Sudah 63 tahun sejak kemerdekaan direbut dan 10 tahun reformasi dikumandangkan! Akan tetapi, perubahan politik dan ekonomi yang mendekat pada perbaikan kesejahteraan rakyat; pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan perumahan), pendidikan, dan kesehatan, belum juga memperlihatkan sedikitpun kemajuan. Padahal, Indonesia adalah Negara yang besar dan kaya raya. Dengan potensi yang dimilikinya (kekayaan alam yang melimpah, jumlah penduduk yang besar, dan posisi geografis yang strategis),
seharusnya Indonesia memiliki cukup banyak syarat-syarat untuk menjadi bangsa makmur dan modern. Akan tetapi, semua potensi-potensi tersebut justru dimanfaatkan oleh pemerintahan yang berwatak komprador, untuk melayani kepentingan pemodal asing dan korporasinya.
Krisis Ekonomi Neoliberal dan Politik Alternatif
Menjelang pemilu 2009, ekonomi merupakan isu yang sangat penting. Hal ini disebabkan, bukan saja karena merupakan faktor fundamental dari harapan rakyat, tapi juga karena krisis ekonomi global yang bermuasal dari AS, tempat doktrin neoliberal dijadikan kiblat oleh antek-anteknya di Indonesia. Krisis ini bukan sekedar sebuah resesi ekonomi, bukan sekedar siklus dari sebuah krisis periodik, tapi yang terpenting adalah kegagalan system neoliberal mengatasi krisis kapitalisme itu sendiri.
Kita tidak akan terlalu membeberkan seberapa jauh dampak krisis global terhadap ekonomi Indonesia, karena sebelumnya pun ekonomi Indonesia sudah terlampau menderita, tapi memprediksikan sejauh mana kekuatan politik yang bergantung dari system ini akan tetap bertahan.
Krisis yang berlangsung sekarang, dan tentu saja berdampak luas hingga pemilu, menkonfirmasikan beberapa hal; pertama, pengalihan beban ekonomi dari penanganan terhadap krisis di pusat kapitalis (AS) kepada Negara-negara berkembang. Dan di pundak Negara-negara berkembang, beban tersebutkan akan dipikulkan kepada rakyat miskin dan sektor ekonomi domestik. Kedua, krisis tersebut akan menaikkan ketidakpercayaan terhadap ekonomi neoliberal, dan juga akan menggeser posisi sejumlah politisi, ekonom, ataupun akademisi moderat untuk lebih kritis terhadap neoliberal. Ketiga, krisis ini akan menjadi kesulitan baru bagi pemerintah sekarang untuk menghindar dari kegagalan total, sehingga berpengaruh pada kemerosotan terhadap dukungan mereka dalam momentum electoral.
Jauh sebelum ini, tekanan-tekanan ekonomi terhadap rakyat akibat serangkaian kebijakan ekonomi pemerintah, seperti kenaikan harga BBM, kenaikan harga sembako, kenaikan harga elpiji, telah melahirkan "ketidakpuasan" luar biasa terhadap pemerintah.
Di Negara induknya, AS dan Eropa, kapitalisme neoliberal sedang kena batunya. Mereka tidak sanggup meradang dari letupan krisis financial, yang awalnya dari kredit perumahan, kemudian merambah pada lembaga financial lainnya. Krisis ini semakin mengokohkan prediksi Marx, dan juga memberi angin "segar" kepada beberapa Negara amerika latin yang sedang menciptakan jalan baru; anti-imperialisme. Pengaruh terdekatnya di dalam negeri adalah kehancuran produksi dalam negeri yang sangat bergantung pada ekspor AS, kemandekan investasi, serta kesulitan mendapatkan akses pinjaman kredit dari perbankan.
Secara politik, pendukung neoliberal di Indonesia kehilangan garis belakangnya, dan sedikit kehilangan kepercayaan diri terhadap resep-resepnya sendiri. Hal ini terlihat dari kepanikan luar biasa yang ditunjukkan SBY-JK, dalam menangani dan memblokade dampak krisis ini.
Fragmentasi dan Konstalasi Politik
Hampir semua bangunan politik orba berhasil diruntuhkan oleh gerakan reformasi, kecuali masalah ideologi, yang merupakan problem mendasar dari kehidupan demokrasi. Belum ada pengakuan terhadap semua ideologi untuk hidup, angin demokrasi liberal telah bertiup kencang beriringan dengan neoliberalisme yang menyerbu. Akibatnya, sedikit kebebasan politik hanya melahirkan fragmentasi politik luar biasa. Bukan pemisahan politik karena pertentangan kepentingan masing2 sektor sosial, melainkan pertentangan dari "politik dagang sapi".
