berhasil mengembalikan hak-hak politik orang miskin yang merupakan mayoritas dari penduduk Venezuela. Ketika terjadi bentrokan antara polisi dan kaum oposisi, sejumlah penggiat HAM liberal lansung mengeluarkan kecaman. Akan tetapi, mereka tidak pernah mengeluarkan kecaman resmi terhadap peristiwa peristiwa “caracazo” pada februari 1989 yang menewaskan 300-3000 rakyat yang sedang memprotes “pasar bebas”nya IMF.



Pada tahun 1995, misalnya, Washintong menyimpulkan bahwa rejim di Haiti sudah terlampau lama melakukan penyiksaan dan kejahatan HAM, sehingga menjadi justifikasi bagi AS menjatuhkan junta. Pada kenyataannya, Yang dijatuhkan bukanlah junta, tetapi yang dijatuhkan AS adalah ekonomi Haiti yang mengarah ke kiri. Rejim yang ditunjuk oleh Washington kemudian adalah pembela neoliberalisme.



Ada beberapa hal yang perlu diberi catatan pada perkembangan baru ini; pertama, perubahan pendekatan dari yang awalnya mendukung kediktatoran militer dalam melawan bahaya “merah”, beralih menjadi pendukung pemilu regular, kebebasan pers dan media massa, penegakan HAM, dsb. Kedua, rejim-rejim yang terpilih dalam pemilu sama sekali tidak menjalankan mandate rakyat, tetapi kemudian menjalankan anjuran IMF dan kehendak korporasi-korporasi multinasional. Ketiga, antara rejim militer dengan rejim demokratis yang terpilih oleh pemilu mempunyai keterkaitan; mereka sama-sama tunduk kepada imperialisme AS.



Isu HAM dan Pemilu Presiden



Berbeda dengan peringatan bulan mei sebelumnya, gerakan yang mengangkat isu HAM harus berhati-hati, setidaknya karena beberapa hal; pertama, menjelang pilpres, isu HAM bukanlah isu yang netral, tetapi merupakan isu yang dapat dikendalikan untuk menyerang sosok capres tertentu dan memberi keuntungan kepada capres lain. Kedua, Isu HAM yang berkembang sekarang ini lebih banyak soal kejahatan kekerasan kemanusian, seperti penculikan, pembunuhan, kekerasan, dan sebagainya. Itupun berputar-putar pada peristiwa mei dan penculikan sejumlah aktifis pada tahun 1996-1998, maka isu ini begitu mudah dipermainkan untuk kepentingan kubu capres tertentu. Kenapa tidak mengungkap kejahatan pembantai 65-66?



Tidak dapat ditutupi, kubu Prabowo dan Wiranto merupakan kubu yang paling dirugikan, sementara kubu SBY sedikit diuntungkan karena cenderung dianggap kubu reformis. Padahal, kejahatan SBY terhadap kemanusiaan jauh lebih besar, terutama karena kebijakan neoliberalnya, seperti pemiskinan, pengangguran, dsb. Untuk itu, perlu dipikirkan agar isu HAM yang dibangun oleh gerakan perlu memikirkan hal-hal berikut; pertama, perspektif HAM-nya harus diperluas bukan hanya pelanggaran HAM berbentuk penculikan, penembakan, pembunuhan, dsb, tetapi juga hak azasi manusia di bidang ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB), sehingga neoliberalisme juga bisa kena batunya. Kedua, karena perspektifnya diperluas, maka sasaran tembaknya bukan hanya kepada capres-capres tertentu, tetapi juga harus mengarah kepada seluruh capres yang melanggar Hak Asasi rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, dan sebagainya.



Jadi, perspektif perjuangan HAM tidak bisa sekedar berbicara kerusuhan mei dan penculikan aktifis, tetapi harus berbicara luas mengenai pelanggaran ekosob yang dilakukan oleh neoliberalisme. Hal ini juga perlu dilakukan, supaya kita tidak terjebak penjahat yang belum agressif, namun memberikan peluang dan ruang besar kepada penjahat yang lebih ganas dan brutal.



Neoliberalisme dan Persoalan Demokrasi



Bagi saya, merupakan hal aneh jika ada yang beranggapan bahwa ancaman terbesar sekarang adalah kembalinya jenderal-jenderal pelanggar HAM dan tokoh-tokoh orde baru, sementara melupakan persoalan demokrasi yang lebih kasat mata, khususnya pelaksanaan pemilu curang pada 9 april lalu dan sejumlah represi yang kian sering terjadi. Kejahatan mereka nampak jelas di depan mata.



