Oleh : Ir. Soekarno
Dan ini saudara-saudara, terus terang saja, ini yang ditakuti, ditakuti oleh musuh kita. Sudahlah jelas kepada saudara-saudara, bahwa perubahan sikap musuh kita itu karena konfrontasi politik kita? Dulu kita laksana dikentuti saudara-saudara, -maaf perkataan saya ini-oleh musuh kita. Tatkala kita tidak menyusun macht dan tidak akan menggunakan macht, tidak menjalankan machtvorming, tidak menjalankan machtsaanwending. Tatkala kita menyandarkan diri kita kepala hanya diplomasi, tatkala kita menyandarkan diri kita kepada anggar-lidah saja. Tatkala kita menyandarkan diri kita kepada PBB, kita selalu dikentuti oleh kaum imprealis. Bukan saja imprealis Belanda, tetapi imprealis, imprealis, imprealis seluruh dunia saudara-saudara. Boleh dikatakan mengkentuti kepada kita-maaf kalau saya memakai perkataan ini. Tetapi tidak ada lain gambaran yang lebih jelas daripada perkataan ini. Tetapi sikap ini saudara-saudara, sikap mereka ini berubah sudah, sesudah kita mengadakan konfrontasi politik, bahkan saudara-saudara konfrontasi politik ini harus memuncak lagi kepada benar-benar machtsaanwending.
Didalam pidato saya kepada saudara-saudara yang hadir pada peresmian pembukaan Subcritical Anatomic Reactor di Yogyakarta, saya sudah berkata : kata dulu, kemudian pukir, sekarang harus bertindak. “Woord, gedachte, daad”. Kata, pikir, tindak. Sekarang kita disini saudara-saudara, tindak, tindak, sekali lagi tindak, dan ini yang ditakuti oleh musuh kita.
Gubernur Belanda di Irian Barat, namanya Plattel saudara-saudara, Plattel, pernah dia berpidato….itu kan Cuma “bluff” saja. Hhh, Indonesia menjalankan itu tenaga politik, akan memasukkan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaannya, dengan betul-betul kekerasan. Satu minggu kemudian saudara-saudara, Plattel berkata lagi, bahwa dia akan mengungsikan orang-orang Belanda dari Irian Barat. Lho….bahwa Indonesia cuma gertak sambel yang besar.
Saya pernah juga diplakati satu Negara tetangga, dekat sini, diplakat tidak tahu siapa yang mlakat barangkali ya Belanda mlakat. Bunyinya plakat itu, “Soekarno bohong besar”. Saya tanya kepadamu apa saya bohong besar saudara-saudara !! (Tidak, jawab hadirin-red). Tidak, ini boleh dicatat dan dikatakan kepada pemerintah-pemerintahnya, bahwa Soekarno disini benar-benar menjadi penyambung lidah daripada rakyat Indonesia. Bukan dia cuma “bluff”.
Kita benar-benar saudara, tidak main-main didalam hal ini, dan saya keluarkan, sudah saya sambungkan dengan pidato saya membuka Subcritical Atomic Reactor pun sudah saya keluarkan, sudah saya sambungkan dengan pidato yang ilmiah. Karena Subcritical Atomic Reactor adalah satu hal ilmiah yang mengenai atom dan lain-lain sebagainya, dan oleh karena duduk disitu professor-profesor, mahasiswa-mahasiswa, saya gambarkan bahwa ada satu hukum didalam ilmu fisika itu dinamakan hukum Maxwell. Hukum Maxwell, orangnya yang mendapatkan hukum itu bernama Maxwell adalah begini, coba hebat apa tidak. Dan saya punya maha guru pada waktu itu memang dia dengan tepat berkata, dalam bahasa asing, “de geweldige wet van Maxwell”, wet hokum Maxwell yang hebat, maha hebat ini katanya. Bagaimana itu hukum Maxwell? Begini : kalau ton; saya tekan, karena tekanannya satu ton ini serambi muka daripada Istana Merdeka satu kilometer dari sini, bergerak satu kilometer. Saya tekankan disini dengan 1 ton, 1000 kilogram, disana bergerak satu kilometer. Maka sebaliknya, jikalau saya diserambi muka Istana Merdeka menekan disana dengan berat satu ton, microphone ini juga bergerak satu kilometer. Satu ton disini, sana 1 meter bergerak. Satu ton disana, satu millimeter disini bergerak. Ini adalah hukum Maxwell yang hebat, yang maha hebat. “Dit is de geweldige wet van Maxwell”.
