TRIPANJI PERSATUAN NASIONAL

1. HAPUSKAN HUTANG LUAR NEGERI 2. NASIONALISASI INDUSTRI ASING 3. INDUSTRIALISASI NASIONAL

19 Desember 2010

Laporan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir

Inilah hasil kerja Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPF Munir). Dokumen ini berisi riwayat pembentukan TPF Munir, cara kerja, yang dilakukan hingga temuan dan rekomendasinya kepada Presiden Indonesia.

Dokumen ini bisa diunduh di sini

Sumber :www.indoleaks.org

Dua Tahun Tragedi Suluk Bongkal: Dusun Hilang, Hutang Nyawa Yang Belum Terbayar




Oleh : Agun Sulfaira

18 Desember 2008, tepat dua tahun yang lalu, helicopter bergentayangan di atas langit dusun Suluk Bongkal, Riau, sambil menjatuhkan bom api di atas atap-atap rumbia bangunan milik petani. Tidak kurang dari 1500 pasukan gabungan (polisi, satpol PP, dan preman bayaran) menggempur dusun Suluk Bongkal dari darat.

Geranat merica gas OC atau lazimnya disebut gas air mata membentur kepala, menyengat pernafasan dan membutakan mata sejenak. Hantaman peluru karet juga diarahkan kepada para petani tak besenjata, disertai tendangan sepatu lars dan pentungan.

Seorang gadis mungil, Putri, yang baru berusia 2,6 bulan ditemukan tak bernyawa dan mengapung di dalam sumur keruh. Putri terjatuh ke dalam sumur itu ketika ibunya jatuh tergelincir saat berusaha menyelamatkan diri. Beberapa orang petani tertembak, ratusan lainnya ditangkap, dan ratusan lagi kaum tani melarikan diri masuk ke dalam hutan untuk bersembunyi.
Tidak terhitung jumlah rumah, motor, dan harta benda yang terbakar. Bahkan hamparan padi yang sudah hampir menguning pun berubah menjadi abu bekas pembakaran.

Seperti yang di rilis Riau Mandiri, halaman pertama, jumat-19 desember2008, pasukan kepolisian yang dipimpin oleh Kombes Pol. Syaiful bahri (Wakapolda Riau), Kombes Pol. Alex Mandalika (Ditreskrim Polda Riau), AKBP. Makmur ginting (Dir.Samapta Polda Riau), AKBP Agung Darmono (Dir. Intelkam Polda Riau), Drs, zulkifli. Mh (Kabid Humas Polda Riau), dan AKBP. Risyapudin nursin (Kapolres Bengkalis), telah melakukan penggusuran secara paksa terhadap warga dusun suluk bongkal atas permintaan perusahaan perampas tanah rakyat, yaitu PT. ARARA ABADI.

Kejadian ini menyisakan trauma mendalam terhadap ribuan warga dusun suluk bongkal, bahkan berimbas kepada desa-desa sekitarnya.

Tentang tanah harapan

Secara historis, dusun Suluk Bongkal termasuk dalam Besluit yang dipetakan sejak Belanda menjalin kerjasama dengan kerajaan Siak, diperkirakan tahun 1940. Sekitar tahun 1959, dibuatlah peta yang mempunyai ketentuan pembagian wilayah memiliki hutan tanah ulayat batin (keabsahan suku Sakai), dan termasuk didalamnya wilayah Suluk Bongkal.
Sampai suatu ketika, Menteri Kehutanan menerbitkan SK tentang Hutan Tanaman Industri (HTI) kepada PT. Arara Abadi, maka dimulailah mala-petaka dan penderitaan bagi warga Suluk Bongkal.

Mengenai SK tersebut, dapat kita kritisi sebagi berikut:

Ketetapan pertama point kedua disebutkan: Luas dan letak definitif areal kerja Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) ditetapkan oleh Departemen Kehutanan setelah dilaksanakan pengukuran dan penataan batas di lapangan.” Persoalannya kemudian adalah, bahwa masyarakat belum mendapatkan satu info pun tentang sosialisasi hasil pengukuran dan penataan batas di lapangan, terkait SK tersebut.

Dalam ketetapan kedua yang memuat kewajiban-kewajiban perusahaan diantaranya:

Point kedua tentang pelaksanaan penataan batas areal kerja PT. Arara Abadi selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak ditetapkan keputusan tersebut. Faktanya kemudian adalah, bahwa masyarakat belum pernah mendapati tentang penetapan batas areal batas kerja yang dimaksud. Jika penataannya ditegaskan 2 tahun setelah SK ditetapkan, maka tentunya pada tahun 1998 PT Arara Abdi telah menyelesaikan seluruh proses inclaving terhadap kawasan yang telah dihuni masyarakat jauh sebelum mereka ada.

Dalam ketetapan keempat dikatakan:

1. Apabila di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut dikeluarkan dari areal kerja Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).
2. Apabila lahan tersebut ayat 1 (satu) dikehendaki untuk dijadikan areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), maka penyelesaiannya dilakukan oleh PT. ARARA ABADI dengan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Selanjutnya, perusahaan juga mempunyai kewajiban yang ditetapkan pada ketentuan III :
A.1. diungkapkan bahwa, perusahaan wajib memperhatikan atau mengambil langkah-langkah secara maksimal untuk menjamin keselamatan umum karyawan dan atau orang lain yang berada dalam areal kerjanya. Bahwa, banjir yang diakibatkan oleh areal perusahaan yang tidak dirawat – ditandai dengan desa yang berada dalam kawasan HPH/TI PT Arara Abadi sering kebanjiran – adalah bukti kelalaian yang dapat mencelakakan orang. Banjir diduga disebabkan karena sedikitnya hutan penyanggah yang disisakan, serta tidak tepatnya perencanaan pembangunan (tidak seimbangnya antara pembangunan hulu dan hilir). Bukan semata-mata karena alamiah, melainkan karena prilaku manusia.

Hal ini sejalan dengan Surat Menteri Kehutanan RI No : 319/MENHUT/V/2007 tertanggal 12 Mei 2007 tentang persetujuan penyelesaian sengketa agraria antara masyarakat dengan PT. Arara Abadi juga menegaskan hal yang sama hal ini merupakan surat balasan dari Surat Gubernur Riau No : 100/P.H. 13.06 tertanggal 8 Maret 2007 tentang Penyelesaian Sengketa Agraria antara masyarakat dengan PT. Arara Abadi.

Hal lain yang memperkuat keabsahan dusun tersebut adalah peta administrasi wilayah Dusun Suluk Bongkal yang ditandatangani oleh Bupati Bengkalis pada 12 Maret 2007 seluas 4.856 ha (tertuang dalam lembaran Pemerintahan Kabupaten Bengkalis no. 0817-22 0817-31.0618-54 0616 63) yang artinya dusun itu sah secara hukum.

Kejahatan terhadap kemanusiaan (Pelanggaran HAM Berat)

Pasal 9 UU 26/2000 mengatakan: “salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a.Pembunuhan;
b.Pemusnahan;
c.Perbudakan;
d.Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e.Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar(asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f.Penyiksaan;
g.Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

Maka, kasus suluk bongkal merupakan pelanggaran HAM berat, dimana setiap pelaku kejahatan haruslah diseret ke pengadilan HAM dan di hukum seberat-beratnya. Akan tetapi, seperti juga pelanggaran HAM sebelumnya, maka kasus ini tidak pernah diperiksa dan diberkan sanksi kepada para pelakukanya. Inilah mengapa kami mengatakan bahwa kasus penyerbuan dusun Suluk Bongkal merupakan pelanggaran HAM yang terorganisir, yaitu persekutuan keji antara kepolisian, pemerintah setempat, dan pengusaha.

Neoliberalisme adalah pelanggar HAM

Kasus Suluk Bongkal merupakan cerminan dari berbagai usaha penetrasi capital internasional dan capital domestik, yang berusaha mengusai sumber daya milik rakyat/komunitas, dengan menggunakan jalan kekerasan.

Ada banyak kasus perampasan tanah akhir-akhir ini, yang kepada kita ditunjukkan bahwa penggunaan apparatus kekerasan menjadi pilihan mereka. Dan, ketika kasus tersebut disodorkan sebagai pelanggaran HAM, maka pemerintah dan aparat hukum akan tutup mata dan seolah-olah tidak tahu-menahu.

Situasi ini makin diperparah dengan “pengabdian penuh” rejim di pusat dan daerah kepada kepentingan swasta (bisnis), yang dengan mudah mau menyerahkan hutan, perkampungan, lahan pertanian, dll kepada kepentingan akumulasi.

Neoliberalisme, sebagaimana dikatakan Karl Polanyi, merupakan proyek politik untuk mengglobalkan pasar. Dan, demi mencapai tujuan itu, mereka rela merampas tanah dan sumber daya milik rakyat dengan jalan apapun.

Karena itu pula, maka penggunaan kekerasan akan menjadi konsekuensi langsung dari proyek neoliberalisme. Dan, kasus seperti Suluk Bongkal ini akan terus terjadi di tempat-tempat lain dimana kapitalisme global berusaha mendirikan “pabrik profit”.

Deretan kekejian ini akan menjadi bom waktu yang detak detiknya terus berjalan..

Hadiah dari Presiden untuk Buruh Migran


(Sumber gambar: design by Alit Ambara)


Dasar Presiden Komersil, dia pikir TKI akan melupakan trauma dengan memberikan HP

Pernyataan Sikap Migrant CARE






Memperingati Hari Buruh Migran Sedunia, 18 Desember 2010

Saatnya untuk Ratifikasi! Dukung Pemenuhan Hak-hak Buruh Migran,

dan Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga!



Setiap 18 Desember, jutaan buruh migran memperingati hari buruh migran sedunia. Di Indonesia, mereka yang selama ini banyak termarjinalkan oleh sistem regulasi yang tidak melindungi menuntut agar hak-hak mereka dijamin secara konstitusional. Untuk itu, tepat kiranya bila hari ini dijadikan momentum untuk memajukan solidaritas internasional dan penghormatan terhadap hak asasi buruh migran dan anggota keluarganya.



Tahun ini, genap 20 tahun konvensi PBB 1990 tentang perlindungan terhadap hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Their Families) diberlakukan setelah diadopsi oleh UN General Assembly Resolution 45/158.



Sayangnya, banyak negara yang tidak menyadari signifikansi konvensi tersebut, termasuk Indonesia. Sebagai salah satu negara pengirim buruh migran terbesar di terbesar di dunia, ratifikasi konvensi buruh migran merupakan keharusan yang tidak bisa lagi ditunda bagi pemerintah Indonesia. Banyaknya pelanggaran HAM serius terhadap buruh migran Indonesia, seperti yang dialami oleh Sumiati dan Kikim Komalasari di Saudi Arabia, semestinya menjadi momentum berharga bagi Pemerintah RI untuk segera mengambil langkah kongkrit dengan meratifikasi konvensi tersebut. Akan tetapi hal itu tampaknya belum dapat membuat pemerintah yang telah banyak mendapatkan devisa dari perasan keringat bahkan darah dari buruh migran selama ini sebagai agenda prioritas untuk melindungi hak-hak mereka dan anggota keluarganya. Pemerintah justeru terkesan sibuk dengan kebijakan pembekalan HP bagi buruh migran yang nyata-nyata tidak dapat melindungi.



Sementara itru, kebijakan pemberian KUR bagi buruh migran Indonesia semakin menegaskan paradigma komoditi bangsa ini terhadap buruh migran. Karena KUR hanya menjadi alat pemacu untuk mobilisasi warga negara Indonesia untuk bekerja ke luar negeri. Karena itu, dalam situasi regulasi yang tidak melindungi, KUR dapat dipandang sebagai pemacu perbudakan atau Financing for Modern Slavery. Hal ini menjadi semakin nyata dengan besarnya peran PJKTI sebagai intermediary actor. Yaitu, pihak yang menerima kredit untuk kemudian disalurkan kepada buruh migran. Di sinilah kemudian buruh migran rentan terhadap jeratan hutang.



Sepanjang tahun 2010 ini, situasi buruh migran Indonesia, terutama PRT migran, berada pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Tercatat, 89.544 buruh migran menghadapi berbagai bentuk persoalan di 42 negara tujuan. Dan sungguh sagat memprihatinkan, karena 1.075 di antara mereka meninggal dunia di berbagai negara dengan beraneka ragam sebabnya. Apalagi, secara umum PRT migran Indonesia masih terus berada pada situasi kerja yang tidak layak dan sebagian besar berwajah perbudakan. Secara detail, berikut adalah gambaran persoalan buruh migran sepanjang tahun 2010:





Jenis Masalah

Jumlah



Meninggal Dunia

1.075



Deportasi dari Malaysia

28.745



Dipenjara Saudi Arabia dengan berbagai kasus

1.050



Dipenjara Malaysia dengan berbagai kasus

6.845



Ancaman hukuman mati di Malaysia

345



Ancaman hukuman mati di Saudi Arabia

15



Overstayers di Saudi Arabia

21.013



ABK Indonesia yang tengah menghadapi persoalan hukum di Australia

328



Penganiayaan

1.187



Sakit saat bekerja

13.138



Pelecehan sekual

874



Disiksa dipenjara

281



Underpayment

631



PHK sepihak dan tidak digaji

13.964



ABK yang disiksa oleh Pengusaha Perkapalan Asing

13



Hilang Kontak

17



Pembunuhan oleh polisi

3



Disiksa dipenjara hingga meninggal di Malaysia

2



Lain-lain

18



Total

89.544

Sumber: Kemenakertrans RI, BNP2TKI, KBRI, Migrant CARE dan Pengaduan korban



Oleh karena itu, dalam rangka memperingati hari buruh migran yang ke-20 ini, Migrant CARE sebagai anggota dari Migrant Forum in Asia (MFA) dan International NGO Platform on Migrant Workers Convention (IPMWC), menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk:



1. Meratifikasi konvensi PBB 1990 tentang perlindungan terhadap hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya, kemudian mengimplementasikannya dalam kebijakan dan prakek migrasi tenaga kerja.
2. Mendukung pembentukan konvensi ILO untuk perlindungan domestic workers sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan terhadap pekerja rumah tangga.
3. Mengambil langkah-langkah prioritas dan kongkrit yang mendorong perwujudan perlindungan bagi buruh migran dan anggota keluarganya dengan pendekatan hak asasi manusia



Jakarta, 18 Desember 2010





Anis Hidayah Wahyu Susilo

Excutive Director Policy Analyst

(Kontak: 081578722874) (Kontak: 08129307964)



Lampiran: Pasang surut Pemerintah RI dalam upaya ratifikasi konvensi buruh migran



Agenda

Mandat dan Progress untuk Ratifikasi



RAN HAM 1998-2003

Ratifikasi konvensi buruh migran menjadi salah satu agenda



TAP MPR No. V/2002

Mengamanatkan Pemerintah RI untuk meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990





22 September 2004

Pemerintah RI menandatangani konvensi buruh migran 1990



RAN HAM 2004-2009

Kembali memasukkan ratifikasi konvensi buruh migran 1990 sebagai agenda



Prolegnas DPR RI 2005-2009

Ratifikasi konvensi buruh migran 1990 masuk sebagai agenda prolegnas



Rekomendasi UN Treaty Bodies, Special Procedures: CEDAW, CAT, SR on Migrant Rights, UPR

Indonesia harus segera meratifikasi konvensi buruh migran 1990



Hugh Level Dialogoue on Migration and Development, pledge on UN HRC candidacy, UPR

Pemerintah Indonesia janji akan segera meratifikasi konvensi buruh migran 1990



24 Agustus 2009

Depnakertrans RI membuat iklan resmi di koran Seputar Indonesia yang berisikan bahwa “Indonesia belum mendesak untuk ratifikasi konvensi buruh migran 1990 dan Indonesia hanya mendukung konvensi ILO tentang PRT dalam bentuk rekomendasi”



Prolegnas DPR RI 2009-2014

Ratifikasi konvensi buruh migran 1990 tidak masuk sebagai agenda prolegnas



RPJM 2010-2014

Mengamanatkan Pemerintah RI untuk meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990





Permenakertrans RI Nomor Per. 03/Men/1/2010 tentang Rencana Strategis Kemenakertrans RI 2010-2014

Ratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990 menjadi salah satu dari 3 paket kebijakan tahun 2010, selain revisi UU 39/2004 dan penyelesaian revisi MoU RI-Malaysia

14 Desember 2010

Tengkulak Mengeruk Untung Di Tengah Kenaikan Harga Sayuran



Oleh : Adi Kuswanto, Risal Kurnia dan Ulfa Ilyas


Ada sebagian orang yang mengira bahwa kenaikan harga sayuran di pasaran akhir-akhir ini akan memberikan keuntungan besar kepada petani selaku produsen. Anggapan ini salah besar, dan itu terbukti dengan kenyataan di berbagai daerah.