Perlu dijelaskan: kecurangan pemilu lalu merugikan perjuangan demokrasi dari berbagai aspek, diantaranya; (1) menghilangkan ruang bagi rakyat untuk berpartisipasi menentukan perwakilan dan arah politik dari pemerintahan. (2) menghidupkan kembali pola-pola lama yang pernah dianut rejim orde baru. Jadi, apa yang kita benci pada masa orba sehingga menggulirkan gerakan reformasi, kini kembali dihidupkan oleh rejim neoliberal, SBY; (3) kecurangan ini melahirkan pemerintahan yang tidak legitimate. Begitu kecurangan bekerja, maka suara rakyat secara real tidak punya nilai artikulasi politik lagi.



Sekarang ini, neoliberalisme bukan hanya ancaman bagi kesejahteraan rakyat, tetapi juga merupakan ancaman serius bagi demokrasi. Kenapa hal itu bisa terjadi? Dalam segala hal, rejim neoliberal yang sudah mulai kehilangan dukungan rakyat ini akan menggunakan cara-cara anti-demokrasi untuk mempertahankan kekuasaannya, seperti kecurangan pemilu dan mengorganisikan represifitas.



Nah, dalam konteks itu, neoliberalisme justru merupakan ancaman nyata terhadap baru, perlu ditekankan bahwa ancaman terhadap demokrasi sebagai hasil perjuangan kehidupan demokrasi. Untuk ini, saya mengajukan beberapa fakta; pertama, rejim neoliberal menggunakan kecurangan dan manipulasi untuk memenangkan pemilu. fakta dan data mengenai kecurangan pemilu tidak sulit didapatkan, tetapi hampir semua orang mengantongi data dan fakta mengenai hal ini, tentunya. Kedua, meningkatnya penggunaan represi dan intimidasi terhadap aksi-aksi protes yang digelar, seperti kejadian di aksi peringatan hari buruh sedunia di Kupang, aksi mahasiswa memperingati hari pendidikan nasional di Makasar, penangkapan aktifis Walhi di Manado, dan berbagai tempat yang tidak terekam catatan ini.



Dalam menghadapi berbagai momen peristiwa mei, terutama peringatan lengsernya orde reformasi bukan saja berasal dari kekuatan lama (orde baru), tetapi juga berasal dari sistim neoliberalisme. Jadi, jangan sampai kita menjadi pion-pion yang secara tidak sadar dikendalikan oleh sebuah kekuatan besar, neoliberalisme.



Rudi Hartono, Peneliti Lembaga Pembebasan dan Media Ilmu Sosial (LPMIS), Pengelola Jurnal Arah kiri, dan Pemimpin Redaksi Berdikari Online.

P E R S P E KT I F

Historiografi Feminis dalam Penulisan Sejarah

Maria Hartiningsih

Pengalaman ketertindasan perempuan serta pengalaman mereka yang kalah atau dipaksa kalah sampai saat ini masih berada di dalam ruang gelap sejarah. Untuk menyingkapnya, diperlukan perspektif feminis dalam penulisan (ulang) sejarah.

Penulisan sejarah dari perspektif feminis ini menjadi pokok bahasan Ruth Indiah Rahayu dari Lingkar Tutur Perempuan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan peneliti Agung Ayu Ratih dalam lokakarya mengenai Historiografi Indonesia di Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Lokakarya tiga hari itu itu diselenggarakan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada dan Australian Research Council, dihadiri 40-an peneliti sejarah dari dalam dan luar negeri (Malaysia dan Australia).

Sejarah dari perspektif feminis dan historiografi yang berkeadilan merupakan konsep yang ditawarkan Ruth, dikuatkan Agung Ayu, yang mempertanyakan arti "sejarah" di luar kerangka "sejarah nasional". Sejarah "babon" atau "induk" itu, menurut dia, mengesampingkan pemikiran dan pengalaman perempuan serta kelompok yang dipinggirkan.

Peneliti dari Universitas Sydney, Safrina Thristiawati, mengatakan, perempuan menghilang dari literatur sejarah Indonesia. Dalam berbagai kajian, perempuan kadang dikatakan berperan penting, tetapi bahasannya tidak terlihat.

Dari segi jumlah saja, dari lebih 1.700 buku mengenai sejarah yang diterbitkan di Indonesia sejak tahun 1997, hanya 2 persen yang membahas peran perempuan. Itu pun belum dalam perspektif yang lebih berkeadilan.

Menerobos

Tugas penulisan sejarah berperspektif feminis, menurut Ruth, adalah menerobos diskursus tentang periodisasi politik yang dianggap "besar".