Didalam pidato saya tarik terus garis, garis diatas politik moral. Moralitteit politiek. Saya adakan hukum Maxwell didalam moralitteit politiek. Artinya, jikalau pihak Belanda menjalankan kekerasan kepada Belanda di Irian Barat.
Hukum timbal balik. Yang sudah diterangkan oleh Bapak Menteri Luar Negeri Soebandrio—ada pak Soebandrio disini. Ada….duduknya wa dekat bu Subandrio.
Saudara Subandrio di PBB dengan jelas berkata, Irian Barat itu wilayah kita. Wilayah kita, oleh karena itu—saya sambung sebentar, saya selalu berkata—janganlah berkata memasukkan Irian Barat kedalam wilayah Republik. Itu perkataan adalah salah. Oleh karena Irian Barat sudah wilayah Republik, tidak perlu dimasukkan dalam wilayah Republik lagi. Saudara-saudara, masih ada saja yang berkata, ya masukkan Irian Barat kedalam wilayah Republik. Tapi Belanda menduduki wilayah itu dengan kekerasan senjata. Belanda disana mempergunakan ia punya meriam, mempergunakan ia punya militairemacht, mempergunakan ia punya pedang dan mesiu, menduduki wilayah kita.
Nah, lantas pak Bandrio berkata kepada PBB, jikalau PBB, membenarkan pihak Belanda menduduki wilayah kita dengan kekerasan senjata, dia berkata, illegale occupatie. Ya itukah occupatie daripada wilayah kita, malahan juga illegale occupatie, yaitu tidak menurut hukum, dengan kekerasan senjata.
Nah, maka oleh karena itu, jikalau Gubernur Plattel berkata, hh…bluff, ya, dengan tandas saya berkata, jangan anggap ini “bluff” saudara-saudara. Tetapi disini tempatnya saya tandaskan sekali lagi sebagai dikatakan oleh pak Bandrio juga, jikalau Belanda ia meneruskan punya niat untuk mendirikan Negara Papua, kita akan mempergunakan kekerasan untuk membatalkan perkataan itu. Karena itu, saya memberi komando, hayo gagalkan pendidirian Negara Papua, hayo kibarkan bendera Sang Merah Putih di Irian Barat dan didalam pidato saya pada hari ibu atau pada saya sudah lupa—saya tandaskan sekali lagi, sekali, sekali lagi, sekali lagi, juga kepada diplomat-diplomat asing, jangan mencoba mengajak kita, “persuade” untuk berunding dengan Belanda “ins Blaue hincin”. Berunding dengan Belanda tanpa dasar. Saya dengan tegas berkata, kita hanya bersedia berunding atas dasar penyerahan kekuasaan daripada tangan Belanda kepada Indonesia.
Yah, katan pada pemerintah-pemerintah saudara-saudara. Tegas bung Karno, Presiden Soekarno berkata kepada kami, jangan mencoba untuk persuade Indonesia. Persuade itu apa ? Membujuk Indonesia, mengajak Indonesia untuk mau berunding dengan Belanda “ins Blaue hincin” atas dasar apa, tidak terang. Hooo, ini saya tahu anjurkan sekarang ini dan pihak Belanda pun sudah menerangkan mau berunding dengan Indonesia tanpa dasar. Dan kita berkata dengan tegas, kita tidak mau berunding atas dasar penyerahan kekuasaan.
Kan sudah terang saya ucapkan dalam pidato RE-SO-PIM, dalam pidato Beograd dimuka konfrensi Non Aligned Nations, dimuka mahasiswa-mahasiswa di Tokyo, dengan tegas saya katakana, bahwa kita sudah mengulurkan tangan; mengulurkan tangan bagaimana? Dulu saudara-saudara, saya ulangi lagi biar terang gambling juga untuk Duta Besar-Duta Besar, dulu selalu kita berkata, eh mau bicara tentang kedaulatan. Saya sudah berkata, saya sekarang tidak akan bicara tentang kedaulatan. Saya mau bicara menuntut penyerahan administration, penyerahan kekuasaan, penyerahan pemerintahan di Irian Barat kepada kita. Ini uluran tangan saya. Malahan uluran tangan saya ini tidak saya tujukan kepada sekadar PM de Quay, tidak sekadar saya tujukan kepada Menteri Luar Negeri Luns, tidak saya tujukan kepada siapa pun juga, saya tujukan kepada seluruh rakyat Belanda di Nederland. Saya mengulurkan tangan, hayo serahkanlah pemerintahan atas Irian Barat kepada Indonesia, but we shall be good friends.