Jika pada masa sebelumnya, beberapa partai besar masih dapat menyandarkan dukungannya pada barisan pendukung politik tradisionalnya, seperti PAN-Muhammaduyah, PKB-NU, dan PDIP-Marhaenis/nasionalis. Di masa sekarang, massa tradisionil pun terpecah-belah seiring dengan fragmentasi di kalangan elitnya. Sebagai misal, sekarang Muhammadiyah tak lagi dapat diklaim basis dukungan PAN, karena sebagian besar unsur mudanya telah mendirikan partai baru, Partai Matahari Bangsa (PMB). Basis massa NU pun demikian, selain terpisah karena mendirikan PKNU, juga semakin terpencar akibat konflik internal PKB (Gusdur vs Muhaimin). Ada begitu banyak partai baru, namun rata-rata terbentuk dari pembelahan dari partai yang sudah ada.
Tentara juga ter-fragmentasi ke banyak partai politik. Salah satu bentuk fragmentasi di kalangan mereka tercermin dari kemunculan beberapa partai yang sepenuhnya disokong oleh tentara, yakni Hanura, Gerindra, dan Pakar-Pangan, PKPI, dan Demokrat. Beberapa elit politik yang dulunya bernaung di bawah pohong "beringin"-Golkar, kini dibuang atau menyeberang ke partai-partai yang dibangun tentara, seperti Fuad Bawazier dan Fadli Zoen.
SBY telah memberikan sinyal untuk mengawetkan "duet SBY-JK" dalam pilpres tahun depan, di hadapan peserta Rapimnas Golkar. Sinyalemen SBY semakin kuat, mengingat beberapa petinggi Golkar cenderung mengusung capres non-kadernya, kendati mendapat protes dari sejumlah petinggi Golkar lainnya (Akbar Tanjung, Surya Paloh, dan Sri Sultan, dan Fadel Muhammad). Beda halnya dengan PDIP, kendati sempat menuai popularitas akibat sikapnya menentang kenaikan harga BBM, tapi manuver tokoh konservatifnya (Taufik Kiemas) untuk mendekati Golkar telah menurunkan capaian tersebut.
PKS sendiri, kendati sempat mengajukan wacana capres muda, akan tetapi kelihatannya akan mendukung koalisi Golkar-Demokrat, dengan persyaratan 100 orang PKS di dalam jabatan strategis nanti. PKS masih berkonsentrasi merebut kekuasan mayoritas di parlemen, sambil terus menerus mengakumulasi kekuasaan di daerah (Pilkada Gubernur dan Walikota).
Sangat susah mempertemukan barisan partai yang secita-cita, karena memang partai-partai tersebut tidak mempunyai pegangan/garis politik, sebagai keyakinan politik yang harus diperjuangkan dalam mewujudkan cita-cita kolektif rakyat Indonesia.
Penyederhanaan Politik (Limited Democracy)
Di tengah terjangan ekonomi neoliberal, yang bukan saja menghilangkan penghambat-hambat bagi mobilitas modal, tapi juga memanejemen system demokrasi dan politik; agar lebih akomodatif, efisien, dan memuluskan jalan neoliberalisme. Ide soal penyederhaan politik, yang berbeda dengan cara penyederhanaan parpol di jaman orba, kini kembali menjadi wacana umum kaum pro-neoliberal untuk meminimalkan pertentangan politik agar tidak terlampau lebar.
Sejauh ini, ide penyederhanaan parpol yang dimotivasi neoliberalisme, ditangkap dan sejalan dengan ide partai besar yang khawatir dengan penyebaran suara pemilih kepada banyak partai dan merosotkan perolehan suaranya. Dukungan parpol besar dibuktikan dengan penerapan "parliamentary threshold". Metode ini akan memperkecil atau menyederhanakan jumlah parpol di parlemen. Dengan memperkecil jumlah parpol yang ada, neoliberal berharap dapat menyederhanakan pertentangan politik berada dalam manajemen mereka, sehingga tidak berpotensi "anti neoliberal" dan mengeluarkan cost politik yang banyak.
Sejumlah partai gurem dan partai baru sudah mengemukakan protes terhadap metode tersebut. Hanya saja gaungnya sedikit, karena memang saluran aspirasi yang disampaikan parpol gurem tidak bersentuhan dengan kepentingan massa, melainkan untuk memuluskan "politik dagang sapinya".
Sejauh ini, dalam kontestasi perebutan kepemimpinan nasional, sepertinya figur-figur lama masih terus mendominasi arena panggung politik nasional. Meskipun muncul wacana capres alternatif, capres kaum muda, dan sebagainya, namun kelihatan tetap merupakan wacana doang', karena selain dibatasi oleh jebakan "konstitusional dan procedural, praktek politik yang dibawakan capres-capres baru tersebut tidak berbeda jauh dengan capres-capres yang sudah ada.