Pengalaman ketidakadilan dan ketertindasan perempuan akan lenyap jika dihubungkan dengan periodisasi politik, terutama yang terkait dengan masalah male-production, yang langsung atau tak langsung membawa perubahan sosial di Indonesia, di luar peristiwa politik di negeri ini.

Namun, Agung Putri berpendapat, pemilahan masalah politik dan kemanusiaan sulit dilakukan karena kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dilepaskan dari soal politik. Ia mempersoalkan waktu secara sosial dan dalam tataran personal, serta mengingatkan perempuan bukan kelompok monolitik.

Hal senada dikemukakan Ruth. Dari segi pemaknaan bahasa yang mudah berubah-ubah, penggunaan "perempuan" sebagai kategori analitik penelitian dan penulisan sejarah, cukup bermasalah. Di dalam kata "perempuan" juga tidak terlihat perbedaan kelas, etnis, ras, kelompok politik, dan juga perbedaannya sebagai seks.

Istilah women history atau "sejarah perempuan" sejatinya rentan terhadap ancaman perubahan yang dilakukan penguasa melalui bahasa. Ini terlihat jelas dari perubahan kata "perempuan" menjadi "wanita", dan dari cara Orde Baru mengonstruksikan perempuan semata-mata sebagai istri dan ibu.

Agung Putri mempertanyakan di mana perempuan di antara kelompok yang terpinggir dan dipinggirkan, bagaimana posisi mereka dalam sejarah mulai tahun 1908, bagaimana keterkaitan antara identitas dan rasa kebangsaan setelah revolusi tahun 1945, dan bagaimana menempatkan fakta yang membanjir dan terus bertubrukan itu dalam konstruksi kesadaran.

"Sampai saat ini tak ada arsip tentang sejarah perempuan di Indonesia," ujar Agung Putri. Gerakan maju perempuan, menurut dia, tertunda tiga kali dengan penghancuran gerakan perempuan setelah peristiwa 1965.

Berbagai hal juga masih perlu dilacak kesejarahannya. Agung Putri mengusulkan agar dirumuskan kembali arti "kemerdekaan", "bangsa" serta istilah semacam "patriotisme". Istilah "politik" bagi perempuan tidak melulu soal kekuasaan negara, tetapi membumi melalui pengalaman sehari-hari, termasuk di ruang domestik.

Sejarah berperspektif feminis, menurut Ruth, bukan merupakan upaya menulis sejarah yang androgini bila didasarkan pada keseimbangan representasi kegiatan laki-laki dan perempuan dalam peristiwa sejarah.

"Historiografi feminis di Indonesia dimaksudkan untuk menyajikan fakta sejarah yang berasal dari pengalaman perempuan yang dipaksa kalah dalam suatu proses penciptaan kebudayaan," ujarnya.

Agung Putri menambahkan, perspektif tersebut bukan dimaksudkan untuk "mengalahkan" laki-laki, tetapi memperlihatkan pengalaman perempuan, termasuk perlawanan mereka, sekalipun dilakukan dengan membisu. "Bukan dengan meratapi nasib," ujarnya.

Tugas penulisan sejarah feminis, menurut Ruth, menanggalkan status perempuan sebagai korban dan selanjutnya menempatkan mereka sebagai pencipta sejarah.

Dalam hal ini, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan telah mengangkat perempuan korban tragedi tahun 1965 sebagai human rights defender dalam peringatan Human Rights Defender’s Day bulan November tahun lalu.

Sejarah "alternatif" atau apa pun namanya di luar sejarah sejarah "babon" itu, menurut Agung Putri, membutuhkan dialog terus-menerus dengan pihak yang kalah dan yang dipaksa kalah. Dengan demikian, sejarah ditulis secara lebih berkeadilan.

Sejauh ini, perspektif feminis belum banyak digunakan. Dalam konteks tertentu, antropolog dari Belanda, Dr Saskia Wieringa, melakukannya dalam penelitiannya yang telah diterbitkan, The Politization of Gender Relations in Indonesia, Women’s Movement and Gerwani Until the New Order State. Kalyanamitra dan Garba Budaya menerjemahkannya dalam buku berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999).

http://www.kompas.com

POLITIK FEMINIS UNTUK PEMBEBASAN

Serangan terhadap hak-hak wanita.
Sejak berlakunya krisis ekonomi berkepanjangan 1970-an pemerintah-pemerintah di seluruh dunia telah mencoba untuk memotong upah dan pekerjaan, pelayanan sosial, dan kesejahteraan publik. Sementara subsidi dan potongan pajak bagi bisnis-bisnis besar terus meningkat. Hak-hak yang telah dimenangkan oleh pekerja, kelompok-kelompok perempuan, dan pendatang juga diserang. Untuk membenarkan serangan pada pelayanan anak publik, hak perempuan untuk pekerjaan dan pendidikan yang sama dan pelayanan perempuan, arahan ideologis telah diakselerasikan oleh pemerintah-pemerintah itu untuk mendorong wanita kembali pada peranan istri, ibu dan buruh yang tak dibayar.