Di Pekanbaru, Riau, ketika harga sayur di pasar sedang melonjak naik, harga jual sayur para petani justru merosot, yaitu dari harga Rp 600-700 perikat menjadi Rp 400-500 perikat.

Sementara di pasar, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari petani, harga sayuran bisa mencapai Rp 1.800-2.000 perikat. Kejadian semacam ini seringkali diluar kekuasaan kaum tani.

Serikat Tani Riau (STR), organisasi yang juga banyak menaungi petani sayur, mengaku mendapat laporan dari basis mengenai keluhan para petani akibat rendahnya harga jual sayuran mereka.

STR pun sangat yakin bahwa para tengkulak telah bermain dalam kasus ini dan mengambil keuntungan sangat besar dari manipulasi harga ini.

Di Probolinggo, tepatnya di kawasan lereng Bromo, para tengkulak menaikkan harga jual sayur-sayuran hasil panen petani secara sepihak.

Para tengkulak ini berusaha berkelik, bahwa ada persoalan pada jalur distribusi yang menyebabkan jarak tempuh bertambah panjang, dan hal itu dianggap menambah beban ongkos yang harus dikeluarkan.

Di Bogor, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan Republik, harga sayur-mayur masih sangat tinggi, terutama harga cabai.

Deden, seorang pedagang sayur di pasar tradisonal Kota Bogor, mengaku harga cabai sekarang ini, yaitu Rp 32 ribu per kilogram untuk cabai merah dan Rp38 ribu untuk cabe rawit, sudah agak turun dibanding dengan harga cabai minggu lalu.

Ditanyakan penyebabnya, Deden mengaku sama sekali tidak mengetahui. “Kita mah hanya pedagang. Mungkin para politisi di Jakarta bisa lebih mengerti kenapa harga-harga naik,” katanya.

Di Jakarta, kondisinya jauh lebih parah lagi, harga cabai kembali merangkak naik beberapa hari terakhir. Seperti di pasar tradisional Palmerah, Jakarta Barat, harga cabai rawit merah sudah mencapai kisaran Rp30 ribu- Rp35 ribu, padahal sebelumnya hanya berkisar Rp12 ribu.

Para pedagang mengaku kenaikan harga ini sudah terjadi di pemasok induk, sehingga mereka pun terpaksa menurunkan omzet untuk mengantisipasi kerugian.

Pemerintah Harus Turun Tangan

Menanggapi kenaikan harga sayuran yang sangat tinggi ini, Ketua Serikat Tani Riau Teri Hendra menuntut pemerintah untuk segera turun tangan.

“Pemerintah harus mengamankan jalur distribusi, sebagai jalan untuk menghentikan aksi para tengkulak,” kata Teri kepada Berdikari Online.

Teri menyakini bahwa kenaikan harga ini diperparah oleh kepatuhan pemerintah terhadap agenda Washington Consensus, yakni menyerahkan segala proses ekonomi pada mekanisme pasar.

Padahal, bagi Teri hendra, persoalan harga sembako merupakan isu yang sangat vital dan menyangkut kebutuhan perut rakyat yang sangat pokok, sehingga seharusnya tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar.

Sementara itu, Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN) Yudi Budi Wibowo mengeritik langkah pemerintah yang terkesan sangat pasif. “Mereka (pemerintah, ed) hanya melakukan pemantauan terbatas dan paling jauh melakukan operasi pasar,” ungkapnya.

Dia menganggap operasi pasar hanya bersifat temporer, tetapi yang terpenting adalah soal bagaimana pemerintah memikirkan cara untuk menghubungkan antara petani selaku produsen dengan masyarakat umum sebagai konsumen.

“Kita bisa membangun depot-depot di setiap kampung, yang menampung seluruh hasil produksi petani dan menjualnya secara langsung kepada masyarakat luas. Karena rantai distribusinya diperpendek, maka harganya bisa lebih murah,” katanya.

Peter Tosh - Stepping Razor

bob marley legalize marijuana song video

13 Desember 2010

Pertemuan Iklim Di Cancun Berakhir Tanpa Kesepakatan


Oleh : Prensa Latina

Beberapa negara menyatakan tidak setuju atas draft resolusi yang disajikan pada hari Sabtu saat pertemuan iklim PBB ke-16, yang katanya telah mengesampingkan tujuan kunci dari perjuangan melawan pemanasan global.

Dalam pertemuan informal yang diselenggarakan oleh tuan rumah pertemuan, Menteri Luar Negeri Meksiko Patricia Espinosa, perwakilan dari Bolivia, Cuba, Ecuador, Nicaragua, Venezuela meminta agar resolusi dikirim kembali kepada dua kelompok kerja di konvensi perubahan iklim dan protokol Kyoto.

Akan tetapi, negara-negara lain menerima dokumen itu karena disajikan oleh tuan rumah pertemuan.

Dalam sesi terakhir, yang seharusnya berakhir pada jumat sore, akhirnya berlangsung hingga sabtu pagi.

Meskipun tidak terjadi kesepakatan, komite eksekutif dari kedua kelompok kerja memutuskan untuk mengirimkan resolusi ke rapat pleno, dan kemudian diteruskan oleh presiden kovensi perubahan iklim dan protokol kyoto.

“Kami tidak bisa menyepakati apa yang belum disepakati,” kata duta besar dari Bolivia, Pablo Solon. “Namun itu dianggap disetujui tanpa dukungan Bolivia. Ini merupakan preseden yang sangat mengerikan. Hari ini dilakukan terhadap Bolivia, besok akan dilakukan terhadap negara lain. kami tidak dapat mengakhirinya dengan mengatur konsensus,” katanya.

Bolivia mengkritisi dokumen tersebut karena mereka tidak menjamin pelaksanaan komitmen periode kedua protokol Kyoto, dan karena telah mengijinkan temperatur di bumi meningkat lebih dari 4 derajat celcius.

Ditambahkan, Bolivia mengatakan daftar pengurangai emisi gas rumah kaca tidak jelas, dan ketika tak seorang pun yang menegaskan soal komitmen periode kedua, fleksibilitas mekanisme pasar dalam perjanjian Kyoto akan diteruskan.

Menteri Luar Negeri Kuba Bruno Rodriguez juga menyatakan ketidaksetujuan dengan draft resolusi, karena tiga alasan:

Pertama, katanya, mereka tidak memasukkan target yang jelas dan cukup untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan karena diskusi yang telah mengarah pada peningkatan emisi terburuk di negeri-negeri maju, berdasarkan data tahun 1990, dari enam persen pada tahun 2020, atau setidaknya, penurunan hanya 16 persen.

Kedua, Rodriguez mengatakan, kesepakatan atas periode komitmen kedua dari Protokol Kyoto rasanya penting dalam proses ini, dan delegasi Kuba untuk memahami bahwa apa yang tercermin dalam dokumen ini adalah komitmen yang jelas untuk masuk ke periode kedua.

Dan ketiga, Rodriguez menyatakan keprihatinan tentang proposal untuk kontribusi finansial atau pendanaan, yang katanya merupakan proposal tidak konkret mengenai sumber-sumber dari pendanaan itu sendiri.

Dan, satu point paling kontroversial adalah soal penciptaan apa yang disebut “Green Fund” oleh Bank Dunia. Dan, seperti juga lembaga keuangan Bretton Woods lainnya, mereka akan menciptakan kondisi, diskriminasi, dan pengecualian, kata Rodriguez kemarin.

Ya atau Tidak, Itu Saja


Oleh : Gede Sandra, ST

Air sudah setinggi hidung bagi kalangan kaum kromo, kaumnya kebanyakan. Kemiskinan sudah begitu banyaknya, diperkirakan terdapat lebih dari 100 juta jiwa kaum kromo yang terpaksa hidup di bawah 2 dollar AS perhari (sekitar Rp18.000!, ingat sapi di Eropa saja disubsidi 2 dollar AS perhari ). Bukan rahasia jika mayoritas aset di negeri ini dimiliki segelintir kapitalis nasional dan asing, 20% manusia Indonesia yang kaya raya menguasai 80% aset, sedangkan 80% manusia Indonesia yang kebanyakan hanya mendapat 20% sisanya . Beberapa aset yang strategis seperti lahan, tambang, perbankan, dan telekomunikasi berada di tangan kapitalis asing (multinasional)- ini perlu digarisbawahi. Kaum kromo yang sial tidak kebagian kerja terpaksa menggelandang-mengemis, menjual harga dirinya, beradu nasib menjadi pembantu di luar negeri, dan akhirnya seringkali kita dapatkan gila ataupun mati mengenaskan. Bagi kaum kromo pencari kerja, deindustrialisasi dan neoliberalisme adalah kata-kata yang asing namun dampaknya sampai ke ubun-ubun mereka. Puluhan juta penganggur, seratusan juta kaum kromo, jerit dan tangis mereka memenuhi udara. Sampai kapan mereka dapat bertahan menghadapi banjir penderitaan (samsara) dalam kehidupan sebagai manusia? Hanya pemimpin Republik yang mampu menjawabnya.

Susilo Bambang Yudhoyono yang akrab dipanggil SBY di dalam negeri, dan Yudhoyono di luar negeri yang seharusnya dapat menjawabnya karena merupakan Presiden pertama Republik yang dipilih secara langsung pada Pemilu 2004 (dan Pemilu 2009) secara DEMOKRATIS. Namun, pilihan kaum kromo ternyata salah. Terbukti Yudhoyono tak sanggup menahan deindustrialisasi sepanjang 6 tahun pemerintahannya, terlebih setelah badai kenaikan harga minyak dunia dan krisis finansial global menghantam. Janji-janji pemberantasan korupsi yang rajin dibeokan (meniru istilah Tan Swie Ling, bodyguard Sekjen PKI terakhir Sudisman) Yudhoyono pun, seperti pula janji-janji yang lain dalam hal keadilan sosial, tak kunjung disaksikan kaum kromo. Yang ada malah sogokan konsumtif (BLT, dll).

Dalam hal korupsi, sangat terlihat bagaimana Yudhoyono “shock berat” saat menyadari kemudian, bahwa koruptor adalah orang-orang di sekelilingnya, orang-orang terdekatnya di keluarga dan di partai (seperti dalam kasus Aulia Pohan, Skandal Century, dan IPO KS) atau mantan donatur politik pada Pemilu 2004 (dalam hal Aburizal Bakrie). Rakyat pun menjadi saksi riuh (bukan bisu) selama berbulan-bulan dari pembodohan telanjang yang terjadi dalam kasus Skandal Century dan Gayus Tambunan, terutama sekali setelah media elektronik melakukan blow up secara intensif berbulan-bulan atas kedua kasus tersebut. Sangat tidak lucu, drama panjang pembodohan yang berawal dari terbongkarnya rekaman pembicaraan Susno Duadji dan Anggodo Widjoyo di Mahkamah Konstitusi pada 3 September 2009, malah berakhir dengan diperiksanya Gayus di Mabes Polri di akhir 2010 sekarang ini. Yudhoyono pun berpura-pura tidak bertanggung jawab terhadap segala kekisruhan yang terjadi sepanjang penggugatan Skandal Century hingga Mafia Pajak sekarang. Inilah Indonesia, negeri yang tidak tahu malu karena para pemimpinnya tidak jantan mengakui kesalahan.

Sendainya kasus-kasus semacam ini bukan terjadi di negeri ini, melainkan di negeri seperti Jepang yang bermartabat tinggi, tentu saja tidak akan sampai sebulan lamanya berturut-turut Boediono, Sri Mulyani, Darmin Nasution, bahkan jika perlu Yudhoyono juga mundur (sebagai Presiden dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat) karena terlibat dalam Skandal Century. Tak lupa juga Aburizal Bakrie (mundur dari Ketua Umum Partai Golkar). Anggaplah itu yang terjadi, seluruh nama tersebut mengundurkan diri, toh selalu ada regenerasinya di dalam partai masing-masing. Di Partai Demokrat masih ada Anas Urbaningrum yang potensial untuk menggantikan peran Yudhoyono memimpin kabinet, sedang di Golkar masih ada Surya Paloh yang sangat idealis dapat merestorasi Golkar(daripada malah membuat ormas seperti Nasdem). Jika Yudhoyono dan Boediono mundur dari presiden dan wakil presiden, maka Partai Demokrat wajib melakukan Munaslub mengundang Partai-partai Koalisi SBY-Boediono di 2009 untuk menentukan penggantinya (pendapat penulis: formasi Anas-Hatta cukup ideal). Tidak ketinggalan Golkar pun akan segera melakukan Munaslub juga untuk mencari pengganti Ical Bakrie, dapat kemudian Golkar dipimpin oleh Surya Paloh atau siapapun- yang penting bukan penjahat pajak seperti Ical. Kondisi pasti akan lebih baik, apalagi jika melihat akhirnya semua pihak yang bertanggung jawab atas Skandal Century dan Pajak Gayus mundur dari jabatan publik dan politiknya, dan kemudian melihat muka-muka baru memimpin kedua partai terbesar tersebut, rakyat pun akan mendapat pendidikan politik yang baik, yang bermartabat, yang berbudaya.

