TRIPANJI PERSATUAN NASIONAL

1. HAPUSKAN HUTANG LUAR NEGERI 2. NASIONALISASI INDUSTRI ASING 3. INDUSTRIALISASI NASIONAL

13 Desember 2010

Percayalah Pada Benarnya Nasakom! (Bagian Pertama)


Kita sekarang ini sudah hampir dua puluh tahun merdeka, 17 Agustus’ 45 kita mengadakan proklamasi dan insya Allah 17 Agustus tahun ini kita akan dua puluh tahun merdeka. Dan kemerdekaan itu adalah hasil dari perjuangan yang bukan dua puluh tahun, tetapi hasil dari perjuangan yang lebih panjang dari dua puluh tahun itu, tergantung dari cara kita menghitungnya; bisa dikatakan sekian puluh tahun, bisa dikatakan sekian ratus tahun.

Kalau kita sekadar mulai dengan tahun 1908, permulaan kita mengadakan organisasi modern, pergerakan, yaitu dengan berdirinya Budi Utomo, maka antara tahun ‘08 dan ’45 adalah 37 tahun. Tetapi jikalau kita hitung dari sejak sultan angung, Sultan Agung dari Mataram, sebab ada dua Sultan Agung , ada Sultan Agung dari Mataram, Yogyakarta, ada Sultan Agung dari Banten, dua-duanya pejuang; Sultan Agung dari Yogya itu dinamakan hajejuluk, menamakan diri Sultan Agung Hanyokrokusuma atau Sultan Agung Cokrokusumo; Sultan Agung yang dari Banten menamakan diri Sultan Agung Tirtayasa, beliau akan membuat kolam Indah. Pembuat kolam indah, maka beliau menamakan diri Sultan Agung Tirtayasa. Jika kita hitung perjuangan kita untuk mencapai kemerdekaan sejak saat-saat Sultan Agung Hanyokrokusumo menggempur Jakarta atau Sultan Agung Tirtayasa menggempur Jakarta, maka perjuangan kemerdekaan kita itu lebih dari tiga abad. Sultan Agung dua itu diikuti oleh pejuang-pejuang yang lain, oleh Suropati, Joko Untung Suropati, diikuti oleh Trunojoyo, diikuti oleh Sultan Hasanuddin, diikuti oleh Diponegoro, diikuti oleh Tuanku Imam Bonjol, diikuti oleh Teuku Umar, atau Teuku Cik Ditiro, diikuti oleh Pattimura, diikuti oleh gerakan kita yang terkenal di abad ke-20 ini; maka total perjuangan kita lebih dari tiga abad dan baru pada tanggal 17 Agustus ’45 kita dapat mengadakan proklamasi kemerdekaan.

Pernah saya kupas, apa sebab perjuangan-perjuangan yang terdahulu, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan Agung Tirtayasa, Suropati, Trunojoyo, Hasanuddin, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Dipenogoro, dan lain-lain gagal, apa sebab tak berhasil mengusir kekuasaan Belanda atau imperialis Belanda dari Indonesia.

Maka jawaban saya selalu ialah, oleh karena Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan Agung Tirtayasa, Trunojoyo, Suropati, Hasanuddin, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Tuanku Imam Bonjol, Diponegoro dan lain-lain sebagainya itu, perjuangannya sudah didasarkan atas persatuan dan kesatuan perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Betapa hebatnya pun Diponegoro menjalankan ia punya perjuangan, ia tidak berhasil memerdekakan Indonesia, oleh karena perjuangannya hanya disandarkan atas kekuatan rakyat di pulau Jawa saja. Bagaimanapun Sultan Hasanuddin berjuang—demikian hebatnya sehingga Cornelis Speelman menamakan dia “de jonge haan van her Oostern,” ayam jantan muda di alam timur. Notabene ayam jantan muda itu juga salah satu titel dari seorang raja kita yang hebat, yaitu Hayam Wuruk, majapahit. Hayam wuruk artinya ayam jantan muda; Speelman menamakan Sultan Hasanuddin : “de jonge haan”— tetapi toh perjuangannya tidak berhasil, tidak berhasil mengusir Belanda, oleh karena tidak disandarkan atas seluruh Rakyat Indonesia. Demikian pula Teuku Umar, demikian pula Tuanku Imam Bonjol, demikian pula lain-lain pahlawan kita. ini harus menjadi pelajaran bagi kita, pelajaran yang sudah ditarik oleh kita menentang imperialism, perjuangan kita memerdekakan Indonesia harus disandarkan atas persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia seluruhnya, dengan tidak mengenal suku, tidak mengenal agama, tidak mengenal waktu.