Saat ini banyak anak muda tertarik dengan hak-hak perempuan dan ide-ide feminis. Tetapi gerakan yang terorganisisr masih lemah. Kepentingan saja ternyata tak cukup untuk menghentikan agenda anti perempuan. Selain beberapa kampanye yang bagus tak ada lagi kampanya yang besar sekarang.

Tanpa melanjutkan aksi ini, kemenagan yang telah diraih akan hilang kembali. Saat ini gerakan berada dalam titik terendah sejak 1970-an, dan kita punya tugas mendesak untuk membangun kembali gerakan itu. Untungnya kita masih punya banyak kemenangan yang akan mempermudah perjuangan itu.

Gerakan itu secara masif menaikkan pengharapan dan kesadaran tentang hak-hak wanita- hal ini masih bisa dicatat pada tingkatan tinggi kesadaran feminis dasar hari ini, meskipun kesadaran ini telah tidur. Kita masih mempunyai banyak reformasi konkrit: hak formal untuk upah yang sama, kesempatan bekerja yang sama, kebebasan dari diskriminasi. Sangat sulit bahkan bagi pemerintahan liberal untuk secara terbuka mengambilnya kembali sekarang, meskipun jalan juga terbuka bagi mereka untuk melakukannya.

FEMINISME LIBERAL.

Selama tahun 1980-an banyak kepemimpinan gerakan disuap dengan kedudukan-kedudukan dalam birokrasi pemerintah dan akademia (banyak diantaranya baru-dibuat untuk menempati sudut-sudut feminis) yang sering terikat dengan pemerintah di negara-negara maju. Reformasi feminis yang dipaksakan dari sistem oleh gerakan massa digunakan oleh femisnis-feminis ini untuk menyimpangkan kritisme dari dukungan kuat kepada partai-partai berkuasa.

Hal ini menimbulkan sejumlah kebijakan minus mengenai wanita, seperti bayaran untuk pendidikan yang lebih tinggi, pemotongan pekerjan dan serangan pada hak berserikat; menolak untuk mengambil posisi partai dalam hak aborsi; Banyak aktivis feminis dari kelompok yang militan dalam awal gerakan, menjadi terjebak dalam kerja kesejahteraan yang dibiayai oleh pemerintah dan sering secara politik berkompromi karena ketakutan dananya ditarik.

Keindependenan politik gerakan pembebasan perempuan diragukan. Kaum Femokrat (feminis demokrat) dan politik perempuan secara aktif mendemobolisasi kampanye mengancam kekuatan elektoral partai yang berkuasa (sumber dana mereka dan jalan karir mereka). Dan metode lobi dan perspektif reformis disemangati oleh feminis-feminis ini, yang bekerja untuk mencegah segala pukulan radikal dari buruh, menjadi lebih dan lebih dominan dalam gerakan.

Proses yang sama dalam pemilihan anggota diterapkan pada serikat buruh tahun 1980-an melalui persetujuan harga dan pendapatan. Hal ini kemudian memperlemah gerakan pembebasan perempuan sebagaimana serikat gagal memobilisasi melawan serangan yang lebih luas terhadap persoalan-persoalan seperti hak buruh dan derma.

Hari ini, sementara banyak perempuan masih berbicara tentang hak yang sama dan perlunya organisasi feminis, mereka telah meninggalkan proyek pembangunan gerakan massa pembebasan perempuan yang bertujuan dan mempunyai kekuatan untuk menaikkan kondisi semua perempuan. Dalam praktisnya, mereka mendukung kampanya sepanjang itu tak dapat menentang kepentingan mereka sendiri yang mengalir dari posisi istimewa yang sekarang mereka pegang.

Feminis liberal mempunyai akses yang jauh lebih besar terhadap uang, media dan pembuat keputusan kebijakan publik daripada kelas pekerja perempuan atau orang kiri. Dan keberadaan media massa dan partai politik hanya terlalu bergelora untuk mempromosikan transformasi feminisme dari basis yang luas, gerakan militan melawan penindasan perempuan dan untuk transformasi kolektif masyarakat, kedalam suatu fokus pada hak-hak individu, pencapaian individu dan solusi individu yang sedikit demi sedikit tanpa menantang struktur fundamental atau elit penguasa, akan membuat sedikit perempuan meningkatkan peran mereka dalam mereformasi status quo.