Skenario di atas mungkin saja akan terjadi jika para politisi di partai politik-partai politik kita bermartabat/berbudaya dan partai-partai politiknya tidak feodal (partai yang feodal takut menggugat/mengkritik pimpinannya). Namun kita tahu kenyataan politis yang ada saat ini berbeda sekali. Para wakil rakyat di Gedung DPR malah ikut (atau membantu) merampok uang negara yang terkumpul dari pajak rakyat. Korupsi uang keringat rakyat pun marak terjadi di birokrasi pemerintahan dari pusat ke daerah (rasional jika akhirnya gerakan membangun posko anti korupsi dari pusat hingga ke daerah). Inilah yang kemudian dijuluki DR. Rizal Ramli sebagai “demokrasi kriminal”. Wajar juga jika Eddie Lembong, pendiri Yayasan Nation Building (Nabil), menjuluki gedung parlemen sebagai “sarang penyamun”. Salah satu media elektronik terkemuka juga sangat menghabisi karakter para wakil rakyat kaum kromo ini. Dari kunker yang bermasalah, absensi yang rendah, gagalnya target prolegnas, sampai ke digugatnya Badan Kehormatan DPR, menunjukkan kepada kita semua: demokrasi sepanjang 12 tahun Reformasi ini belum beres. Kualitas para politisi dari partai-partai yang ada sangat dipertanyakan. Sampai-sampai Profesor Sahetapy, ahli hukum tata negara dari Surabaya, lebih suka menyebut para politisi kita sebagai gengster (mungkin maksud beliau adalah kelakuannya)- menyedihkan. Malahan, untuk Yudhoyono, profesor yang juga Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) ini menjulukinya sebagai pemimpin yang tidak tahu malu (dia pula selalu mengingatkan agar jangan sampai terpeleset ke “tidak punya kemaluan”).

Pensiunan jenderal lulusan Akmil 1973 yang juga merupakan menantu Sarwo Edhie Wibowo (penjagal kaum komunis 1965-1967) ini pun terlihat sangat kelabakan saat ia menolak dituduh penganut neolib oleh aktivis dan intelektual, buru-buru kemudian ia menyatakan bahwa rezimnya bukan penganut Washington Concensus melainkan Jakarta Concencus (setelah sebelumnya istilah Beijing Concencus sempat dilontarkan salah satu menterinya Hatta Radjasa). Namun kali ini bukan pembodohan publik, melainkan pembohongan publik. Jika memang Yudhoyono serius menyatakan bahwa Ia bukan penganut neolib, maka seharusnya kabinet yang Ia pimpin pun tidak menerapkan neolib. Namun kenyataannya berbeda, pemerintahan Indonesia saat ini jelas-jelas neolib. Liberalisasi eksesif demi kenyamanan kapital asing masih merupakan kiblat Kabinet Yudhoyono sejak 2004 hingga 2010 sekarang. Lalu apa yang dilakukan si anti neolib Yudhoyono ini melihat kabinetnya berjalan terus dalam rel neolib? Seharusnya Yudhoyono menjadi kritis terhadap menteri-menteri atau wakil presidennya, jangan-jangan orang di sekelilingnya lah yang sejatinya para penganut fundamentalisme pasar Friedman (baca: Boediono, Sri Mulyani, dan genknya). Atau jangan-jangan Yudhoyono yang katanya cerdas ini sebenarnya tidak paham apa itu neoliberalisme? Jangan-jangan demikian, menyedihkan.

Jadi kondisi kaum kromo saat ini: tidak berdaya dan nyaris tenggelam dimiskinkan neoliberalisme sambil dipaksa melihat betapa buruk penegakan hukum di negerinya. Tidak mungkin kaum kromo ini menunggu sampai 2014, tidak sanggup mereka menunggu selama itu. Yang seharusnya dipikirkan saat ini, adakah peluang dilaksanakannya sebuah referendum nasional sebelum 2014 untuk bertanya kembali kepada kaum kromo yang sempat memilih Yudhoyono pada 2009 lalu (sebesar 60% lebih): apakah pemerintahan Presiden Lebay ini sebaiknya dilanjutkan atau tidak? Ya atau tidak, itu saja suara kaum kromo yang diperlukan untuk memaksa Yudhoyono meletakkan jabatannya secara terhormat.

Refleksi Hari HAM Sedunia: Mari Memanusiakan Manusia!

Memperingati Hari Hak Azasi Manusia (HAM) Se-dunia tahun ini, kami sengaja mengambil kata-kata pengarang radikal Belanda, Multatuli, yang berkata: “Tugas manusia adalah menjadi manusia.” Perkataan Multatuli mengenai Hak Azasi Manusia (HAM) ini jauh lebih mendalam ketimbang 30 hak azasi manusia versi PBB.

Untuk memanusiakan manusia, sebagaimana yang dikehendaki oleh Multatuli, maka setiap orang harus diberikan ruang untuk mengembangkan segala kapasitas dan kemampuannya sebagai manusia. Kelihatannya memang sangat sederhana, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sejarah perjuangan manusia selama berabad-abad belum juga berhasil memenuhi tujuan ini.

Ada dua aspek yang penting untuk diterangkan di sini; pertama, bahwa untuk menuju pembangunan manusia, maka setiap orang memerlukan prasyarat untuk pembangunan dirinya seperti makanan yang cukup, kesehatan yang baik, pendidikan, dan kesempatan untuk mengambil keputusan. Kedua, karena perkembangan setiap manusia dan bangsa berbeda-beda, maka kebutuhan untuk pengembangan diri jelas berbeda satu sama lain.

Anda tidak akan mungkin bisa mengembangkan potensi diri jikalau dalam keadaan lapar, kurang sehat, kurang pendidikan, dan terdominasi oleh pihak lain. Di sini, kita tidak akan sekedar berbicara mengenai kebijakan ekonomi-politik pemerintah, tetapi juga akan berbicara mengenai pandangan yang lebih luas; cara masyarakat mengorganisasikan produksi, relasi produksi, formasi sosial, dan lain sebagainya.

Kita sedang berada di tengah masyarakat kapitalis, dimana logika utama yang menuntun masyarakat adalah logika kapital. Dalam masyarakat kapitalis ini, tujuan produksi adalah juga tujuan kapital, yaitu menggali keuntungan (profit). Untuk tujuan-tujuan ini, kapitalisme telah melakukan penindasan terhadap mayoritas manusia, yaitu kelas pekerja, petani, masyarakat adat, perempuan, dan kaum miskin lainnya, selama berabad-abad. Kapitalisme juga telah mempromosikan kolonialisme dan imperialisme selama beratus-ratus tahun untuk menguasai bangsa-bangsa lain.

Dimana-mana tujuan kapitalisme selalu bertentangan dengan tujuan pembangunan manusia. Ambil contoh, kapitalisme selalu mempertahankan politik upah murah sebagai jalan mempertahankan keuntungan, sehingga pekerja tidak pernah punya “prasyarat” untuk mengembangkan kapasitasnya: makanan cukup, pendidikan, kesehatan, dan hak dalam mengambil keputusan.

Dalam bentuk imperialisme yang paling modern saat ini, yaitu neoliberalisme, tuntutan pembangunan manusia telah terinjak-injak oleh praktik washington consensus: penghapusan subsidi, privatisasi layanan publik (pendidikan, kesehatan, dll), liberalisasi ekonomi, dan pemberlakuan pasar tenaga kerja yang fleksibel.

Karena itu, penggunaan negara dan aparatus kekerasannya (tentara, polisi, pengadilan) hanyalah konsekuensi dari upaya segelintir orang berkuasa untuk mempertahankan hak istimewanya dengan menundukkan atau menindas mayoritas.

Selanjutnya, mengingat bahwa kebutuhan manusia untuk mengembangkan dirinya berbeda-beda, maka kami kurang setuju dengan apa yang dimaksud “standar umum pencapaian rakyat dan bangsa-bangsa di dunia” seperti dijelaskan dalam deklarasi hak azasi manusia.

Selama ini, istilah “standar umum HAM” ini telah dipergunakan oleh negara-negara imperialis untuk mendikte soal HAM di negara-negara dunia ketiga. Ada banyak negara dunia ketiga, misalnya Venezuela, karena melarang pers kanan yang mengganggu jalannya revolusi, dianggap melanggar HAM. Demikian pula, standar ganda lembaga-lembaga HAM terhadap negeri-negeri seperti Tiongkok, Kuba, Libya, Korea Utara, dan lain-lain.

Bukankah mengintervensi proses pembangunan bangsa lain adalah sebuah pelanggaran HAM terhadap rakyat bangsa tersebut?

Oleh karena itu, berbicara soal Hak Azasi Manusia (HAM) akan terasa hambar jika tidak dibumbuhi dengan penjelasan yang konkret mengenai sifat dasar kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme. Karena, menurut hemat kami, jika kapitalisme dan imperialisme masih bercokol di muka bumi ini, maka akan sulit berbicara soal “memanusiakan manusia.”

Indonesia masuk “Top Ten Movers”?

United Nations Development Programme (UNDP) baru saja melansir data Human Development Index (HDI) terbaru untuk 169 negara. Dalam pengumuman terbaru ini, Indonesia telah berhasil menanjak prestasinya, yaitu dari urutan 111 tahun lalu menjadi 108 pada tahun ini.

Akibat pergeseran naik itu, posisi Indonesia kini masuk dalam jajaran menengah pembangunan manusia di dunia, yang mana posisinya telah disejajarkan dengan Tiongkok (89) dan Afrika Selatan (110). Adapun faktor pendorong kemajuan ini, sebagaimana diterangkan oleh Country Director UNDP Beate Trankmann, yaitu pendapatan masyarakat Indonesia yang bertumbuh positif dalam beberapa tahun terakhir menjadi US$ 3.957 per kapita, dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang signifikan dibandingkan negara-negara lain.

Dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia, pada umumnya para ahli mempergunakan tiga indikator penting, yaitu indeks harapan hidup, indeks melek pendidikan, dan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, seperti juga survey-survey di Indonesia, perhitungan semacam ini kadang tidak sesuai dengan fakta, apalagi jika basis penghitungannya mengambil data-data resmi pemerintah.

Jika kita berbicara soal pembangunan manusia, seharusnya disinggung pula soal prasyarat pembangunan seorang manusia itu sendiri, yakni makanan yang cukup, badan yang sehat, tingkat pendidikan, dan kesempatan dalam merumuskan keputusan tanpa diganggu pihak lain.

UNDP tidak menyadari, bahwa setelah beberapa dekade praktek neoliberalisme di Indonesia, persoalan akses makanan untuk rakyat semakin sulit. Lihatlah, misalnya, bagaimana rakyat berebutan ketika ada pembagian sembako gratis, bahkan seringkali acara seperti ini memakan korban jiwa.

Malajah Forbes sendiri telah mengumumkan daftar 40 orang terkaya di Indonesia, yang menjelaskan bahwa sebagian besar ekonomi Indonesia dikuasai oleh segelintir pebisnis, yang katanya tidak melebih 400 keluarga di Indonesia.

Jikalau menggunakan pendapatan perkapita, maka UNDP akan salah besar jika mengatakan daya beli rakyat Indonesia sudah meningkat. Justru, karena praktik neoliberalisme di segala bidang, daya beli rakyat Indonesia telah menurun secara drastis sehingga hampir semua konsumsi rakyat Indonesia dibiayai oleh utang (kredit konsumsi, BLT, KUR, dll).

Di bidang pendidikan juga begitu. Neoliberalisme telah menyebabkan setiap menitnya ada lima anak Indonesia yang putus sekolah. Belum lagi, program pemberantasan buta-huruf hanya berjalan di tempat, tidak ada kemajuan sama sekali.

Sekarang, mari kita lihat struktur PDB kita yang selalu menjadi bahan acuan lembaga-lembaga pemeringkat asing. Dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, ekonomi nasional atau rakyat (UMKM) yang berjumlah 40,1 juta atau 99,8% dari total pelaku ekonomi hanya menikmati 39,8% dari PDB, sementara korporasi besar asing menikmati hingga 60,2%. Artinya, PDB tidak relevan untuk dijadikan ukuran kemakmuran bagi rakyat Indonesia.

Sekarang, mari kita tanyakan kepada UNDP, apa basis ekonomi nasional Indonesia saat ini yang bisa diandalkan sehingga bisa memicu pertumbuhan? Semua sektor ekonomi hampir sudah dicaplok oleh asing, sementara perusahaan-perusahaan nasional strategis satu per satu dijual murah (privatisasi). Sektor pertanian Indonesia juga hancur akibat kebijakan liberalisasi impor produk pertanian, penghapusan subsidi, dan lain-lain.

Akhirnya, kami melihat penetapan Indonesia oleh UNDP sebagai “Top Ten Movers”, atau 10 besar dalam kemajuan pembangunan di Asia Pasifik, adalah “kado istimewa” untuk menyenangkan pemerintah Indonesia. Kado ini diberikan supaya pemerintah Indonesia tetap setiap menjalankan resep-resep neoliberal, bahkan jika perlu lebih diintensifkan lagi. Apa yang tidak bisa dimanipulasi oleh kaum imperialis saat ini? Mereka bisa memberikan penghargaan nobel kepada orang-orang yang sejalan dengan politik mereka. Begitu pula dengan penyusunan peringkat IPM.

Husin, Penyair Muda Yang Mengibarkan Bendera Perlawanan


Oleh : Muhammad Phatoni

Sejumlah seniman muda mempertunjukkan kebolehannya pada acara peluncuran Antologi Puisi Penyair Muda Riau 2010, yang berlangsung di Gedung Kebudayaan Riau, tadi malam (11/12).

Para penyair muda ini tampak berusaha menampilkan karya dan fisualisasinya sesuai dengan cara pandang seni masing-masing. Ada yang menampilkan karya-karya yang abstrak, tetapi ada pula yang menampilkan realisme sosial.

Husin, penyair muda dari Akademi Rakyat, berusaha menampilkan karya puisi yang berbau realisme sosial. Dalam acara tadi malam, Husain menampilkan salah satu karya puisi berjudul “ketertindasan buruh-tani”, beserta visualisasinya.

Dalam visualisasi karya puisinya, Husin berusaha membantah cerita-cerita mainstream yang menggambarkan kehidupan rakyat Riau seolah-olah normal, tetapi di dalamnya terjadi penindasan rakyat: penggusuran, perampasan tanah milik petani, PHK, dan lain sebagainya.

Setelah selesai mementaskan karyanya, Husin pun bercerita banyak soal seni dan perjuangan rakyat. Dengan mengutip Sudjojono, Husin menceritakan kepada Berdikari Online bahwa seni tidak boleh terpisah dari alam kehidupan masyarakat.