Kita pada hari ini memperingati hari lahirnya Pancasila, 1 Juni 1965. Ya, memang pada tanggal 1 Juni 1945, dus sebelum kita mengadakan proklamasi Kemerdekaan Indonesia, saya telah membuat pidato mengusulkan Pancasila kepada pemimpin-pemimpin Indonesia, agar supaya Pancasila itu dijadikan dasar Negara Indonesia Merdeka. Dan, saudara-saudara, tatkala saya memikir-mikirkan apa yang akan aku usulkan ke hadapan para pemimpin rakyat Indonesia, satu hal yang menjadi pegangan teguh bagi saya, yaitu bahwa Persatuan Indonesia, kesatuan Indonesialah, pokok dari segala pokok. Kita hendak mengadakan Indonesia Merdeka pada waktu itu , dan pada waktu itu, sebelum aku mengadakan Pidato Pancasila, telah menjadi keyakinan di dalam kalbuku, keyakinan, ilmu-yakin, ainul-yakin, hakkul-yakin, bahwa kemerdekaan kita yang akan datang itu hanya dapat dipertahankan abadi, jikalau kemerdekaan kita itu didasarkan atas kesatuan bangsa Indonesia.

Lebih dahulu aku memberi penjelasan. Ini saya melihat beberapa mata dari wanita-wanita itu—tatkala aku menyebutkan ilmu-yakin, , ainul-yakin, hakkul-yakin—-kelihatan bersinar-sinar, tetapi mengandung pertanyaan. Apa bedanya ilmu-yakin, , ainul-yakin, hakkul-yakin? hakkul-yakin itu keyakinan yang sudah seyakin-yakinnya sepanjang pikiran, sepanjang ‘ilm, sepanjang ilmu. Tempo hari disini saya pernah melukiskan sebagai berikut: aku berdiri disini, umpamanya aku berdiri disini, tidak ada gedung ini, aku berdiri disini, kemudian dibelakang kampung sana itu aku melihat asap mengepul, dibelakang kampung sana aku melihat asap mengepul. Ilmuku, pikiranku berkata, tidak ada asap kalau tidak ada api, dus aku yakin, bahwa di belakang kampung itu ada api; tetapi keyakinanku itu sekadar hasil dari ‘ilm, pikiran, ilmu. Dengan Ilmu-yakin aku berani mengatakan, bahwa di belakang kampung itu ada api.

Tapi mungkin, ya mungkin, matakulah yang salah, mataku sedang menderita penyakit yang dinamakan penyakit hallucinatie, hallucinatie melihat barang tetapi sebetulnya tidak ada. Mengira melihat asap, tetapi sebetulnya tidak ada, sebagaimana orang di padang pasir jikalau panas sepanas-panasnya dan dia sedang menderita dahaga, huh, matanya melihat di tepi langit itu seperti ada telaga, dia mengira disana ada telaga, padahal tidak ada, wong padang pasir. Tetapi dia punya mata melihat telaga. Itu yang biasa dinamakan Fatamorgana. Jadi si orang itu melihat fatamorgana, fatamorgana, bahwa ditepi langit sana itu ada telaga, air sejuk dan dia yang menderita dahaga itu bukan main, ya, ingin meminum air telaga itu, terus dia lari kesana, tetapi lari punya lari, tidak ada telaga air sejuk disana itu.

Nah, saya pindahkan kepada tamsilku itu tadi. Meskipun aku melihat asap di belakang kampung, mungkin matakulah yang salah, mungkin mataku melihat asap seperti orang itu di padang pasir melihat talaga, tetapi sebenarnya tidak ada asap, sehingga keyakinanku bahwa di belakang kampung itu api— sebab akalku berkata ada asap ada api, sehingga keyakinanku di belakang kampung itu ada api —adalah sebenarnya keyakinan yang salah, sehingga ilmul-yakin itu satu keyakinan yang bertaraf paling rendah.

Kemudia ainul-yakin. Aku melihat asap di belakang kampung dan aku berkata di sana itu tentu ada api, ilmul-yakin. Tetapi aku berjalan, aku pergi ke sana, pergi ke belakang kampung itu, ee, benar-benar aku melihat api. Bukan hanya aku melihat asap, aku melihat api, dan sekarang aku berkata, dengan ainul –yakin aku boleh berkata bahwa ada api, seba aku melihat api. Tadi aku sekedar melihat asap, sekarang aku melihat api, aku pergi ke belakang kampung, aku melihat api; benar ilmiah tadi itu benar, yah, ini ainul-yakin. Di belakang kampung itu ada api, karena mataku melihat api.