Satu contoh dari perspektif ini adalah buku kedua Naomi Wolf Fire with Fire dimana ia menunjukkan pentingnya "feminisme kekuatan" pada tahun 1990-an. Perempuan sudah "kuat", katanya, karena mereka memegang lebih dari 50 % suara di AS, karena "sekarang ada 2, 339 juta perempuan AS dengan pendapatan pertahun lebih dari $50.000" dan karena mereka menempati 80% pengeluaran konsumen. Kita hanya perlu menghentikan buku Wolf langsung pada keistimewaan yang seperti dirinya sendiri akan diterima kedalam kemapanan pria, bahkan mungkin ke dalam kelas berkuasa sejati, bila mereka memakai "femisisme " mereka .




TANTANGAN TERHADAP FEMINIS LEBERAL
Sejak tahun 1980-an tak ada gerakan terorganisir yang cukup kuat untuk menantang feminisme liberal. Seluruh kampanye besar sebenarnya telah disubordinasikan pada perwakilan untuk melobi partai buruh sementara yang lainnya disuruh pulang dan menulis surat.

Pawai dan reli pada hari Perempuan seDunia setiap tahun hanyalah satu-satunya mobilisasi tahunan besar dengan kerangka kerj yang cukup besar untuk merepon setiap serangan terhadap hak-hak perempuan dan menaikkan sejumlah tuntutan.

Tetapi even ini gagal untuk menggambarkan orang pada aksi yang sedang berlangsung. Mereka yang selalu mencoba untuk membangun gerakan bagi pembebasan semua perempuan menemui tantangan besar dari mengambil kepemimpinan gerakan dari feminis liberal.

Perspektif feminis liberal semakin tak berguna dalam menanggapi serangan yang terakselerasi terhadap wanita oleh pemerintah.Tetapi suatu gerakan yang lemah, terdominasi untuk menantang sernag ideologi dari kelas pengiuasa telah menghasilkan dalam suatu kemurtadan kesadaran feminis umum. Kebutuhan menjadi feminis secara keseluruhan diuji lebih luas, dan ide-ide sexis lebih bisa diterima. Sementara pengakuan ketidaksetaraan perempua masih cukup tinggi dalam masyarakat, suatu pengertian mengapa ini persoalan dan bagaimana melawannya.

Hal ini membuat banyak perdebatan baru muncul dalam putaran feminis terutama penting dan mendesak. Kita harus mengambil keuntungan dari perjuangan yang masih kita miliki, untuk mendorongnya. Ada diskusi besar diperlukan tentang bagaimana cara melakukannya.

Trend Feminis saat Ini
Diantara mereka yang menolak liberal feminisme sebagai titik akhir untuk perubahan saat ini ada tiga trend besar: Feminisme Marxis, Feminisme Post Modernis dan Feminisme Radikal. Kami, Resistence adalah bagian dari trend yang pertama dan percaya bahwa yang dua lainnya adalah kontraproduktif pada tujuan untuk mendirikan kembali gerakan yang diperlukan untuk mencapai pembebasan perempuan.

Banyak feminis akan mengedepankan suatu campuran pillihan dari pendekatan feminis. Dan banyk feminis masih sangat dipengaruhi oleh individualisme liuberal.Hal ini dikarenakan terutama pembelokan gerakan dan kekuatan konserfatif dominan dalam masyarakat dan secara umum telah membelokkan kepercayaan tentang aksi kolektif dan sebenarnya menjadi mampu untuk merubah sistem yang menindas perempuan.

Marilah kita bahas bersama trend feminisme itu:

Feminisme Marxis
Tak seperti feminisme liberal, feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme hanya dapat membuat "sukses" untuk sejumlah kecil perempuan. Dan sejarahnya ia hanya membuat demikian dibawah tekanan dari bawah. Kesetaraan penuh bagi semua perempuan tak bisa dicapai di bawah kapitalisme. Pembebasan individual adalah mustahil karena seksisme adalah persoalan sosial yang berhembus dari penindasan institusional terhadap perempuan dalam kapitalisme. Kapitalisme berdasarkan pada peranan sedikit orang yang berkuasa yang memiliki semua sumber ekonomi dan industri, diluar kita semua yang dipaksa untuk kerja upahan untuk hidup-kelas pekerja. Sistem ini alat untuk kebutuhan minoritas, untuk pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan, eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari mayoritas. Dan setiap institusi besarnya mendukung bahwa: pemerintah, keluarga, media, polisi, sistem pendidikan, dan sistem legal.