Husin juga mengeritik seniman kebanyakan yang kurang peka terhadap kehidupan sosial masyarakat, dan hanya menjadikan seni sebagai alat penghibur dan memperkaya diri sendiri.

Berikut, salah satu puisi karya Husin berjudul “Teriakan-teriakan Kematian”:

Teriakan-teriakan Kematian

Wahai para tiran..!
Sampai kapan kalian akan terus menyumbat
suara-suara bimbang dengan segumpalan janji-janji basi
dari mulut kalian terasa sangat basi
namun kami hanya diam
dan selalu diam
Suara kami selalu saja dibungkam
lidah kamipun terasa padam

Setiap huruf yang kami kumpul
Setiap kata yang kami susun
Setiap kalimat yang kami gabung
Tetap saja beserakan kemudian terbuang

Sampai kapan kalian akan mengorek makanan yang ada dimulut kami padahal belum sempat melewati tenggorokan, hati, jantung, usus, lambung, sehingga muntah kamipun sanggup kalian jilati
Bahkan tinjapun kalian jilati

Kalian ciptakan mesin-mesin yang sangat berbahaya dari mesin sebelumnya
mesin-mesin itupun ikut memaksa kami tuk selalu bekerja dalam sistema
Menghitung angka-angka, nilai lebih yang membawa keuntangan mengganda
terlipat-lipat
melipat-lipat
berlipat-berlipat
dan sangat padat
kami pun bangsat
disumbat dengan pantat
yang tidak akan pernah merasakan nikmat
hingga jadi mayat
mesin-mesin itupun membunuh hingga pucat..!

Dalam pucat, setiap sudut, setiap lorong, setiap ruang, setiap jengkal, setiap garis tanpa batas, terdengar segerombolan orang sedang berbisik-bisik membicarakan nasibnya, mempersoalkan tanah, mempersoalkan air, mempersoalkan tulang, mempersoalkan darah yang mengering. Bersamaan dengan kepalan waktu, bisikan-bisikan itu semakin keras dengan lantang berteriak, dengan lantang berteriak, dengan lantang berteriak..!

Lorong Sunyi, 04 Desember 2010

Neoliberalisme Penyebab Kemiskinan


Oleh : Muhammad Phatoni


Aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Agun Sulfaira menyatakan bahwa sistim neoliberalisme punya kontribusi sangat besar atas meningkatnya jumlah rakyat miskin.

Pernyataan ini dilontarkan saat diskusi akhir tahun yang dilaksanakan oleh Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) dan Bahana Mahasiswa di Aula Bahana Mahasiswa Universitas Riau. Diskusi ini diikuti oleh ratusan mahasiswa dan anggota SRMI.

Selain Agun Sulfira, hadir pula pembicara dari pihak akademisi, yaitu Mardiono, seorang dosen di Universitas Riau, dan pengamat masalah perkotaan, Edy Yunus.

Lebih lanjut, Agun Sulfira, yang juga Ketua DPW SRMI Riau, menunjukkan bahwa praktek neoliberalisme yang melahirkan de-industrialisasi telah menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan.

Agun juga menyebut soal pencabutan subsidi, privatisasi layanan publik, deregulasi, liberalisasi perdagangan sebagai bentuk-bentuk pemiskinan massa rakyat.

Sayangnya, menurut Agun, kendati pemerintah sangat mengetahui dampak buruk dari kebijakan seperti ini, tetapi mereka tetap melakukannya sebagai bentuk pengabdian kepada tuannya: imperialisme.

Agun juga melontarkan kritik terkait kebijakan Pemkot Pekanbaru yang telah menggusur pedagang jagung bakar purna MTQ, padahal sektor informal semacam ini sangat berkontribusi dalam memberi pemasukan retribusi dan penyerapan tenaga kerja.

Sementara itu, pendapat lain dilontarkan oleh dosen fakultas ekonomi Universitas Riau, Mardiono, yang menegaskan bahwa kemiskinan juga dipengaruhi oleh ruang bagi rakyat miskin untuk mengembangkan ekonominya.

Sedangkan pengamat masalah perkotaan, yaitu Edy Yunus, berusaha membagi kemiskinan menjadi dua jenis; kemiskinan struktural dan kultural. Kemiskinan kultural mengacu kepada pemahaman budaya yang salah, sementara struktural lebih melihat pada persoalan kebijakan ekonomi-politik.

Percayalah Pada Benarnya Nasakom (bagian kedua)


Nah, saudara-saudara, belakangan, belakangan aku juga berkata bahwa Pancasila ini bisa juga diperas lagi secara lain, bukan secara Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, tetapi bisa diperas pula secara lain, dan perasan secara lain ini adalah Nasakom. Nasakom adalah pula perasan Pancasila, dus Nasakom adalah sebenarnya juga gotong-royong, sebab gotong-royong adalah de totale perasan dari Pancasila, maka perasan daripada Nasakom adalah gotong-royong pula. Benar apa tidak? melihat keadaan, kenyataan-kenyataan di masyarakat kita, saudara-saudara, masyarakat kita selalu berjalan, bersendi, melakukan gotong-royong: Orang membuat rumahh di desa, rumah itu didirikan secara gotong-royong; orang mengawinkan anak di desa, perkawinan itu dijalankan secara gotong-royong; orang menggarap tanah, menggarap tanah itu dijalankan secara gotong-royong; orang mengubur orang yang mati, mengubur orang mati dijalankan secara gotong-royong; orang memperbaiki jalan di desa, memperbaiki jalan di desa itu dijalankan secara gotong-royong.

Apakah pada waktu bersama-sama menggarap jalan, bersama-sama menggarap sawah, bersama-sama membuat rumah, bersama-sama mengawinkan anaknya yang cantik, saudara-saudara, anaknya yang cantik dan anaknya yang tidak cantik, apakah pada waktu bergotong-royong menjalan hal-hal itu, ditanya lebih dahulu: saudara ini Kom ataukah bukan? saudara itu Nas apa buka? saudara, saudara itu A apa tidak? Tidak, zonder tanya lagi, Nas atau A atau Kom, bergotong-royong, mengawinkan anak perempuan itu. Kenyataan yang demikian, saudara-saudara.

Maka itu saya berkata, lha kok, lha kok sampai sekarang ini ada, masih ada orang-oran, bahkan pemimpin-pemimpin Indonesia yang anti-Nasakom atau pura-pura pro-Nasakom, tetapi sebenarnya anti-Nasakom—kata ibu Salawati yang duduk persis di depan saya ini: Ganyang saja, Bung, pemimpin yang begitu!—pura-pura pro-Nasakom, tetapi sebenarnya anti-Nasakom: orang yang demikian ini dinamakan Nasakom gadungan.

Lho, belakangan ini ada lagi, saya dikritik oleh Nasakom gadungan, yaitu sesudah pidato saya pada ulang tahun ke-45 PKI. saya berpidato di Stadion, belakangan ada yang bilang, kletik, kletik, kletik, kletik, kletik, tapi dengar saya punya telinga ini—-lho, saya ini mempunyai mata seribu dan telinga seribu, saudara-saudara, makanya jangan ngerasani Bung Karno, lho—saya dengar, katanya: Waah, presiden sudah salah koq pidato di rapat raksasa PKI, rapat raksasa komunis. Presiden telah menjatuhkan nama Republik Indonesia dalam pandangan Rakyat A-A, Asia-Afrika.

Pada waktu saya berpidato di hadapan para panglima, saya berkata: omong kosong, nonsens, sebab sesudah, malahan sesudah saya berpidato di dalam rapat raksasa PKI itu, saya mendapat banyak surat-surat dan telegram-telegram dari negara A-A, telegram-telegram dan surat-surat yang menyatakan persetujuan mereka itu terhadap pidato saya di rapat PKI itu. Ndak, yang berkata, Bung Karno menjatuhkan nama Republik Indonesia di pandangan Rakyat A-A itu, dia adalah anti Nasakom, dia adalah Komunisto-phoby . Kepada saudara-saudara, saya sudah saya katakan berulang-ulang: proklamasi kemerdekaan Indonesia, saya ucapkan atas nama seluruh bangsa Indonesia, dan proklamasi ituu dipertahankan oleh seluruh Rakyat Indonesia zonder phobi-phobian, zonder ada perpecahan di antara kita dengan kita.

He, siapa dari antara saudara-saudara pernah, misalnya pada tanggal 10 November berada di Suurabaya? Atau pernah ikut-ikut membakar kota Bandung, sebagai perjuangan gerilya? sehingga kemudian timbul nyanyian kita “Halo, halo Bandung”? Siapa dari antara saudara-saudara yang pernah ikut di dalam peperangan gerilya kita? Tidakkah benar jikalau kukatakan pada waktu itu nggak ada phobi-phobian, saudara-saudara? Nggak ada! Di Surabaya, ya pemuda Nas, ya pemuda dari Agama, ya pemud dari Komunis berjuang bersama-sama. Di Bandung demikian pula, di padang-padang gerilya demikian pula. Hanya belakangan ini, karena ya mungkin hasutan, hasutan Nekolim, cekokan Nekolim, membuat kita pura-pura pro-Nasakom, tetapi sebenarnya anti nasakom, sebab memang Nasakom adalah kekuatan Revolusi Indonesia, kekuatan yang mutlak.

Yang ditakuti oleh Nekolim itu Revolusi Indonesia, saudara-saudara, Revolusi Indonesia. Tadi oleh Pak Chairul sudah disentil dengan perkataan: sebenarnya yang ditakuti oleh Nekolim, oleh imperialis, bukan kok kemedekaan kita, tidak. Revolusi kita! kaum imperialis, kaum nekolim juga mengerti bahwa dunia sekarang ini, negara-negara di Asia dan Afrika itu membutuhkan kemerdekaan. jadi mereka itu tidak terlalu anti kemerdekaan an scih —ansich itu kemerdekaan itu sebagai kemerdekaan—tetapi mereka tidak senang jikalau kemerdekaan itu berdasarkan atas prinsip-prinsip yang bertentangan dengan mereka punya prinsip.

Ambil, seperti tadi dikatakan oleh Pak Chairul, Nekolim bukan saja setuju kepada zogenaamde kemerdekaan “Malaysia,” tetapi malahan membantu kemerdekaan “Malaysia,” oleh karena kemerdekaan “ Malaysia” itu cocok dengan kehendak mereka itu. Di sekitar itu ada lagi negara-negara lain yang namanya merdeka, tetapi mereka tidak pernah diganggu-gugat, diusik-usik oleh kaum imperialis, oleh karena kemerdekaan mereka itu—saya tidak sebutkan namanya lho, saya ini Presiden Republik Indonesia, tidak boleh menyebutkan nama—oleh karena kemerdekaan negara-negara itu adalah kemerdekaan-kemerdekaan yang dicocoki, disenangi, disetujui oleh kaum imperialis. Kita punya kemerdekaan, lho kok umpamanya kita itu sekedar merdeka saja, mereka tidak anti kepada kita, tidak terlalu anti kepada kita. Tetapi yang mereka tentang, yang mereka tidak senangi, mereka akan coba hancurka ialah jiwa kemerdekaan kita. Revolusi Indonesia itu yang mereka coba hancurkan dan binasakan. Revolusi kita yang berdasarkan atas prinsip-prinsip Pancasila, prinsip-prinsip anti Imperialis, prinsip-prinsip Nasakom, itu yang mereka takuti.

Saudara-saudara, benarlah apa yang dikatakan dan yang aku katakan, bahwa sekarang ini yang paling dianggap kaum Nekolim sebagai enemy number one—enemy number one yaitu musuh nomor satu, musuh nomor wahid imperialisme—ialah Indonesia, oleh karena Indonesia berjiwa Revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia ini yang paling ditakuti. Dulu, saudara-saudara yang paling ditakuti adalah Moscow. Dulu, kira-kira tahun dua puluhan sampai tahun, ya empat puluhan. Tetapi sekarang lebih-lebih daripada Moscow yang ditakuti itu kita, saudara-saudara. Malahan dengan Moscow sudah bisa diadakan sedikit-sedikit peaceful coexistence, hidup berdampingan bersama-sama dalam suasana damai, tetapi Indonesia tidak bisa oleh mereka diajak hidup berdampingan secara dama, tidak bisa.

Indonesia inilah yang di dalam Konperensi Negara-negara Non-Aliged, negara-negara netral di Beograd, Belgrado, ibukota Yugoslavia, dan kemudian di Kairo, ibu kota Republik Persatuan Arab, Indonesia ini yang pertama mengatakan di hadapan di seluruh dunia, Indonesia tidak bisa hidup secara peaceful coexistence dengan kaum imperialis, tidak bisa! Antara imperialisme dan revolusi Indonesia, antara imperialisme dan negeri-negeri atau rakyat-rakyat yang diimperialisi oleh imperialisme tidak bida, tidak mungkin ada peaceful coexistence, tetapi yang ada perjuangan, pertempuran mati-matian. Mana lu punya dada, ini dadaku! Hanya demikian, saudara-saudaraku, sikap kita yang pantas terhadap imperialis. Jadi, Indonesialah yang pertama-tama berani menyangkal slogan yang sudah berpuluh tahun didengung-dengungkan di dunia ini, yaitu peaceful coexistence, peaceful coexistence. Indonesia dengan tidak tedeng aling-aling berkata : Tidak, tidak bisa peaceful coexistence dengan imperialis. Oleh karena itu, Indonesia sekarang ini yang paling dicap sebagai enemy number one, musuh nomor satu, apalagi Indonesia ini, saudara-saudara, makin lama makin mempengaruhi rakyat-rakyat Asia, Afrika, bahkan Latin Amerika, bahkan rakyat-rakyat lain di luar Asia, Afrika dan Latin Amerika itu.

Dulu, saudara-saudara, tatkala kita mengadakan A-A pertama di Bandung, uuh, waktu itu ya, kaum imperialis itu seperti acuh tak acuh , mula-mula dianggapnya Konperensi Asia-Afrika di bandung itu seperti itu, ini perkataan kaum imperialis, een theepartijtje; theepartijtje yaitu semacam, yaaa kumpulan minum-mium bersama. Baca piato saya pada pembukaan A-A pertama di bandung tahun ‘55, di situ saya berkata: janganlah Konperensi A-A ini menjadi apa yang dikira oleh kaum imperialis semacam theepartijtje—kalau bahasa damesnya ialah thee-kransje— tidak, jadikanlah A-A ini satu usaha untuk menggabungkan tenaga-tenaga A-A, tenaga-tenaga Asia-Afrika di dalam lapangan perjuangan menentang imperialisme untuk mengadakan dunia baru tanpa exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation.

Nah ini, saudara-saudara, mula-mula oleh kaum imperialis di…, heh,… diangkat pundak mereka itu, biar mereka berkaok-kaok, tidak dianggap serius oleh kaum imperialis, tapi ternyata A-A makin kuat, makin teguh, makin kuat, makin teguh; semangat Bandung, Dasasila Bandung, makin makan sedalam-dalamnya di dalam hati sanubari rakyat-rakyat Asia-Afrika bukan saja, tetapi masuk ke dalam hatinya, sanubarinya, keyakinan politiknya, tekad perjuagannya, rakyat-rakyat di Amerika Latin. Baru mereka itu menjadi sadar, A-A ini adalah satu bahaya.