Tegas bagi kaum diplomat disini, jangan coba persuade kita untuk berunding dengan Belanda “ins Blaue hincin”. Dan jangan mencoba kita untuk suka menerima ide “self-determination”. Ide penentuan nasib sendiri sebagai yang digembor-gemborkan oleh Luns dan sebagai diulang-ulang sampai sekarang oleh pihak Belanda. Bahwa ia mau berunding dengan Indonesia tetapi atas dasar “self-determination”. Kan sudah saya terangkan dengan jelas, “self-determination” itu ada dua, “external self-determination”, “internal self-determination”. “self-determination” yang dipaksakan dari luar itu “external self-determination”. “internal self-determination” yang keluar dari kita sendirildan kita menolak “external self-determination” ini, oleh karena itu kita mengetahui bahwa “external self-determination” adalah tak lain dan tak bukan ialah neo-kolonialisme, neo-imprealisme, tipu muslihat mentah-mentahan.
Dengan tegas saya katakana, kita sudah mengalami, sudah mengalami “external self-determination”. Tatkala Van Mook misalnya, misalnya mengadakan he dengan rakyat Madura, “self-determination” rakyat Madura, bicara dengan haa terjadilah Negara Madura. Zoogemaamd bicara dengan Dr. Mansur, katanya, inilah rakyat Sumatra Timur, bicara, bicara, bicara “self-determination” Sumatra Timur, terjadilah Negara Sumatra Timur. Bicara, bicara, bicara “self-determination” dengan beberapa orang pemimpin dari Pasundan, dikatakan inilah “self-determination” rakyat Pasundan, terjadilah Negara Pasundan. Bicara dengan beberapa glintir orang Jawa Timur dikatakanlah inilah “self-determination” rakyat Jawa Timur, jadilah Negara Jawa Timur. Demikian pula bicara-bicara dengan orang-orang dari Indonesia Timur. Malahan, nah ini malahan dia berkata, tatkala di Denpasar dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada maksud dari pihak Belanda untuk exclude, mengeluarkan, mengecualikan Irian Barat daripada penyatuan dengan seluruh bangsa Indonesia. Jelas yang dikatakan Van Mook di Denpasar. Malahan sebagai tahapan pertama Irian Barat itu dijadikan residentie Nieuw Guines, Resindentie Nieuw Guines dan perkataan residentie ini berarti bahwa kelak akan geincorporeerd dengan seluruh bangsa Indonesia.
Tetapi pada waktu itu Van Mook berkata, inilah “self-determination” daripada rakyat Indonesia Timur, terjadilah Negara Indonesia Timur.
Kita mengenal, kami mengenal, he tuan-tuan besar dari Negara-negara asing, kami mengenal “self-determination” itu, kami tolak dengan tegas “self-determination”, apalagi sebagai yang diusulkan oleh Luns. Dan didalam hal ini kami juga berkata, “please, please, please don’t tray to persuade us to accept self-determination for the people of Irian Barat”. Jangan mencoba mengajak kita, membujuk kita agar supaya kita mau menerima “self-determination” Irian Barat, bahwa kita harus menerima, bicara, bicara dengan Belanda atas dasar juga “self-determination”, tidak ! Dengan tegas kita berkata, dan saya sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia, sebagai Presiden Republik Indonesia, sebagai Panglima Tertinggi daripada seluruh Angkatan Perang Republik Indonesia, sebagai Mandataris MPRS, sebagai Panglima Besar memasukkan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan Republik, sebagai Pemimpin Besar Revolusi, saya berkata dengan tegas dan tandas kami menolak untuk bicara “self-determination” dengan siapa pun.
Hanya dengan jalan demikianlah saudara-saudara kita akhirnya bisa memasukkan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan Republik.
Kita memasuki satu tahapan daripada revolusi yang beslissend. Saya ulangi lagi kalau Partindo Berkata, berdiri dibelakang atau dimuka bung Karno. Jikalau Partindo berkata menjalankan Marhanisme ala Soekarno, ketahuilah he Partindo, bahwa saya alhamdulillah menurut anggapan saya selalu setia kepada Marhaenisme.