Tapi keyakinan ini, nomor dua ini masih bisa salah, mungkin mataku yang masih salah, mataku yang tadi melihat asap, masih kabur, sekarang mengira melihat api, padahal bukan api. Ainul-yakin lebih tinggi tarafnya daripada ilmul-yakin, tetapi belum keyakinan yang setinggi-tingginya, sebab mungkin mataku masih salah. Sekarang singsingkan kupunya lengan baju. Aku melihat api, aku masukkan tanganku kepada barang yang aku sangka api itu, oo panasnya bukan main, betul-betul ini api, jadi bukan penglihatan matuku saja, tetapi benar-benar ini api sebab tanganku terbakar. Hakkul-yakin, ini api. Nah, saudara-saudara, sudah mengerti sekarang perbedaan antara ilmul-yakin, ainul-yakin, hakkul-yakin?

Nah, pada waktu aku keesokan harinya hendak mengucapkan pidato di hadapan sidang pemimpin-pemimpin seluruh Indonesia untuk mengusulkan dasar-dasar Negara, pada waktu aku telah hakkul-yakin bahwa kemerdekaan hanya dapat dipertahankan abadi dan kekal, sekali merdeka tetap merdeka, jikalau didasarkan atas persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia, maka aku mohon lebih dari ke- hakkul-yakin- an. Dan aku telah pernah ceritakan di sini, malam-malam itu aku keluar dari rumah—rumah yang kudiami pada waktu itu, yaitu Pengangsaan Timur 56, yang sekarang menjadi Gedung Pola— pada waktu itu aku keluar dari rumah, pergi ke belakang rumah, dan aku menengadahkan wajah mukaku dan hatiku kepada Allah SWT. Beribu-ribu bintang gemerlapan pada waktu itu, bintang bulan Mei/ Juni yang sedang tiada hujan tiada awan, angkasa bersih, beribu-ribu bintang di langit dan aku menekukkan lutut (Presiden menangis tersedu-sedu—red.), maaf… kalau aku ingat ini selalu aku terharu. Ya Allah, ya Rabi: aku tekukkan lututku, aku menengadah ke langit, aku kirimkan permohonanku dibalik, di belakangnya bintang yang beribu-ribu itu kepada Alla SWT : Ya Tuhan, ya Allah ya Rabi, berikanlah ilham kepadaku. Besok pagi aku harus berpidato mengusulkan dasar-dasar Negara Indonesia Merdeka. Pertama, benarkah keyakinanku, ya Tuhan, bahwa kemerdekaan itu harus didasarkan atas persatuan dan kesatuan bangsa? Kedua, ya Allah ya Rabi, berikanlah petunjuk kepadaku, berikanlah ilham kepadaku, kalau ada dasar-dasar lain yang harus ku kemukakan. Apakah dasar-dasar lain itu?

Sesudah aku memohon yang demikian, saudara-saudara, aku masuk lagi ke rumah, berbaring di tempat pembaringan, menenangkan aku punya pikiran dan aku tertidur. Dan, saudara-saudara, tatkala pagi-pagi aku banging, aku telah mendapat ilham : Pancasil. Ilha itu, saudara-saudara, bisa diberikan oleh Tuhan kepada siapa pun, bukan hanya kepada Nabi, tidak. Yang diberikan kepada Nabi aadallah Wahyu, kalau kepada manusia biasa, setiap-tiap manusia bisa mendapat ilham. Engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham— yang “silo,” anak kecil itu—engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, Yo Chairul Saleh bisa mendapat Ilham, engkau Jeng Sukahar bisa mendapat ilham, engkau saudariku dari Sulawesi Selatan bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, kita semuanya bisa mendapat ilham, yaitu pikiran yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Seperti kukatakan tadi tatkala aku pagi-pagi tanggal 1 Juni bangun hendak sembahyang subuh, pada waktu itu aku telah mendapat ilham, pikiran yang nanti akan aku usulkan di hadapan rapat para pemimpin, ialah Pancasila. Dan nomor satu, oleh karena aku mendapat ilham itu karena kau mohon kepada Allah SWT, aku taruh sebagai sila yang pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua Kebangsaan Indonesia, Persatuan bangsa Indonesia, tersebar diatas kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, persatuan yang kompak sekompak-kompkanya. Kemudian baru yang lain-lain, saudara-saudara, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Pancasil, saudara-saudara, saya usulkan kepada sidang pada tanggal 1 Juni itu dan syukur Alhamdulillah diterima dengan segera, sekaligus oleh sidang.