Oleh karena itu, pada waktu dasawarsa, saudara-saudara, saya pernah berkata, ho-ho-ho, engkau tidak tahu, saudara-saudara, pada waktu itu pating seliver di Jakarta ini cecunguk-cecunguk kaum imperialis. Ada cecunguk yang kulit putih, ada cecunguk yang kulit sawo matang, kulit sawo matang yang seperti kamu itu, saudara-saudara. Tahu artinya cecunguk? Kata orang Jawa, coro … (seorang hadirin berteriak : Kakkerlak! —Red.) . . . ya, Kakkerlak . Diawaskan, diperhatikan Dsawarsa, dan di situ mereka makin yakin, waah ini, A-A ini makin lama makin jadi bahaya. Apalagi sesudah saya, atas nama rakyat Indonesia mengucapkan pidato saya di gedung ini, di sana yaitu pidato pembukaan perayaan Dasawarsa A-A di Jakarta. Mereka berkata, wah-wah-wah, bukan saja Indonesia berbahaya, membahayakan kita—kita ini nekolim—tetapi Soekarno inilah yang paling berbahaya.

Oleh karena itu, tadi dikatakan oleh Pak Chairul Saleh, agar jangan sampai Soekarno bisa menguasai nanti, mempengaruhi A-A kedua di Aljazair, kalau bisa bunuh dia! Dan seperti tadi Pak Chairul Slaeh berkata, bukan saja Soekarno, juga Pak Yani, Pak Subandrio, dan pemimpin-pemimpin yang lain. Yah saudara-saudara, sebagiamana biasa aku, punya perisai yang paling utama, ialah Allah SWT. Lima-enam kali saya dicoba dibunuh. Coba ya, ada yang mencoba dengan granat, ada yang mencoba dengan mortir, ada yang mencoba dari kapal udara, dimitralyur, tetapi berkat perlindungan Allah SWT aku selalu selamat.

Saudara-saudara, dan seperti pernah kukatakan pula beberapa hari yang lalu di hadapan para penglima, mereka punya rencana itu, saudara-saudara, sedapat mungkin sebelum Aljazair, Soekarno, Yani, Subandrio cs. dibunuh. Kalau tidak bisa, sesudah Aljazair ini akan diadakan limited attack, limited itu artinya terbatas, bukan kecil-kecilan, tetapi yang terbatas, bukan hantam seluruhnya, tetapi ya, sebagian, limited. Attack artinya gempuran, serangan. Sesudah Aljazair dirancangkan, diadakan limited attack kepada Indonesia , dan kalau ada limited attack itu, tentu sedikit kaca, pikir mereka. Dalam kekacauan itu antek-antek imperialis yang ada di dini akan bertindak menggulingkan Soekarno, Soebandrio, Yani cs.

Jikalau perjuangan kita ini memang perjuangan yang diridoi Tuhan—dan aku percaya, saudara-saudara, bahwa perjuangan kita ini diridoi Tuhan—insya Allah SWT, tuhan pun akan melindungi kita, menjaga kita di dalam hal ini. Dan bukan saja itu, bukan karena diridohi Tuhan, saudara-saudara, insya Allah SWT, tetapi juga jikalau bangsa Indonesia tetap kompak, tetap bersatu, tetap waspada, tetap bernasakom, insya Allah, meskipun mereka mengadakan serangan yang bagaimanapun juga, kita hantam kembali serangan itu, hancur-lebur serangan dari musuh itu. Ya, tanpa tedeng aling-aling, kita ini tidak mau akan ini dan itu, tidak, tetapi kalau mau gontok-gontokan, ya, ini dadaku, mana dadamu! dan aku bisa berkata demikian oleh karena kita ini berdiri di atas Persatuan Rakyat Indonesia, gabungan, semenbundeling daripada progressief-revolutionnaire krachten di dalam kalangan bangsa Indonesia ini, dari sabang sampai Merauke. Lihat-lihat, saudara-saudara, apa dayanya kaum imperialis di Vietnam? Kita ini 105 juta, saudara-saudara, Vietnam itu berapa? tidak ada seperlima rakyat Indonesia, en toch, saudara-saudara, kaum imperialis babak-benjut di Vietnam. Apa sebab? Rakyat Vienam bersatu, rakyat Vietnam kompak bersatu, rakyat Vietnam kompak berkata “sekali merdeka, tetap merdeka!” dan pertahankan kemerdekaan itu habis-habisan!

*) Amanat–Indotrinasi Presiden Soekarno, pada pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom, 1 Juni 1965, di Istora Senayan, Jakarta.



Sumber : Klik

Percayalah Pada Benarnya Nasakom! (Bagian Pertama)


Kita sekarang ini sudah hampir dua puluh tahun merdeka, 17 Agustus’ 45 kita mengadakan proklamasi dan insya Allah 17 Agustus tahun ini kita akan dua puluh tahun merdeka. Dan kemerdekaan itu adalah hasil dari perjuangan yang bukan dua puluh tahun, tetapi hasil dari perjuangan yang lebih panjang dari dua puluh tahun itu, tergantung dari cara kita menghitungnya; bisa dikatakan sekian puluh tahun, bisa dikatakan sekian ratus tahun.

Kalau kita sekadar mulai dengan tahun 1908, permulaan kita mengadakan organisasi modern, pergerakan, yaitu dengan berdirinya Budi Utomo, maka antara tahun ‘08 dan ’45 adalah 37 tahun. Tetapi jikalau kita hitung dari sejak sultan angung, Sultan Agung dari Mataram, sebab ada dua Sultan Agung , ada Sultan Agung dari Mataram, Yogyakarta, ada Sultan Agung dari Banten, dua-duanya pejuang; Sultan Agung dari Yogya itu dinamakan hajejuluk, menamakan diri Sultan Agung Hanyokrokusuma atau Sultan Agung Cokrokusumo; Sultan Agung yang dari Banten menamakan diri Sultan Agung Tirtayasa, beliau akan membuat kolam Indah. Pembuat kolam indah, maka beliau menamakan diri Sultan Agung Tirtayasa. Jika kita hitung perjuangan kita untuk mencapai kemerdekaan sejak saat-saat Sultan Agung Hanyokrokusumo menggempur Jakarta atau Sultan Agung Tirtayasa menggempur Jakarta, maka perjuangan kemerdekaan kita itu lebih dari tiga abad. Sultan Agung dua itu diikuti oleh pejuang-pejuang yang lain, oleh Suropati, Joko Untung Suropati, diikuti oleh Trunojoyo, diikuti oleh Sultan Hasanuddin, diikuti oleh Diponegoro, diikuti oleh Tuanku Imam Bonjol, diikuti oleh Teuku Umar, atau Teuku Cik Ditiro, diikuti oleh Pattimura, diikuti oleh gerakan kita yang terkenal di abad ke-20 ini; maka total perjuangan kita lebih dari tiga abad dan baru pada tanggal 17 Agustus ’45 kita dapat mengadakan proklamasi kemerdekaan.

Pernah saya kupas, apa sebab perjuangan-perjuangan yang terdahulu, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan Agung Tirtayasa, Suropati, Trunojoyo, Hasanuddin, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Dipenogoro, dan lain-lain gagal, apa sebab tak berhasil mengusir kekuasaan Belanda atau imperialis Belanda dari Indonesia.

Maka jawaban saya selalu ialah, oleh karena Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan Agung Tirtayasa, Trunojoyo, Suropati, Hasanuddin, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Tuanku Imam Bonjol, Diponegoro dan lain-lain sebagainya itu, perjuangannya sudah didasarkan atas persatuan dan kesatuan perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Betapa hebatnya pun Diponegoro menjalankan ia punya perjuangan, ia tidak berhasil memerdekakan Indonesia, oleh karena perjuangannya hanya disandarkan atas kekuatan rakyat di pulau Jawa saja. Bagaimanapun Sultan Hasanuddin berjuang—demikian hebatnya sehingga Cornelis Speelman menamakan dia “de jonge haan van her Oostern,” ayam jantan muda di alam timur. Notabene ayam jantan muda itu juga salah satu titel dari seorang raja kita yang hebat, yaitu Hayam Wuruk, majapahit. Hayam wuruk artinya ayam jantan muda; Speelman menamakan Sultan Hasanuddin : “de jonge haan”— tetapi toh perjuangannya tidak berhasil, tidak berhasil mengusir Belanda, oleh karena tidak disandarkan atas seluruh Rakyat Indonesia. Demikian pula Teuku Umar, demikian pula Tuanku Imam Bonjol, demikian pula lain-lain pahlawan kita. ini harus menjadi pelajaran bagi kita, pelajaran yang sudah ditarik oleh kita menentang imperialism, perjuangan kita memerdekakan Indonesia harus disandarkan atas persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia seluruhnya, dengan tidak mengenal suku, tidak mengenal agama, tidak mengenal waktu.

Kita pada hari ini memperingati hari lahirnya Pancasila, 1 Juni 1965. Ya, memang pada tanggal 1 Juni 1945, dus sebelum kita mengadakan proklamasi Kemerdekaan Indonesia, saya telah membuat pidato mengusulkan Pancasila kepada pemimpin-pemimpin Indonesia, agar supaya Pancasila itu dijadikan dasar Negara Indonesia Merdeka. Dan, saudara-saudara, tatkala saya memikir-mikirkan apa yang akan aku usulkan ke hadapan para pemimpin rakyat Indonesia, satu hal yang menjadi pegangan teguh bagi saya, yaitu bahwa Persatuan Indonesia, kesatuan Indonesialah, pokok dari segala pokok. Kita hendak mengadakan Indonesia Merdeka pada waktu itu , dan pada waktu itu, sebelum aku mengadakan Pidato Pancasila, telah menjadi keyakinan di dalam kalbuku, keyakinan, ilmu-yakin, ainul-yakin, hakkul-yakin, bahwa kemerdekaan kita yang akan datang itu hanya dapat dipertahankan abadi, jikalau kemerdekaan kita itu didasarkan atas kesatuan bangsa Indonesia.

Lebih dahulu aku memberi penjelasan. Ini saya melihat beberapa mata dari wanita-wanita itu—tatkala aku menyebutkan ilmu-yakin, , ainul-yakin, hakkul-yakin—-kelihatan bersinar-sinar, tetapi mengandung pertanyaan. Apa bedanya ilmu-yakin, , ainul-yakin, hakkul-yakin? hakkul-yakin itu keyakinan yang sudah seyakin-yakinnya sepanjang pikiran, sepanjang ‘ilm, sepanjang ilmu. Tempo hari disini saya pernah melukiskan sebagai berikut: aku berdiri disini, umpamanya aku berdiri disini, tidak ada gedung ini, aku berdiri disini, kemudian dibelakang kampung sana itu aku melihat asap mengepul, dibelakang kampung sana aku melihat asap mengepul. Ilmuku, pikiranku berkata, tidak ada asap kalau tidak ada api, dus aku yakin, bahwa di belakang kampung itu ada api; tetapi keyakinanku itu sekadar hasil dari ‘ilm, pikiran, ilmu. Dengan Ilmu-yakin aku berani mengatakan, bahwa di belakang kampung itu ada api.

Tapi mungkin, ya mungkin, matakulah yang salah, mataku sedang menderita penyakit yang dinamakan penyakit hallucinatie, hallucinatie melihat barang tetapi sebetulnya tidak ada. Mengira melihat asap, tetapi sebetulnya tidak ada, sebagaimana orang di padang pasir jikalau panas sepanas-panasnya dan dia sedang menderita dahaga, huh, matanya melihat di tepi langit itu seperti ada telaga, dia mengira disana ada telaga, padahal tidak ada, wong padang pasir. Tetapi dia punya mata melihat telaga. Itu yang biasa dinamakan Fatamorgana. Jadi si orang itu melihat fatamorgana, fatamorgana, bahwa ditepi langit sana itu ada telaga, air sejuk dan dia yang menderita dahaga itu bukan main, ya, ingin meminum air telaga itu, terus dia lari kesana, tetapi lari punya lari, tidak ada telaga air sejuk disana itu.

Nah, saya pindahkan kepada tamsilku itu tadi. Meskipun aku melihat asap di belakang kampung, mungkin matakulah yang salah, mungkin mataku melihat asap seperti orang itu di padang pasir melihat talaga, tetapi sebenarnya tidak ada asap, sehingga keyakinanku bahwa di belakang kampung itu api— sebab akalku berkata ada asap ada api, sehingga keyakinanku di belakang kampung itu ada api —adalah sebenarnya keyakinan yang salah, sehingga ilmul-yakin itu satu keyakinan yang bertaraf paling rendah.

Kemudia ainul-yakin. Aku melihat asap di belakang kampung dan aku berkata di sana itu tentu ada api, ilmul-yakin. Tetapi aku berjalan, aku pergi ke sana, pergi ke belakang kampung itu, ee, benar-benar aku melihat api. Bukan hanya aku melihat asap, aku melihat api, dan sekarang aku berkata, dengan ainul –yakin aku boleh berkata bahwa ada api, seba aku melihat api. Tadi aku sekedar melihat asap, sekarang aku melihat api, aku pergi ke belakang kampung, aku melihat api; benar ilmiah tadi itu benar, yah, ini ainul-yakin. Di belakang kampung itu ada api, karena mataku melihat api.

Tapi keyakinan ini, nomor dua ini masih bisa salah, mungkin mataku yang masih salah, mataku yang tadi melihat asap, masih kabur, sekarang mengira melihat api, padahal bukan api. Ainul-yakin lebih tinggi tarafnya daripada ilmul-yakin, tetapi belum keyakinan yang setinggi-tingginya, sebab mungkin mataku masih salah. Sekarang singsingkan kupunya lengan baju. Aku melihat api, aku masukkan tanganku kepada barang yang aku sangka api itu, oo panasnya bukan main, betul-betul ini api, jadi bukan penglihatan matuku saja, tetapi benar-benar ini api sebab tanganku terbakar. Hakkul-yakin, ini api. Nah, saudara-saudara, sudah mengerti sekarang perbedaan antara ilmul-yakin, ainul-yakin, hakkul-yakin?