Saya bertanya kepadamu sekarang, apakah engkau pun selalu setia kepada Marhaenisme? Saya ulangi lagi, apakah engkau benar-benar radikal revolusioner, apakah engkau gandrung kepada Negara kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah kekuasaan antara Sabang dan Merauke? Ya, gandrung. Ini bukan perkataan baru dari saya, perkataan gandrung saya ucapkan tahun 1927. Saya ulangi tahun 1928, saya ulangi tahun 1929, saya ulangi tahun 1930 dan seterusnya saya ulangi didalam zaman Republik. Saya gandrung Negara Republik Indonesia kesatuan yang berwilayah kekuasaan antara Sabang dan Merauke. Saya gandrung kepada satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang didalamnya tiada orang yang menderita, satu masyarakat yang benar-benar sebagai diamanatkan oleh rakyat Indonesia kepada kami. Satu masyarakat yang memberikan kepuasan, kebahagiaan kepada rakyat Republik Indonesia. Saya gandrung, gandrung dalam arti, katakanlah dalam bahasa asing, boleh saya katakana saya ini menderita obsessie saudara-saudara. Obsessie idée Negara Republik Indonesia berwilayah kekuasaan antara Sabang dan Merauke. Obessie Negara sosialis. Obessie yang tiada lagi anak kecil menangis minta air susu daripada ibunya. Obessie tiada lagi orang Indonesia yang tidak mempunyai sinar lampu listrik didalam rumahnya. Obessie tiada lagi rakyat Indonesia, orang Indonesia yang tidak mempunyai radio didalam rumahnya. Obessie yang tiada lagi satu orang Indonesia yang berkata, pak aku lapar. Obessie bahwa segenap rakyat Indonesia didalam kehidupannya adalah terjamin, didalamnya kehidupannya benar-benar sesuai dengan ucapan leluhur kita “tata tentram kerta raharja”. Obessie artinya saya hidup dengan pikiran itu, saya hidup dengan angan-angan itu, saya menjadi besar dengan angan-angan itu, saya mohon kepada Tuhan, saya mati dengan angan-angan itu, saya melek dengan angan-angan itu, saya duduk dengan angan-angan itu, saya tidur dengan angan-angan itu, saya berjalan dengan angan-angan itu, saya bergerak didalam gerakan nasional dengan angan-angan itu, saya menjalankan darma bakti saya dengan angan-angan itu.
Aku bertanya kepadamu, apakah kamu sekalian sudah demikian pula? Jikalau kamu, kamu membuat bung Karno itu sebagai satu contoh, hanya jikalau engkau juga sudah ter- obessie dengan Marhaenisme yang sejati. Hanya jikalau engkau sudah ter- obessie dengan mengorbankan segala jiwa ragamu untuk mendirikan sekarang satu Negara Republik Indonesia yang benar, yang berwilayah kekuasaan antara Sabang dan Merauke. Hanya jikalau juga sudah ter- obessie untuk mengadakan satu masyarakat yang adil dan makmur tanpa penindasan dan penghisapan, satu masyarakat yang adil dan makmur tanpa exploitation de I’homme par I’homme hanya jikalau juga, juga, juga, juga ter- obessie, silahkanlah engkau boleh menamakan dirimu Marhaenis yang…….
Maka oleh karena itu, saudara-saudara dalam saya memberi pengestu kepada kongres Partindo ini, saya punya satu permintaan hanya satu itulah, satu itulah, engkau ingin setia kepada sumbermu dan engkau berkata bahwa sumbermu adalah Marhaenisme. Jikalau engkau ingin setia kepada sumbermu, berjalanlah sesuai dengan jalannya air sungai ini.
Jangan nyeleweng, jangan nyeleweng, tetapi berjalanlah dengan sungai ini sampai engkau menyamai laut. Saya pernah berkata karena sungai mengalir ke laut, maka ia setia kepada sumbernya. Buat orang yang tidak mengerti akan bertanya, lho, justru meninggalkan sumber menuju ke laut? Kok bung Karno mengatakan bahwa sungai yang menuju ke laut ini adalah setia kepada sumbernya.
Saudara-saudara, tetap saya berkata, jikalau engkau benar-benar Marhaenis sejati, jikalau engkau benar-benar ingin dinamakan Marhaenis sejati, ikutilah dengan sungai ini, janganlah sesuai dengan aliran sungai ini. Ikutlah dengan sungai ini masuk kedalam laut. Hanya jikalau demikian engkau setia kepada sumber, laut saudara-saudara, yang bebas, laut yang merdeka, laut yang samudera bergelora yang gelombang-gelombangnya membanting di pantai, laut yang tiada batas, laut induk, ibu daripada sekalian hal.