Sebenarnya, satu-satunya jalan bagi perempuan, dan semua kaum tertindas untuk memenagkan pembebasan adalah dengan melawan untuk sebuah sistem baru yang demokratik- masyarakat yang berfungsi untuk menemukan kebutuhan mayoritas orang dan lingkungan lebih baik dari minoritas yang haus keuntungan.

Satu-satunya kekuatan yang mampu untuk membuat masyarakat sosialis baru ini adala kelas pekerja, membuat semua kesejahteraan masyarakat. Pertempuran melawan penindasan lain yang memisahkan kelas pekerja-rasisme, seksisme, penindasan bangsa-adalah tak dapat dihindarai untuk menggulingkan kapitalisme karena kelas pekerja yang terbelah tidaklah cukup kuat untuk mengalahkan kelas kapitalis yang sedang berkuasa. Penindasan perempuan adalah bagian yang esensial dari sistem kapitalis.

Seksisme pernah dibenarkan, menopang suatu institusi yang penting bagi kapitalisme:keluarga. Keluarga mengizinkan kelas berkuasa untuk menghapuskan semua tanggung-jawab bagi kesejahteraan ekonomi dan perawatan pekerja mereka dan menimbulkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas dengan mengizinkan pemilikan properti dari satu generasi ke generasi lainnya dalam kelas mereka.

Unit keluarga individual menjaga para pekerja berkompetisi untuk bertahan hidup, mendorong pembagian sosial buruh berdasarkan penaklukan dan ketergantungan ekonomi perempuan, dan membantu untuk mensosialisasikan generasi baru dalam hubungan otoriterian hirarki yang diperlukan untuk membuat kelas pekerja tetap pasif. Seksisme membuat perempuan bekerja keras mengurusi pekerjaan rumah tangga, semuanya dilakuakn dengan gratis. Ia menyebabkan majikan untuk menggaji perempuan lebih sedikit.

Semua perempuan tertindas sebagai perempuan, tetapi dampak penindasan itu berbeda bagi perempuan pada kelas yang berbeda. Perjuangan seputar aspek-aspek spesifik dari penindasan perempuan memerlukan terlibatnya perempuan dari latar sosial berbeda. Tetapi gerakan masa pembebasan perempuan Marxis bertujuan untuk mendirikan akan menjadi dasar kelas pekerja dalam komposisi,orientasi, dan kepemimpinan karena hanya sebuah gerakan bisa meraih pembebasan paerempuan sejati.

Gerakan feminis massa, yang berjuang bagi kesetaraan bagi semua perempuan, tak dapat dihindarkan lagi membutuhkan reorganisasi total dalam masyarakat dalam kepentingan minoritas, yaitu membuka kapitalisme. Sebuah gerakan akan menuntut: hak bagi perempuan untuk mengontrol tubuh mereka sendiri: legal penuh, kesamaan politik dan sosial; hak untuk merdeka secara ekonomi dan kesetaraan, kesempatan studi yang setara,hak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi, dan bebas dari penindasan seksualitas manusia.

Hanya masyarakat sosialis yang bisa memenuhi tuntutan ini: memindahkan paksaan ekonomi dibalik perbudakan perempuan dalam keluarga; mengambil pertanggung-jawaban sosial bagi tugas-tugas yang tadinya dilakuak dengan gratis oleh perempuan dalam rumah; memindahkan eksploitasi kelas. Dibawah sosialisme sebagian besar manusia baik perempuan atau laki-laki akan menikmati eliminasi penindasan perempuan sebagaimana masih akan membiarkan perkembangan penuhhubungan kebutuhan manusia bebasa dari distorsi seksisme dan pengasingan seksualitas yang dibuat oleh masyarakat kelas.

Sosialisme juga satu-satunya sistem yang bia meniadakan penindasan lain yang diderita banyak perempuan, seperti rasisme, dan eksploitasi dunia ketiga oleh bangsa imperialis maju. Perempuan tak bisa memenangkan masyarakat baru ini dan pembebasan mereka tanpa bergabung dengan perjuangan pembebasan lain-dan dengan kelas pekerja secara keseluruhan.