Nah, pada waktu aku keesokan harinya hendak mengucapkan pidato di hadapan sidang pemimpin-pemimpin seluruh Indonesia untuk mengusulkan dasar-dasar Negara, pada waktu aku telah hakkul-yakin bahwa kemerdekaan hanya dapat dipertahankan abadi dan kekal, sekali merdeka tetap merdeka, jikalau didasarkan atas persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia, maka aku mohon lebih dari ke- hakkul-yakin- an. Dan aku telah pernah ceritakan di sini, malam-malam itu aku keluar dari rumah—rumah yang kudiami pada waktu itu, yaitu Pengangsaan Timur 56, yang sekarang menjadi Gedung Pola— pada waktu itu aku keluar dari rumah, pergi ke belakang rumah, dan aku menengadahkan wajah mukaku dan hatiku kepada Allah SWT. Beribu-ribu bintang gemerlapan pada waktu itu, bintang bulan Mei/ Juni yang sedang tiada hujan tiada awan, angkasa bersih, beribu-ribu bintang di langit dan aku menekukkan lutut (Presiden menangis tersedu-sedu—red.), maaf… kalau aku ingat ini selalu aku terharu. Ya Allah, ya Rabi: aku tekukkan lututku, aku menengadah ke langit, aku kirimkan permohonanku dibalik, di belakangnya bintang yang beribu-ribu itu kepada Alla SWT : Ya Tuhan, ya Allah ya Rabi, berikanlah ilham kepadaku. Besok pagi aku harus berpidato mengusulkan dasar-dasar Negara Indonesia Merdeka. Pertama, benarkah keyakinanku, ya Tuhan, bahwa kemerdekaan itu harus didasarkan atas persatuan dan kesatuan bangsa? Kedua, ya Allah ya Rabi, berikanlah petunjuk kepadaku, berikanlah ilham kepadaku, kalau ada dasar-dasar lain yang harus ku kemukakan. Apakah dasar-dasar lain itu?

Sesudah aku memohon yang demikian, saudara-saudara, aku masuk lagi ke rumah, berbaring di tempat pembaringan, menenangkan aku punya pikiran dan aku tertidur. Dan, saudara-saudara, tatkala pagi-pagi aku banging, aku telah mendapat ilham : Pancasil. Ilha itu, saudara-saudara, bisa diberikan oleh Tuhan kepada siapa pun, bukan hanya kepada Nabi, tidak. Yang diberikan kepada Nabi aadallah Wahyu, kalau kepada manusia biasa, setiap-tiap manusia bisa mendapat ilham. Engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham— yang “silo,” anak kecil itu—engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, Yo Chairul Saleh bisa mendapat Ilham, engkau Jeng Sukahar bisa mendapat ilham, engkau saudariku dari Sulawesi Selatan bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, kita semuanya bisa mendapat ilham, yaitu pikiran yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Seperti kukatakan tadi tatkala aku pagi-pagi tanggal 1 Juni bangun hendak sembahyang subuh, pada waktu itu aku telah mendapat ilham, pikiran yang nanti akan aku usulkan di hadapan rapat para pemimpin, ialah Pancasila. Dan nomor satu, oleh karena aku mendapat ilham itu karena kau mohon kepada Allah SWT, aku taruh sebagai sila yang pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua Kebangsaan Indonesia, Persatuan bangsa Indonesia, tersebar diatas kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, persatuan yang kompak sekompak-kompkanya. Kemudian baru yang lain-lain, saudara-saudara, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Pancasil, saudara-saudara, saya usulkan kepada sidang pada tanggal 1 Juni itu dan syukur Alhamdulillah diterima dengan segera, sekaligus oleh sidang.

Saya cerita, ya. Siapa yang paling pertama di antara hadirin dan hadirat pada waktu itu yang mengusulkan agar Bung Karno diterima? Almarhum Ki Hajar Dewantara. Padahal tadinya, tadinya sebelum aku, almarhum Ki Hajar Dewantara juga bicara dan mengusulkan beberapa dasar lain. Sebelum aku pidato itu ada pemimpin-pemimpin lain berpidato, almarhum Ki Bagus Hadikusumo berpidato, Ki Hajar Dewantara berpidato, Bung Hatta, Mohammad Hatta berpidato, banyak lagi berpidato, mengusulkan dasar-dasar, kemudian dipersilahkanlah Bung Karno berpidato. Pada waktu itu yang memegang palu ialah almarhum Dr. Rajiman Wedyodiningrat, yang sudah mangkat. Dr. Rajiman Wedyodiningrat. Sesudah lain-lain pemimpin berpidato, maka sekarang Bung Karno dipersilahkan berpidato, dan pada waktu aku mulai berpidato itu, aku sekali lagi mengucap Bismillah, Bismillah, oleh karena aku merasa bahwa apa yang aku katakab nanti ialah ilham yang Tuhan berikan kepadaku (Presiden terharu dan tersedu-sedu—Red). Bismillah, aku anjurkan : Pancasila. Dan sesudah aku pidato, Ki Hajar Dewantara minta bicara, dan beliau mengajurkan kepada seluruh sidang: saudara-saudara sekalian, mari kita terima seluruhnya apa yang diusulkan oleh Bung Karno ini. Sejak dari saat itulah, saudara-saudara, Pancasila resmi menjadi dasar Negara Indonesia yang akan kita proklamirkan.

17 Agustus ’45 datang, proklamasi kemerdekaan diucapkan juga di Penganggsaan Timur 56. 18 Agustus ’45, satu hari kemudian diadakan lagi sidang seluruh pemimpin Indonesia dan di situ ditetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang kemarinnya diproklamirkan itu. Undang-undang Dasar Republik Indonesia disahkan pada tanggal 18 Agustus ’45 dan di dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar itu —Undang-undang Dasar ’45, Undang-undang Dasar yang kita kenal semuanya—tertulisah dengan nyata unsur-unsur Pancasila itu, saudara-saudara. Dan berkat Pancasila itu, saudara-saudara, sampai hari ini Alhamdulillah Republik Indonesia masih berdiri teguh, meskipu Republik Indonesia ini dicoba oleh musuh dihancurkan dengan macam-macam jalan; dicoba dihancurkan dengan aksi militer yang kedua, tahun ’48, dicoba dengann subversi macam-macam, dicoba dengan pemberontakan-pemberontakan PRRI/Permesta dan RMS, dicoba dengan segala hal, tetapi Republik Indonesia tetap berdiri kuat, karena Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.

Dan, saudara-saudara, di dalam pidatoku waktu aku menganjurkan Pancasila itu, aku juga telah berkata : Pancasila dapat kita peras menjadi tiga, Trisila : Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme, Sosio-demokrasi. Tiga. Kalau kita persatukan Kebangsaan dengan Perikemanusiaan—sila dua dan sila tiga kita peras menjadi satu—menjadilah ia Sosio-nasionalisme, dan jikalau kita peras sila keempat, Kedaulatan Rakyat dengan sila kelima, Keadilan Sosial, perasannya itu menjadi Sosio-demokrasi, sehingga perasan dari lima ini menjadi tiga: Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi. Tetapi aku lantas berkata kepada sidang, barangkali tuan-tuan toh belum senang kepada angka tiga, barangkali tuan-tuan senang kepada kepada angka satu, wahai, kataku, peraslah tiga ini menjadi satu, menjadi Ekasila—Eka artinya satu—dan apakah Ekasila itu? Ekasila itu adalah gotong-royong. Negara Republik Indonesia berdasarkan gotong-royong, gotong-royong seluruh rakyat Indonesia, gotong-royong rakyat di Sabang sampai rakyat di Merauke. Dan aku ulangi, saudara-saudara, dengan prinsip gotong-royong ini, dengan kenyataan gotong-royong ini, kita makin lama makin kuat.

*) Amanat–Indotrinasi Presiden Soekarno, pada pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom, 1 Juni 1965, di Istora Senayan, Jakarta.


Sumber : klik


United Nations Development Programme (UNDP) baru saja melansir data Human Development Index (HDI) terbaru untuk 169 negara. Dalam pengumuman terbaru ini, Indonesia telah berhasil menanjak prestasinya, yaitu dari urutan 111 tahun lalu menjadi 108 pada tahun ini.

Akibat pergeseran naik itu, posisi Indonesia kini masuk dalam jajaran menengah pembangunan manusia di dunia, yang mana posisinya telah disejajarkan dengan Tiongkok (89) dan Afrika Selatan (110). Adapun faktor pendorong kemajuan ini, sebagaimana diterangkan oleh Country Director UNDP Beate Trankmann, yaitu pendapatan masyarakat Indonesia yang bertumbuh positif dalam beberapa tahun terakhir menjadi US$ 3.957 per kapita, dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang signifikan dibandingkan negara-negara lain.

Dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia, pada umumnya para ahli mempergunakan tiga indikator penting, yaitu indeks harapan hidup, indeks melek pendidikan, dan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, seperti juga survey-survey di Indonesia, perhitungan semacam ini kadang tidak sesuai dengan fakta, apalagi jika basis penghitungannya mengambil data-data resmi pemerintah.

Jika kita berbicara soal pembangunan manusia, seharusnya disinggung pula soal prasyarat pembangunan seorang manusia itu sendiri, yakni makanan yang cukup, badan yang sehat, tingkat pendidikan, dan kesempatan dalam merumuskan keputusan tanpa diganggu pihak lain.

UNDP tidak menyadari, bahwa setelah beberapa dekade praktek neoliberalisme di Indonesia, persoalan akses makanan untuk rakyat semakin sulit. Lihatlah, misalnya, bagaimana rakyat berebutan ketika ada pembagian sembako gratis, bahkan seringkali acara seperti ini memakan korban jiwa.

Malajah Forbes sendiri telah mengumumkan daftar 40 orang terkaya di Indonesia, yang menjelaskan bahwa sebagian besar ekonomi Indonesia dikuasai oleh segelintir pebisnis, yang katanya tidak melebih 400 keluarga di Indonesia.

Jikalau menggunakan pendapatan perkapita, maka UNDP akan salah besar jika mengatakan daya beli rakyat Indonesia sudah meningkat. Justru, karena praktik neoliberalisme di segala bidang, daya beli rakyat Indonesia telah menurun secara drastis sehingga hampir semua konsumsi rakyat Indonesia dibiayai oleh utang (kredit konsumsi, BLT, KUR, dll).

Di bidang pendidikan juga begitu. Neoliberalisme telah menyebabkan setiap menitnya ada lima anak Indonesia yang putus sekolah. Belum lagi, program pemberantasan buta-huruf hanya berjalan di tempat, tidak ada kemajuan sama sekali.

Sekarang, mari kita lihat struktur PDB kita yang selalu menjadi bahan acuan lembaga-lembaga pemeringkat asing. Dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, ekonomi nasional atau rakyat (UMKM) yang berjumlah 40,1 juta atau 99,8% dari total pelaku ekonomi hanya menikmati 39,8% dari PDB, sementara korporasi besar asing menikmati hingga 60,2%. Artinya, PDB tidak relevan untuk dijadikan ukuran kemakmuran bagi rakyat Indonesia.

Sekarang, mari kita tanyakan kepada UNDP, apa basis ekonomi nasional Indonesia saat ini yang bisa diandalkan sehingga bisa memicu pertumbuhan? Semua sektor ekonomi hampir sudah dicaplok oleh asing, sementara perusahaan-perusahaan nasional strategis satu per satu dijual murah (privatisasi). Sektor pertanian Indonesia juga hancur akibat kebijakan liberalisasi impor produk pertanian, penghapusan subsidi, dan lain-lain.

Akhirnya, kami melihat penetapan Indonesia oleh UNDP sebagai “Top Ten Movers”, atau 10 besar dalam kemajuan pembangunan di Asia Pasifik, adalah “kado istimewa” untuk menyenangkan pemerintah Indonesia. Kado ini diberikan supaya pemerintah Indonesia tetap setiap menjalankan resep-resep neoliberal, bahkan jika perlu lebih diintensifkan lagi. Apa yang tidak bisa dimanipulasi oleh kaum imperialis saat ini? Mereka bisa memberikan penghargaan nobel kepada orang-orang yang sejalan dengan politik mereka. Begitu pula dengan penyusunan peringkat IPM.

11 Desember 2010

Wikileaks dan beberapa bocoran Data

WikiLeaks membuat gempar lewat keberaniannya membocorkan puluhan ribu dokumen rahasia milik Amerika Serikat. Bukan belakangan ini saja, situs non-profit itu sudah menjalankan misinya sejak beberapa tahun lalu.

Seperti dikutip dari laman Telegraph, berikut adalah sejumlah dokumen rahasia yang pernah dibocorkan ke laman publik yang dirintis jurnalis asal Australia Julian Assange.

1. Serangan Helikopter Apache di Irak
Sebuah rekaman video memperlihatkan perilaku sadis tentara Amerika Serikat di Irak. Dari atas helikopter Apache milik angkatan perang negara adidaya itu, para tentara menembak mati 15 orang, termasuk dua wartawan Reuters.

Gambar yang terekam lewat kamera di senjata helikopter itu dirilis laman WikiLeaks. Dari rekaman itu terdengar suara tawa tentara sambil mengatakan, “Mati kau!” Lalu terdengar pula, “Rekam, simpan gambar, simpan gambar.”

Militer AS telah menolak memberi sanksi kepada tentaranya. Mereka berdalih mereka yang tertembak adalah para pemberontak dan wartawan yang nekat memasuki kawasan yang akan digempur tentara. Tentara juga berdalih bahwa sulit membedakan apakah wartawan itu membawa kamera atau senjata.

Salah satu kerabat wartawan Reuters yang tertembak menimpali, “Pertanyaan saya adalah bagaimana bisa pilot-pilot Amerika yang sangat terampil dengan teknologi informasi tidak bisa membedakan antara kamera dan rudal.”

2. Email Sarah Palin
Menjelang Pemilihan Presiden Amerika, 2008, email pasangan kandidat Partai Republik John McCain, Sarah Palin, di-hack oleh kelompok dunia maya yang gencar berperang dengan Gereja Scientology. Dua email, daftar kontak, dan berbagai foto keluarga yang diposting ke WikiLeaks.

Dari WikiLeaks juga terungkap bahwa Palin telah menggunakan akun pribadi untuk mengurus kerja pemerintahannya. Palin diduga melakukannya untuk menghindari undang-undang yang berhak merekam aktivitas akun publik milik pejabat.

Dalam kampanyenya, McCain menganggap itu sebagai sebuah serangan mengejutkan terhadap privasi gubernur dan pelanggaran hukum.

3. Kitab Suci Gereja Scientology
Pada tahun 2008, WikiLeaks menerbitkan kompilasi ‘kitab suci’ Gereja Scientology. Termasuk di dalamnya sejumlah ajaran dan kegiatan gereja kontroversial itu. Pengacara Gereja Scientology meminta Wikileaks menarik publikasi itu. Namun, pengelola situs itu menolaknya.

4. Email Unit Penelitian Iklim
WikiLeaks menampilkan lebih 1.000 email yang dikirim dalam kurun 10 tahun oleh para staf di University of East Anglia’s Climate Research Unit (RCU). Email ini menunjukkan bagaimana sejumlah ilmuwan melakukan rekayasa untuk memperkuat argumen bahwa pemanasan global nyata terjadi akibat ulah manusia.