Sekalian hal materieel didunia ini saudara-saudara. Laut, sinar matahari menyinari laut itu. Sang surya menyinari laut ini dengan hawa panasnya. Timbullah uap dari laut ini, uap naik ke angkasa, uap ini mengumpul, mengumpul, mengumpul menjadi awan putih, menjadi yang gelap, asal dari laut saudara-saudara. Awan ini tertiup oleh angin sejuk, turun dia ke bumi sebagai hujan. Dan hujan ini airnya masuk kedalam gunung-gunung. Tetapi saudara-saudara air yang masuk ke gunung ini timbul lagi disana sini sebagai mata-mata air, sebagai sumber-sumber. Dan tiap-tiap tetes daripada air yang keluar daripada sumber ini, hanya mempunyai satu pikiran saudara-saudara, ingin ke laut, ingin kelaut, ingin kelaut, ingin kelaut kembali kepada asalnya yaitu laut, samudera yang hebat. Keluar dari sumber itu satu aliran yang kecil. Dari sumber san yang tiap-tiap tetes tiap-tiap atom dari airnya juga satu pikiran dan satu kehendak, satu keinginan, menuju ke laut, bersambung dengan air kecil sungai kecil yang keluar dari sumber itu, yang keluar dari sumber itu, akhirnya menjadi bersama satu sungai yang lebih besar ubu bergabung lagi dengan sunga yang lebih besar, berliter, tiap-tiap tetes, tiap-tiap atom daripada air didalam bengawan ini gandrung kepada laut saudara-saudara. Gandrung kepada laut, dan kita sebagai manusia tidak bisa membendung aliran sungai ini.
Saya seorang insiyur, kataku, perintah kepadaku untuk membuat dam didalam sungai besar itu. Kasih kepadaku alat membuat dam, saya bisa membuat dam dari beton. Saya bisa membuat dam dari besi. Saya bisa membuat dam dari baja. Membuat dam saya bisa saudara-saudara. Mungkin saya bisa sedikit mengalihkan sungai dengan dam itu, tetapi jikalau engkau perintahkan kepadaku, bendunglah sungai ini, janganlah sampai sungai ini mengalir ke laut. Maka saya berkata, jangan pun engkau hanya memberi aku uang untuk membeli besi, uang untuk membeli baja, uang untuk membeli semen, jangan pun engkau memberi kepadaku sekadar harga daripada dam yang besar, meskipun engkau kumpulkan segenap rakyat di bumi yang jumlahnya ribuan, jutaan, jutaan ribu, dan engkau berikan kepadaku agar supaya aku membuat dam yang terbuat daripada baja yang sekuat-kuatnya, tetapi kataku, tiap detik, apalagi tiap jam saudara-saudara, dibelakang dam ini akan terkumpullah ke laut, tiap-tiap tetes menghendaki ke laut, tiap-tiap atom menghendaki ke laut. Pendek kata, saudara-saudara segenap air dibelakang dam ini akan mendesak, mendesak, mendesak dengan semboyan ke laut, ke laut, ke laut, akhirnya pecah sama sekali dan in dan akhirnya sungai ini tidak boleh tidak masuk kedalam laut.
Tahukah saudara-saudara, dus, bahwa sungai ini setia kepada sumbernya, bahwa dengan mengalir ke laut, sungai ini akan setia kepada sumbernya. Sebab tatkala ia masih sebagai sumber sudah disitu tiap-tiap atom daripada air sumber itu berkata, kelaut, kelaut, kelaut. Yang dus, jikalau sungai ini menuju ke laut ia adalalah setia kepada sumbernya. Engkau juga he….anggota-anggota Partindo. Jikalau engkau berkata, bahwa engkau setia kepada sumbermu dan sumbermu adalah Marhaenisme sejati, pergilah kelaut, kelaut merdeka, kelaut bebas, kelaut Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke, ke Irian Barat, kelaut Negara sosialis, kelaut masyarakat adil dan makmur. Jikalau kau menuju kesitu, barulah engkau setia kepada sumbermu, barulah engkau boleh dikatakan engkau adalah Marhaenis sejati.
Inilah amanatku kepada kongres Partindo. Maka sekarang saya tutup amanat saya yang singkat ini, oleh karena saya sudah cukup memberi amanat kepada saudara-saudara sekalian.
Terima kasih.
*) Pidato Bung Karno di depan peserta Kongres Partindo, di Gedung Olahraga, Jakarta, tanggal 26 Desember 1961.