Saya cerita, ya. Siapa yang paling pertama di antara hadirin dan hadirat pada waktu itu yang mengusulkan agar Bung Karno diterima? Almarhum Ki Hajar Dewantara. Padahal tadinya, tadinya sebelum aku, almarhum Ki Hajar Dewantara juga bicara dan mengusulkan beberapa dasar lain. Sebelum aku pidato itu ada pemimpin-pemimpin lain berpidato, almarhum Ki Bagus Hadikusumo berpidato, Ki Hajar Dewantara berpidato, Bung Hatta, Mohammad Hatta berpidato, banyak lagi berpidato, mengusulkan dasar-dasar, kemudian dipersilahkanlah Bung Karno berpidato. Pada waktu itu yang memegang palu ialah almarhum Dr. Rajiman Wedyodiningrat, yang sudah mangkat. Dr. Rajiman Wedyodiningrat. Sesudah lain-lain pemimpin berpidato, maka sekarang Bung Karno dipersilahkan berpidato, dan pada waktu aku mulai berpidato itu, aku sekali lagi mengucap Bismillah, Bismillah, oleh karena aku merasa bahwa apa yang aku katakab nanti ialah ilham yang Tuhan berikan kepadaku (Presiden terharu dan tersedu-sedu—Red). Bismillah, aku anjurkan : Pancasila. Dan sesudah aku pidato, Ki Hajar Dewantara minta bicara, dan beliau mengajurkan kepada seluruh sidang: saudara-saudara sekalian, mari kita terima seluruhnya apa yang diusulkan oleh Bung Karno ini. Sejak dari saat itulah, saudara-saudara, Pancasila resmi menjadi dasar Negara Indonesia yang akan kita proklamirkan.

17 Agustus ’45 datang, proklamasi kemerdekaan diucapkan juga di Penganggsaan Timur 56. 18 Agustus ’45, satu hari kemudian diadakan lagi sidang seluruh pemimpin Indonesia dan di situ ditetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang kemarinnya diproklamirkan itu. Undang-undang Dasar Republik Indonesia disahkan pada tanggal 18 Agustus ’45 dan di dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar itu —Undang-undang Dasar ’45, Undang-undang Dasar yang kita kenal semuanya—tertulisah dengan nyata unsur-unsur Pancasila itu, saudara-saudara. Dan berkat Pancasila itu, saudara-saudara, sampai hari ini Alhamdulillah Republik Indonesia masih berdiri teguh, meskipu Republik Indonesia ini dicoba oleh musuh dihancurkan dengan macam-macam jalan; dicoba dihancurkan dengan aksi militer yang kedua, tahun ’48, dicoba dengann subversi macam-macam, dicoba dengan pemberontakan-pemberontakan PRRI/Permesta dan RMS, dicoba dengan segala hal, tetapi Republik Indonesia tetap berdiri kuat, karena Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.

Dan, saudara-saudara, di dalam pidatoku waktu aku menganjurkan Pancasila itu, aku juga telah berkata : Pancasila dapat kita peras menjadi tiga, Trisila : Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme, Sosio-demokrasi. Tiga. Kalau kita persatukan Kebangsaan dengan Perikemanusiaan—sila dua dan sila tiga kita peras menjadi satu—menjadilah ia Sosio-nasionalisme, dan jikalau kita peras sila keempat, Kedaulatan Rakyat dengan sila kelima, Keadilan Sosial, perasannya itu menjadi Sosio-demokrasi, sehingga perasan dari lima ini menjadi tiga: Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi. Tetapi aku lantas berkata kepada sidang, barangkali tuan-tuan toh belum senang kepada angka tiga, barangkali tuan-tuan senang kepada kepada angka satu, wahai, kataku, peraslah tiga ini menjadi satu, menjadi Ekasila—Eka artinya satu—dan apakah Ekasila itu? Ekasila itu adalah gotong-royong. Negara Republik Indonesia berdasarkan gotong-royong, gotong-royong seluruh rakyat Indonesia, gotong-royong rakyat di Sabang sampai rakyat di Merauke. Dan aku ulangi, saudara-saudara, dengan prinsip gotong-royong ini, dengan kenyataan gotong-royong ini, kita makin lama makin kuat.

*) Amanat–Indotrinasi Presiden Soekarno, pada pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom, 1 Juni 1965, di Istora Senayan, Jakarta.


Sumber : klik

0 komentar:

Posting Komentar

Segala kritikan, cacian , makian dsb selalu diterim kirim juga pesan tau call : 0812 6034 7147 / 0819 3426 3185

Perfect Day

BTricks


ShoutMix chat widget

Pengunjung

PENGUNJUNG

free counters