Terkuak di WikiLeaks, seorang ilmuwan menulis di emailnya, “Saya baru saja membuat trik untuk menyelesaikan Mike’s Nature (salah satu jurnal ilmiah), untuk menyembunyikan penurunannya.”

Bocornya email-email semacam itu jelas membuat berang banyak pihak, terutama mereka yang menjunjung tinggi karya ilmiah. Itu dianggap sebagai skandal ilmiah terburuk. Pimpinan RCU, Profesor Phil Jones, akhirnya memutuskan mundur dari jabatannya sebagai bentuk pertanggungjawaban.

5. Data Pager Serangan 11 September
November tahun lalu, WikiLeaks mempublikasikan lebih 500 ribu pesan pager yang terkirim di wilayah Amerika Serikat pada hari serangan 11 September. Mulai dari pesan yang dikirim pejabat pemerintah, hingga orang biasa. Wikileaks mengatakan, publikasi pesan-pesan itu untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang apa yang terjadi pada hari itu.

6. Daftar Hitam Internet di Australia
Tahun lalu, ketika pemerintah Australia merancang aturan agar pengguna internet tidak bisa melihat situs yang dianggap tidak cocok menurut pemerintah setempat, WikiLeaks membocorkan daftar situsnya. Ternyata bukan situs porno. Beberapa yang termasuk daftar tersebut adalah video-video YouTube, materi Wikipedia, situs agama pinggiran, bahkan situs agen perjalanan.

7. Standar Operasi Penjara Guantanamo
Pada 3 Desember 2007 silam, WikiLeaks menampilkan pedoman “Standar Prosedur Operasi Camp Delta”, salah satu blok sel di Guantanamo. Pedoman ini mengisyaratkan adanya kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di penjara tersebut. Panduan itu menyebutkan tahanan tidak bisa mendapat akses ke Palang Merah sampai lebih dari empat pekan.

8. Dokumen Cegah Data Bocor ke WikiLeaks
Tahun lalu, militer Inggris mengeluarkan panduan untuk mencegah bocornya dokumen-dokumen resmi mereka ke WikiLeaks. Dalam dokumen tersebut wartawan dianggap sebagai ancaman keamanan. Beberapa pihak yang dianggap bisa membocorkan informasi rahasia adalah intelijen asing, penjahat, kelompok teroris, dan staf yang tidak puas.

Sebuah dokumen milik Pentagon yang juga bocor juga menyebutkan WikiLeaks sebagai ancaman bagi keamanan nasional.

'Server' Wikileaks Dibungker Tahan Nuklir




disatu kawasan, di salah satu wilayah paling keren di Stockholm, sebuah bukit berselimut salju yang di ujungnya berdiri sebuah gereja, tersembunyi bungker anti-serangan nuklir dan menjadi pusat data masa depan untuk 8.000 server, yang dua di antaranya milik WikiLeaks.

“Segala gemuruh global (yang terjadi sekarang) diciptakan oleh dua kotak kecil ini,” kata Jon Karlung, kepala dan pendiri Bahnhof, salah satu perusahaan penyedia server untuk laman penyingkap aib itu.

Karlung berdiri di atas lantai sambil menunjuk dua kotak plastik hitam pipih yang dikelilingi kabel-kabel. Setiap kedipan berwarna biru menandakan kotak-kotak itu dalam keadaan aktif.

Server-server itu tersimpan di lemari putih terkunci yang berjejer dengan barisan lemari putih lainnya di sebuah ruang besar berdinding cadas yang menyambung langsung ke tebing gunung.

Kubah itu riuh rendah oleh bunyi server dan putaran kipas angin yang diperlukan untuk mendinginkan server-server tersebut.

Pengusaha bermantel ini menutup pintu lemari putih tersebut dan melanjutkan untuk memandu ke aula data yang menjadi pusat perhatian dunia.

Data tersebut menghebohkan dunia setelah WikiLeaks, yang menjadi kliennya sejak Oktober, mulai menyebarkan rangkaian kawat rahasia milik kedubes-kedubes AS di seluruh dunia.

Dari pengakuan pimpinannya, pusat data itu diperlakukan sepenting data yang lainnya, dan WikiLeaks diperlakukan sama dengan klien-klien Bahnhof lainnya, yang melanggani jasa server perusahaan itu.

Tempat itu kelihatan seperti dalam gambaran fiksi ilmiah atau film-film spionase, dan mewakili karakter rahasia dari penyewanya yang saat ini menjadi orang yang paling digunjingkan dunia, yaitu pemimpin WikiLeaks yang misterius, Julian Assange.

Assange kini menghuni bui di London dan menunggu persidangan untuk ekstradisinya ke Swedia, di mana dia diinginkan untuk dijebloskan karena tuduhan serangan seksual.

Sampai Interpol mengeluarkan surat perintah penangkapannya, tanggal kelahiran orang ini menjadi rahasia.

Seorang pengunjung masuk ke aula data melalui pintu kaca bergeser yang tertutup oleh uap dari panas yang dikeluarkan server-server itu di sisi Vita Berget (Gunung Putih) pada sudut ciamik di daerah Soedermalm, Stockholm.

Sekali masuk ke situ, panas dan lembab mencekik, sedangkan satu lereng agak menjorok mengarah ke aula data, yaitu dinding yang diapit tanaman-tanaman tropis yang tak akan bertahan hidup di suhu dingin di luar kompleks data tersebut.

Berkode sandi pionen (sejenis tumbuhan khas Swedia), bungker itu pertama kali dirancang pada pertengahan 1940-an, kemudian diperbarui menjadi tempat perlindungan anti-serangan nuklir di puncak masa Perang Dingin.

Aula besar itu digunakan untuk tujuan-tujuan berbeda. Pada 1990-an semula menjadi tempat ekshibisi sampai kemudian diambil alih beberapa tahun lalu oleh Bahnhof, sebuah perusahaan besar yang berbisnis pusat data. Perusahaan ini juga penyedia jasa internet (ISP).

“Bungker ini memberi perlindungan ekstra kepada WikiLeaks,” kata Karlung setengah bercanda.

Tentu saja ancamannya bukan fisik dalam arti harfiah.

“Kami sangat terlindung dari serangan-serangan fisik yang tak mungkin terjadi. Ancaman sesungguhnya mungkin dari hukum dan kemungkinan besar dari serangan cyber,” katanya.

Di sebuah kantor di samping ruang server, dengan bangga dia menunjuk sebuah layar yang memperlihatkan grafik trafik (lalu lintas akses) ke server WikiLeaks.

“Hingga kini, tidak ada satu serangan langsung terhadap kami. Kami memang menyaksikan dampak dari serangan-serangan itu, tapi tidak ada serangan terhadap fasilitas ini atau layanan yang mereka punya di sini,” katanya.

WikiLeaks, papar Karlung, juga mempunyai server di tempat lainnya.

“Mereka tidak menaruh telur-telur mereka di keranjang yang sama.”

Ketika ditanya mengenai keguncangan politik akibat skandal kawat diplomatik oleh WikiLeaks, Karlung menjawab bahwa klien-kliennya dapat menggunakan server-server mereka atas keinginannya sendiri sepanjang tidak menyalahi hukum di Swedia.

“Satu-satunya yang akan membahayakan server mereka di sini adalah jika mereka memuat material ilegal.”

Menjadi hosting sebuah server, katanya, adalah ibarat jasa pengiriman surat.

Saat ditanya untuk apa saja klien-kliennya menggunakan server-server mereka, dia menjawab, “Ini seperti menanyakan kepada pengantar surat, apa isi surat itu jika dia membuka surat tersebut,” katanya.


Sumber : KLIK

10 Desember 2010

Sosialisme Adalah Upaya Menuju Masyarakat Demokratis Sepenuhnya in



Marta Harnecker

Marta Harnecker diwawancarai oleh Edwin Herrera Salinas untuk suratkabar Bolivia, La Razón. Diterjemahkan oleh Yoshie Furuhashi dari MRZine.

Edwin Herrera Salinas: Apa karakteristik kaum kiri Amerika Latin saat ini?

Marta Harnecker: Dua puluh tahun lalu, ketika Tembok Berlin runtuh, sejauh mata memandang tidak terlihat akan ada revolusi. Namun, tidak lama kemudian mulai terdapat proses di Amerika Latin dengan Hugo Chavez. Kami telah membentuk pemerintahan2 yang programnya anti-neoliberal, walaupun tidak semuanya mempraktekan ekonomi neo-liberal.

Kami telah menciptakan kekuatan kiri baru. Mayoritas kemenangan tidak disebabkan oleh partai politik, kecuali pada kasus Partai Pekerja di Brasil. Umumnya, kemenangan disebabkan oleh tokoh-tokoh karismatik yang mencerminkan sentimen kerakyatan yang menolak sistem yang ada, atau, dalam banyak kasus, gerakan-gerakan sosial yang muncul dari perlawanan terhadap neoliberalisme dan yang menjadi basis dari pemerintahan2 baru tersebut.

Pemerintahan yang paling berupaya menjamin berlangsungnya proses perubahan menuju masyarakat alternatif merupakan pemerintahan yang didukung oleh rakyat-rakyat terorganisir, karena korelasi kekuatan yang ada tidaklah ideal. Kami memiliki musuh2 sangat penting yang masih jauh dari takluk. Ia disibukkan oleh perang Irak, tapi kekuatan imperium sangat kuat dan ia berupaya menahan proses yang tampaknya tak terhentikan.

Dan apa yang terjadi dengan pemikiran politik?

Yang terjadi adalah renovasi pemikiran sayap kiri. Ide-ide revolusi yang biasa kita perjuangkan pada tahun 1970an dan 1980an, dalam prakteknya tidak terwujud. Jadi, pemikiran sayap kiri harus membuka dirinya lagi kepada realitas baru dan mencari interpretasi2 baru. Ia harus mengembangkan kefleksibelan yang lebih untuk memahami bahwa proses2 revolusioner, contohnya, dapat dimulai dengan sekedar memenangkan kekuasaan administratif.

Transisi yang kita lakukan bukanlah transisi yang klasik, di mana kaum revolusioner merebut kekuasaan negara dan menciptakan sekaligus mengulangi segalanya dari situ. Kini kita mula-mula menguasai administrasi dan melangkah maju dari situ.

Apa menurut Anda kita sedang menunggangi gelombang revolusioner?

Saya rasa demikian, ya, kita sedang dalam proses semacam itu. Bahwa akan terjadi pasang surut, itu pun juga benar. Menarik melihat situasi di Chile. Di situ kita kalah, tapi itu merupakan salah satu proses yang paling tidak maju. Chile selalu menjaga hubungannya dengan Amerika Serikat; kaum kiri sosialis tidak mampu memahami hubungan penting yang kita miliki untuk merebut wilayah ini dan justru bertaruh pada kesepakatan2 bilateral.

Dalam era [kediktatoran] Augusto Pinochet, industri nasional dilucuti, dan kaum kiri tidak tahu bagaimana bekerja dengan rakyat. Kaum kiri berjalan sendiri untuk meraih kepemimpinan, ruang2 politik, kelas politik, sementara kaum kanan justru bekerja di tengah-tengah rakyat.

Menurut Anda apa peran Bolivia dalam konteks ini?

Saya di Bolivia setahun setengah yang lalu. Situasinya benar-benar berbeda saat itu: rakyat dalam perjuangan dan terdapat pertempuran-pertempuran lokal. Kini saya rasa Anda telah mencapai kemajuan besar, dalam hal menguasai ruang-ruang kekuasaan administratif.

Korelasi kekuatan dalam Majelis Legislatif Plurinasional, kekuatan2 separatisme yang terkalahkan, dan keberhasilan kebijakan2 ekonomi yang moderat dan cerdas telah mendemonstrasikan kepada rakyat bahwa, dengan nasionalisasi sumber2 daya alam dasar, adalah mungkin membangun program2 sosial dan membantu sektor-sektor yang paling tak terlindungi.

Ada juga faktor budaya, moral. Rakyat Bolivia seringkali merupakan mereka yang tidak muncul dalam statistik: rakyat yang merait harkat-martabanya. Di sini, itu seperti Kuba, saat banyak wartawan berharap untuk melihat keruntuhan sosialisme Kuba melalui efek domino, yang ternyata tak terjadi karena persoalan martabat lebih penting bagi rakyat Kuba dibandingkan pangan.

Saya mendengar perbaikan2 di Bolivia, namun masih terdapat kantong-kantong kemiskinan yang besar. Walau begitu, bahkan warga yang termiskin merasa bermartabat berkat tipe pemerintahan yang harus memahami, melihat gayanya Evo Morales, bahwa kekuatannya terletak pada rakyat terorganisir.

Bagi saya, itu menyimbolkan apa yang harus dilakukan pemerintahan kita saat menghadapi kesulitan. Bukannya berkompromi dan membalikan proses menuju pengambilan keputusan dari atas-ke-bawah (top-down), pemerintahan mendapat dukungan dari kekuatan rakyat terorganisir yang memberikan kekuatannya untuk terus melangkah maju. Kita harus memahami bahwa tekanan rakyat dibutuhkan untuk mentransformasikan negara, yang artinya kita harus tak boleh takut terhadap tekanan rakyat, kita tidak boleh takut hanya karena terkadang ada serangan terhadap penyimpangan birokratis oleh negara.

Lenin, sebelum wafatnya, mengatakan bahwa penyimpangan birokratis oleh negara telah sedemikian rupa sehingga gerakan rakyat berhak untuk melancarkan pemogokan untuk melawannya, demi menyempurnakan negara proletariat. Jenis tekanan-tekanan ini berbeda dari pemogokan destruktif. Gerakan sosial harus memahami peran konstruktif mereka dan, bila mereka berkeputusan untuk melancarkan tekanan, itu dilakukan untuk membangun, bukan untuk menghancurkan.

Anda meyakini bahwa rakyat Bolivia dapat memenangkan kekuasaan, bukan sekedar administrasi?

Saya yakin bahwa mereka akan seperti itu, sejalan dengan kemenangan2 mereka dan, yah, kekuasaan juga ada di tangan rakyat terorganisir. Sosialisme yang kita hendaki, yang dapat disebut sosialisme, komunitarianisme, kemanusiaan sepenuhnya, apa pun itu, merupakan upaya untuk mewujudkan masyarakat demokratis sepenuhnya, di mana individu dapat mengembangkan dirinya, di mana perbedaan dihargai, di mana, melalui praktek perjuangan, melalui transformasi, budaya-pikiran akan berubah.

Salah satu problem terbesar adalah kita berupaya membangun masyarakat alternatif yang mewarisi budaya individualis dan klientelis. Bahkan kader-kader terbaik kita dipengaruhi oleh budaya ini. Jadi, itu merupakan proses transformasi budaya. Manusia merubah dirinya melalui praktek, bukan oleh perintah.