Laki-laki sebagai individual maupun kelompok, mempunyai kepentingan material dalam dan menikmati penindasan terhadap perempuan. Sebagai kelamin mereka mempunyai akses yang lebih baik ke pendidikan, pekerjaan dan upah yang lebih baik; mereka tak memikul dua beban kerja upahan dan buruh domestik gratis; karena situasi ekonomi mereka yang lebih baikmereka mempunyai akses seksual terhadap perempuan, melalui indistri seksual. Penindasan perempuan dalam masyarakat sosial membawa laki-laki menerima keistimewaan yang melembaga dan keuntungan terhadap perempuan.

Bagaimana pun penindasan perempuan berjalan memukul kepentingan kelas laki-laki kelas pekerja karena ia memisahkan kelas pekerja dan memperlemah kemampuan mereka untuk berjuang dan menggulingkan sang penindas, kapitalis. Tetapi sampai laki-laki kelas pekerja mengembangkan kesadaran kelas-sampai mereka menyadari kepentingan kelas mereka diatas kepentingan mereka sebagai individu, dan karenanya mengerti kebutuhan untuk bergabung dengan kaum feminis bertempur melawan seksisme- mereka akan meletakkan kepentingan mereka sebagai anggota kelas berkuasa dahulu.

Perjuangan Marxis untuk mengembangkan kesadaran ini dalam kelas pekerja karena analisis mereka membawa mereka untuk mengerti bahwa perjuangan oleh perempuan melawan penindas mereka sebagai perempuan dan perjuangan untuk menghilangkan ketidaaksetaran kelas berjalan terus. Tetapi ini bukan berarti bahwa perempuan harus menunda perjuangan mereka sampai "setelah revolusi". Sebaliknya hubungan yang erat antara penindasan gender dan kelas memberikan kepada perjuangan sosialisme sebuah perjuangan terpadu juga: "tak ada revolusi sosialis tanpa pembebasan perempuan, tak ada pembebasan perempuan tanpa revolusi sosialis"

FEMINISME POST MODERN

post modernisme adalah teori yang dihasilkan dari kemunduran dan demoralisasi:

Pelemahan gerakan pembebasan perempuan tahun 1970-an dan kemunduran yang luas dari gerakan kiri di seluruh dunia, setelah runtuhnya "komunisme di eropa timur dan Uni Soviet. Post modernisme adalah bentuk dimana liberalisme menemukan penyewaan baru pada hidup di negara kapitalis maju sejak akhir 1980-an.

Pada tempat fokus gerakan pertama terhadap pengalaman umum perempuan terhadap penindasan, post modernisme menekankan perbedaan : perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan antara perempuan sendiri, baik berdasarkan ras, kelas, agama, etnik atau psikologis. Politik "perbedaan" mempertahankan bahwa karena mereka yang yang telah memimpin atas nama ilmu pengetahuan dan kemajuan di dalam masyarakat ini mempunyai kelompok marginal yang tereksploitasi (termasuk perempuan).

Menentang dirinya sendiri pada "penguniversalan" pengetahuan ilmiah dan pengalaman sejarah, feminisme post modern. Menentang bahwa semua orang mengamati, mengerti dan merespon segala persoalan secara berbeda. Tak ada yang contoh mutlak dalam masyarakat. Secara khusus, dari kenyataan bahwa daya tangkap manusia dunia melalui perantaraan bahasa, post modernisme telah kenyataan menjadi ribuan pecahan. Dalam prakteknya ini berarti bahwa setiap orang harus melakukan persoalan mereka sendiri, percaya dan menghargai individualitas dari pengalaman mereka dan ide-ide mereka, dan (seharusnya) menghormati individualitas orang yang lain. Penindasan ekonomi dan psikologi oleh semua perempuan dibagikan oleh semua perempuan keluaran dari keadaan.

Sementara Marxis juga akan bertanya netralitas dari ilmu pengetahuan atau alasan atau kemajuan dibawah kapitalisme, kita berfikir bahwa keadaan realitras objektif, sebagaimana ide-ide dan teori mampu menjelaskan hukum dengan siapa fungsi realitas objektif. Tujuan kita adalah untuk mengenali dan mempelajari kenyatan ini dalam rangka untuk merubahnya. Tetapi bagi kaum post modernis, pembebasan itu terpisah dari perjuangan lain untuk merubah masyarakat, dan menjadi perjuangan individual dan subjektif. Terlebih, setiap seruan pada realitas objektif, termasuk pengalaman umum, terlihat sebagai penindasan pandangan personal orang lain. Jadi berbicara penindasan sistematis atau kebutuhan untuk bersatu untuk melawannya disadari tak hanya tak dapat diminta tetapi penindasan.