Adalah perlu menciptakan ruang2, atau mengenali ruang2 yang sudah ada, untuk partisipasi, karena problem besar sosialisme yang gagal adalah rakyat tidak merasakan diri mereka sebagai pembangun masyarakat baru. Mereka menerima hibah, pendidikan, layanan kesahatan dari negara, tapi mereka tidak merasa bahwa mereka sendiri sedang membangun masyarakat tersebut.

Kelemahan apa yang Anda lihat dalam proses Bolivia?

Salah satu problem itu tercermin dari kepemimpinan kader yang biasa berpikir seperti ini: ketika kita meraih jabatan, kita akan berubah. Kita demokratis saat bekerja dalam gerakan, tapi ketika kita meraih jabatan, kita menjadi otoriter. Kita tidak memahami bahwa, dalam masyarakat yang hendak kita bangun, negara harus menggalakkan protagonisme rakyat (rakyat sebagai tokoh utama), bukannya mengubah begitu saja pengambilan keputusan yang mereka lakukan. Sering terjadi di beberapa pemerintahan sayap kiri: pejabat pemerintah berpikir bahwa tergantung kepada mereka lah segala upaya memecahkan masalah rakyat, bukannya memahami bahwa mereka harus memecahkan masalah bersama-sama rakyat.

Kalau pejabat pemerintahan kita bijaksana, mereka harus didorong oleh inisiatif rakyat agar rakyat dapat merasakan bahwa mereka sendiri lah melakukannya. Paternalisme negara, dalam membangun sosialisme, pada awalnya mungkin membantu, tapi kita harus menciptakan protagonisme rakyat.

Mungkinkah kelemahan ini berasal dari ketiadaan kader?

Tentu bisa. Dalam buku saya yang terbaru, gagasan ini dikembangkan dalam bab terakhir yang berjudul "El instrumento político que necesitamos para el siglo XXI" (Alat politik yang kita butuhkan untuk abad ke-21). Ide di balik istilah "alat politik" selalu tampak menarik bagi saya. Saya menekankan pada tahun 1999 agar kita menggunakan istilah "alat politik" karena "partai" dalam banyak kasus merupakan istilah yang terlalu banyak digunakan. Kita hendak menciptakan suatu agensi yang sejalan dengan kebutuhan masyarakat baru, bukannya menjiplak skema2 milik partai2 yang sudah usang.

Partai, dalam pengertian klasik, merupakan sekelompok kader yang, pada dasarnya, berupaya mempersiapkan diri untuk mengambil alih jabatan politik, memenangkan pemilu, dengan metode2 kerja yang kita jiplak dari Partai Bolshevik, yang demokratis, bukannya klandestin. Kita secara mekanis menerjemahkan struktur itu.

Hasil renovasi dari apa yang biasa menjadi partai politik kita, atau gerakan sosial yang berpartisipasi dalam konstruksi politik ini, kini merupakan alat yang dimiliki oleh gerakan sosial, seperti Gerakan Menuju Sosialisme (MAS) [di Bolivia] atau Pachakutik di Ekuador, yang merupakan alat-alat yang diciptakan sendiri oleh gerakan sosial.

Alat yang terdepan bukanlah partai -- ini beragam seperti halnya situasi yand ada -- melainkan front nasional kerakyatan. Tidak boleh dilupakan bahwa kita berasal dari suatu proses yang mana kaum kiri merupakan oposisi, bukannya dalam pemerintahan, dan salah satu hal yang kita pelajari, dengan tiap kemenangan pemilihan lokal atau nasional, adalah bahwa menjadi kiri dalam oposisi adalah suatu hal dan menjadi kiri dalam pemerintahan adalah hal yang lain.

Maka kita berpikir bahwa alat politik, apakah mereka front atau apa pun itu, harus merupakan kesadaran krisis terhadap proses yang ada. Apa yang sering terjadi, atau hampir sering, adalah muncul fusi antara kader di pemerintahan dan kader di partai. Ini disebabkan oleh kurangnya kader. Kita, sebagai suatu kelompok, di Venezuela sedang menggalakkan perlunya kritik publik yang menjadi peringatan. Bila terjadi penyimpangan, kita harus diberi kesempatan untuk mengritiknya.

Terdiri dari apa saja menurut pendapat Anda kritik publik itu?
,
Bahkan belum lama ini, kaum kiri, termasuk saya sendiri, berpikir bahwa kita harus mencuci pakaian kotor di rumah saja [menyembunyikan persoalan dari publik, pen.]. Di Kuba, contohnya, itulah yang selalu terjadi, dan ketika kita berbicara ke pers, dikatakanlah: "Dengar, hati-hatilah, jangan mengatakan hal-hal yang memberikan amunisi kepada musuh." Yang terjadi pada kenyataannya adalah penndidikan politik sangat terancam, bahkan di Kuba. Dengan kata lain, negara, wewenang politik, akan korup bila tidak ada yang mengontrolnya.

Maka, saya sangat yakin pada komunitas2 yang menjalankan kontrol. Tanpanya maka kemudahan memperoleh uang dan pejabat pemerintah, dengan berbagai rasionalisasinya, mulai berjalan terpisah, apakah itu menerima upah lebih besar, yang tidak sering terjadi, atau menerima banyak hibah.

Dalam wawancara Ignacio Ramonet dengan Fidel, Cien horas con Fidel Castro (Seratus jam dengan Fidel Castro), mantan presiden Kuba tersebut berkata: "Di negeri kami kritik dan oto-kritik dipraktekan dalam kelompok-kelompok kecil, namun itu telah melempem. Kita membutuhkan praktek kritik di ruang-ruang kelas, alun-alun publik... Musuh akan memanfaatkan itu, tapi revolusi akan diuntungkan darinya melebihi musuh.

Saya yakin bahwa pejabat pemerintah kita harus melihat kritik publik sebagai sesuatu yang sehat. Pastinya, norma-norma kritik harus diperjelas juga: contohnya, harus ada hukuman serius bagi kritik yang tanpa substansi, karena di Venezuela tuduhan korupsi digunakan terhadap musuh politik mana pun, banyak orang dihancurkan tanpa ada bukti.

Yang dibutuhkan adalah kritik yang fundamental, kritik yang memberikan proposal. Mudah saja mengritik, tapi apa proposalmu sendiri? Tiap individu yang mengritik harus memiliki proposal. Kalau tidak, apa gunanya? Juga, ruang-ruang internal harus digunakan sepenuhnya terlebih dahulu. Bila pemerintah terbuka dalam mendengar kritik dan mampu bertindak dengan segera, maka perlu untuk membawanya ke publik.

Harus ada kesadaran yang jelas di negeri kita bahwa, bila kau tidak berperilaku baik, seseorang akan membuka perilaku burukmu. Itu seperti tekanan moral. Sejarah kita menunjukan bahwa menjadi kiri tidak membuat kita jadi orang suci. Kita punya kelemahan, kita bisa melenceng.

Rakyat harus waspada, dan pemikiran intelek yang kritis sangat penting. Intelektual tidak mampu menengahi korelasi kekuatan: mereka memiliki skema mereka dan kadang utopia pada saat ini, walau demikian, mereka mencerminkan kemungkinan, dan sejarah sering menghasilkan itu. Kita berada dalam dunia informasi, dan tidak ada hal yang bisa disembunyikan. Kalau kita tahu seperti apa keadaan kita yang sesungguhnya, begitu pun dengan musuh.

Lebih baik bila kita lah yang menciptakan solusi terhadap problem; dengan begitu, kita melucuti senjata yang dapat digunakan musuh. Tampak oleh saya bahwa kritik publik baik buat kita, dan para pejabat kita harus lebih memahami bahwa, juga, karena terkadang mereka tak memahaminya; kritik publik akan sangat membantu proses yang ada, ia akan sangat manjur memerangi korupsi dan birokratisme. Siapa yang lebih mampu menyaksikan apakah sesuatu berjalan baik atau buruk selain pengguna jasa itu sendiri?

Contohnya, di suatu pabrik roti, siapa yang lebih baik menjadi pengawas (watchdog)selain orang-orang yang memakan rotinya dan mengetahui bagamana kerja pabrik roti. Dengan kata lain, rakyat harus memiliki suara dan kesempatan untuk membuat keputusan-keputusan lokal.

Adakah kesempatan untuk membicarakan isu kritik publik ini dengan pejabat pemerintah kami?

Saya belum bisa bicara dengan Evo. Saya akan berbicara mengenai itu dengannya sesegera mungkin. Bagaimana pun apa yang saya katakan ada dalam buku terakhir saya. Di Venezuela, saya ambil bagian dalam suatu kelompok yang berupaya menuju arah ini. Kami tidak begitu dipahami oleh banyak orang, tapi kami paham bahwa presiden harus memahaminya.

Kami sepakat dalam hal kritik publik, walau pun terdapat saat di mana seakan-akan kepala kita bisa copot. Kini tampaknya mereka memahami kami dan memberikan kami kemungkinan lain, dan saya rasa ini penting. Sosialisme abad ke-21 yang hendak kita bangun adalah masyarakat yang sangat demokratis sehingga tidak takut akan kritik.

Kami mengajukan kritik publik atas jerih payah, bukan atas kebencian atau kehendak untuk menghancurkan. Kami melakukannya karena kami menghendaki suatu masyarakat di mana proses revolusioner menang, dan ketika kami melihat kekurangan2, itu menyakiti kami, karena kami hendak membangun sesuatu yang lebih baik. Ini tidak sama dengan kritik sayap kanan yang mencari-cari kelemahan kita untuk menghancurkan kita. Tidak. Kita mengritik untuk menjadi konstruktif, untuk memecahkan persoalan.

Hal paling luar biasa yang terjadi pada kami adalah, ketika kami melakukan kritik publik di Venezuela, rakyat merasa benar-benar diwakili oleh kami, sekelompok kritikus, karena itulah yang mereka rasakan namun tidak tahu bagaimana mengekspresikannya.

Siapa yang diuntungkan dari kritik publik?

Ketika saya menjabat editor jurnal politik Chile Hoy (Chile hari ini), saya melakukan semacam kritik publik. Kadang2 kritik intelektual atau wartawan tak disukai karena kami terkadang sedikit arogan. Tapi di Chile Hoy, kami berikan mikrofon kepada rakyat terorganisir dan mengomunikasikan apa yang mereka lihat sebagai sesuatu yang melenceng dari proses. Jurnal kami juga memuat komunike pemerintah, tapi semangat saya adalah mengangkat opini para buruh tambang tembaga dan organ-organ kekuasaan buruh (cordones industriales).

Jadi, saya bahagia saat mendengar Evo Morales mengatakan, dalam wawancaranya dengan Walter Martinez dari TeleSur, bahwa adalah penting untuk belajar mendengar, karena terkadang pejabat pemerintahan tidak mendengar atau mendengar hanya dari mereka yang di sekelilingnya, yang dapat menyebabkan pejabat pemerintah mendapatkan gambaran salah tentang negeri itu.

Saya tak tahu apa ini terjadi di negeri ini, tapi di Venezuela, ketika Chavez mengumumkan bahwa ia akan mengunjungi suatu tempat, mereka mempercantik jalanan dan rumah-rumah yang akan dilalui presiden, atau menyalakan AC di sekolah2 yang akan ia kunjungi, dan kemudian, di keesokan harinya, mereka datang lagi untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Hanya rakyat terorganisir dan suatu masyarakat yang terbuka akan kritik yang dapat menghentikan hal-hal seperti ini.

Apakah kritik publik bisa diterima?

Saya senang berargumen dalam topik ini. Tapi bila ada kawan-kawan yang berpikir bahwa ini salah, saya senang mendengar dari mereka kenapa begitu. Tapi saya tahu pengalaman sejarah. Anda tahu Mao Zedong, selama hidupnya, kuatir dengan penyimpangan birokratis dan korupsi. Ia mengorganisir enam atau tujuh kampanye yang tidak membuahkan hasil karena orang-orang yang memimpinnya berasal dari aparat partai. Mereka birokrat yang mencoba melakukan sesuatu tanpa mendapat kritik.

Kemudian datanglah Revolusi Budaya, yang menjadi bukaan bagi kritik publik; tapi kemudian ada sebuah buku yang ditulis oleh seorang Tionghoa yang menjalani Revolusi Budaya kemudian pergi ke AS dan kembali lagi ke Tiongkok. Buku itu memiliki analisa tentang bagaimana sektor-sektor dalam partai mengambil kata-kata pimpinan secara ekstrim, mengkarikaturkan pemikirannya, dan memungkinkan itu ditolak. Mereka melakukan hal-hal yang mengerikan, seperti memotong rambut orang-orang. Merekalah yang hendak menghancurkan proses.

Inilah mengapa harus ada norma-norma yang jelas: kita tak boleh melakukan kritik anarkis, yang destruktif. Saya belajar dari kelompok komunitas Venezuela yang mengundang saya untuk suatu pertemuan, ketika mereka mengatakan kepada saya: "Tidak seorang pun berhak untuk bicara atau mengajukan usulan kecuali orang tersebut bertanggung jawab terhadap proposal itu. "Ini mengenyahkan pembual-pembual yang senang bicara terus menerus dalam rapat namun tidak pernah melakukan apa pun.

Sifat mulia yang dimiliki Che, melebihi perang gerilyanya dan keberaniannya di hadapan imperialisme, adalah kekonsistenan antara pikiran dan tindakan. Dan itu, contohnya, adalah yang membuatnya menarik bagi pemuda-pemudi di Eropa. Saya terkesima ketika pergi ke Eropa untuk peringatan Che tahun 1987, melihat betapa ia begitu digemari oleh kaum muda. Rahasianya bukanlah karena mereka senang menjadi gerilyawan juga, tapi kekonsistenan antaran pikiran dan tindakan yang dimiliki Che.

[Marta Harnecker Cerdá, lahir di Chile, ialah seorang sosiologis dan pendidik kerakyatan. Ia telah menerbitkan lebih dari 80 buku. Fokus dari karya2nya saat ini adalah sosialisme abad-21 dan mengorganisir rakyat berkuasa. Bukunya yang paling banyak dibaca adalah Los conceptos elementales del materialismo histórico (Konsep Fundamental Materialisme Historis). Pada 2008, ia menulis buku tentang Gerakan Menuju Sosialisme (MAS-IPSP) yang ada di Bolivia, alat politik yang dipimpin Evo Morales, yang muncul dari gerakan sosial. Sejak 1960an, ia telah berkolaborasi dengan gerakan sosial dan politik di Amerika Latin. Kini ia menjadi penasehat untuk pemerintah Venezuela. Wawancara aslinya berjudul "'Hay que tomar en cuenta la crítica pública, conviene y ayudaría al proceso'" diterbitkan olehLa Razón pada 28 Maret 2010. Diterjemahkan oleh Yoshie Furuhashi untuk MRZine.]

-------------------------------------------------------------------------------------
Diambil dari Links.org.au
Diterjemahkan oleh NEFOS.org
-------------------------------------------------------------------------------------

Perfect Day

BTricks


ShoutMix chat widget

Pengunjung

PENGUNJUNG

free counters