Post modernisme adalah isu utama perdebatan pada konferensi NOWSA tahun 1994. Sementara banyak orang akan dengan bangga mencap dirinya sendiri sebagai post modernis sekarang, asumsi dasar tentang post moderrnisme adalah hidup dalam studi perempuan dan diantara aktivis kampus.

Ide yang tak dapat kamu katakan bagi setiap kelompok yang tertindas bahwa kamu bukanlah bagian dari ide bahwa hal yang terpenting untuk kamu lakukan adalah untuk "mendefinisikan". Ide bahwa lebih penting untuk membicarakan seberapa berbedanya perempuan satu sama lain, dan bagaimana perempuan kelas menengah kulit putih mendominasi gerakan, daripada membicarakan pengalaman umum perempuan dan apa yang harus dilakukan tentang itu;dan Ide tentang bagaimana kamu rasa tentang hal-hal yang kamu lihat atau alami membedakan apakah itu penindasan atau bukan. Mengikuti kesimpulan logika mereka, ide ini bermaksud bahwa setiap usaha untuk mengenali dan mengerti penindasan perempuan, dan untuk bersatu dan melawannya adalah pasti. Postmodernisme mempunyai dampak destruktif ketika mendirikan gerakan melawan penindasan perempuan.

FEMINISME RADIKAL
Feminisme radikal berlawanan dengan individualismenya post modernisme, menawarkan analisis struktural terhadap penindasan perempuan dan solusi sosial-meskipun salah.

Feminisme radikal mengatakan bahwa sistem dominasi laki-laki terhadap perempuan-apa yang mereka sebut "patriakal"-datang dari perbedaan biologi antara jenis kelamin, khususnya peran perempuan dalam reproduksi . Perbedan essensial ini, kata mereka adalah basis material dari perempuan selalu dipandang dan diperlakukan oleh laki-laki sebagai objek sosial.

Karena laki-laki tak mengalami penindasan kelamin, mereka tak akan mungkin mengerti dan secara konsisten berjuang untuk pembebasan perempuan. Dari kenyataan bahwa setiap laki-laki menikmati manfaat dari penindasan perempuan, mereka menyimpulkan bahwa laki-laki adalah sumber penindasan perempuan dan adalah musuh utama laki-laki. Konklusi logis dari feminisme radikal adalah praktek politik yang terpisah, dimana pria mempunyai sedikit atau tidak peranan untuk dimainkan dalam pembebasan permpuan. Mereka menentang partisipasi laki-laki dalam rally-rally dan konferensi-konferensi menuntut hak perempuan dan sering mengajukan lesbianisme sebagai seksualitas konsisten secara politik bagi kaum feminis.

Dalam masyarakat kapitalis, seksisme dijustifikasi oleh ide bahwa penindasan perempuan adalah alami atau tak dapat terhindarkan. Halini adalah dalam rangjka untuk menutupi struktur sosial yang menindas perempuan dan menumpulkan gerakan apapun dan merubahnya. Dengan melokalisir sumber penindasan perempuan dalam biologi perempuan dan laki-laki, feminisme radikal menerima ide bahwa seksisme itu tak terhindarkan dan dalam hal ini ia adalah juga politik kekalahan yang mendemoralisasikan gerakan feminis.

Dalam mencari solusi sebagai separatisme ia juga mengisolasi gerakan, baik dengan pengasingan dengan kelompok tertindas lain dan dari massa yang mendukung diantara perempuan. Feminisme radikal sebagai trend telah ada sejak awal 1970-an, tetapi dalam menghadapi dominasi feminisme liberal dan membelokkan gerakan, ia muncul ke akademia dan studi perempuan. Sebagaimana feminisme liberal gagal untuk menghasilkan kesetaraan feminisme radikal menjelaskan tentang penindasan dan pembebasan perempuan telah dimunculkan kembali dan mempunyai seruan spesial yang mendesak bagi perempuan yang baru teradikalisir..

Karena sebagian besar perempuan langsung mengalami seksisme datang dari tangan laki-laki secara individual, atau karena mereka melihat kaum laki-laki menikmati penindasan perempuan dan status perempuan, ide bahwa pria adalah persoalan tak terhindarkan lagi menjadi kesimpulan bagi para feminis.

Tetapi dengan membangun teori yang secara biologis menunjukkan dominasi pria, feminis radikal gagal untuk menjelaskan karakter sosial penindasan perempuan. Hal ini mengabaikan kenyataan bahwa kelas pekerja perempuan dan laki-laki mempunyai kepentingan yang sama dalam menggulingkan masyarakat kapitalis.***

Perfect Day

BTricks


ShoutMix chat widget

Pengunjung

PENGUNJUNG

free counters