Proposal mengenai syarat minimum sebuah partai dapat mengajukan Capres tentu juga merupakan hambatan politik bagi lahirnya kepemimpinan nasional yang baru. Beberapa partai, seperti Golkar dan Demokrat, mengusulkan bahwa syarat partai dapat mengajukan capres sendiri adalah 30%, sedangkan PDIP dan PAN sepertinya mengusulkan langkah moderat dengan 20%. Jika hal itu disetujui, maka boleh jadi hanya ada dua pasangan capres yang akan bertarung dalam pemilu 2009. Jika yang disepakati adalah 20%, maka kemungkinan hanya Golkar--yang kemungkinan menggandeng demokrat-yang dapat mengajukan capres. Lainnya adalah PDIP, tetapi dengan syarat harus aktif menggalang koalisi dengan partai yang agak besar lainnya.
Sedangkan Wiranto dan Prabowo, akan mendapat kesulitan besar karena kasus pelanggaran HAM-nya akan diungkap kembali oleh Pansus DPR, seperti yang dikehendaki oleh SBY-JK. Kalaupun bisa melalui rintangan tersebut, hambatan sebetulnya adalah syarat pencapresan yang sekarang diperdebatkan partai besar, yang tentunya akan begitu sulit diperoleh Hanura sebagai sebuah partai baru.
Bagaimana dengan wacana capres alternatif? Sebetulnya, wacana capres alternatif belum konkret dan masih sebatas wacana. Wacana ini diawali oleh deklarasi Komite Bangkit Indonesia, oleh Rizal Ramli, yang visinya adalah mendorong jalan baru dengan haluan baru dan kepemimpinan nasional yang baru. Kemudian disambut oleh beberapa kalangan muda, dengan memunculkan capres kaum muda/alternatif, terutama Rizal Mallarangen, Fajroel Rahman, dan Ratna Sarumpaet. Hanya deklarasi "RR" lah yang benar-benar serius. Rizal Ramli telah mendeklarasikan diri sebagai capres 2009, lewat konvensi capres Partai Bintang Reformasi (PBR).
Konvergensi Kaum Anti-Neoliberal
Krisis financial, meskipun belum terlampau lebar menerjang sektor kapitalis lainnya, tetapi telah merusak system fundamental dari capital financial itu sendiri. Di Negara-negara selatan, krisis neoliberal dipadukan dengan kerusakan ekonomi luar biasa, yang dampak-dampaknya mendorong ketidakpuasan, protes, dan perlawanan anti -neoliberal. Beberapa sektor sosial yang sangat dirugikan, dan tak ketinggalan sektor kapitalis nasional, telah mengajukan penentangan terhadap proposal Negara-negara maju.
Di Indonesia, sentiment anti -neoliberal sudah manifest lewat perlawanan sektor sosial, yang umumnya paling menderita pertama-kali oleh serangan neoliberalisme. Perlawanan ini sebagaian dapat dipimpin oleh unsur kerakyatan, namun sebagian besar meledak tanpa kepemimpinan politik yang berarti, sehingga seringkali berakhir kegagalan. Sedangkan di kalangan elit politik nasional, sentiment anti-neoliberal belum terwujud, selain dalam pernyataan-pernyataan politik semata.
Menjelang pemilu 2009, isu neoliberalisme patut didorong ke depan sebagai problem kebangsaan yang mendesak diselesaikan. Adalah keharusan bagi kaum pergerakan untuk menjaga dan mengintervensi momentum pemilu ini. Karena dengan ini, kaum pergerakan dapat memelihara pertentangan dan polarisasi kekuatan (anti -neoliberal dan pro-neoliberal) menghadapi pemilu.
Untuk itu, diperlukan strategi konvergensi, yang akan menyatukan dan sekaligus memusatkan kekuatan yang memiliki cita-cita jangka pendek relatif sama untuk menjadi pengelompokan tersendiri menghadapi poros neoliberal. Di sini kaum pergerakan dituntut, untuk mendefenisikan siapa kawan dan lawan, serta sektor-sektor tertentu yang perlu dinetralisir dalam fase histories tertentu. Musuh utama kita adalah pendukung utama system ekonomi neoliberalisme, yaitu partai Golkar dan Demokrat. Kawan sementara kita adalah sektor sosial yang dirugikan oleh neoliberalisme, menentang Golkar dan Demokrat, serta berposisi kritis terhadap neoliberalisme. Sedangkan sektor-sektor yang perlu dinetralisir adalah kekuatan politik peragu, pling-plang; partai yang sikapnya cenderung berubah-ubah tergantung dari perimbangan kekuatan pro-neoliberal dan penentangnya.
PEMERINTAHAN KOALISI/PERSATUAN NASIONAL
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan beberapa hal; pertama, kapitalisme neoliberal sedang mengalami krisis, yang derajat dan tingkat kesulitannya diperkirakan menyamai great depression 1930-an, menciptakan kelonggaran kepada kekuatan progressif/alternative guna melancarkan propaganda. Kedua, situasi politik di dalam negeri, karena kepentingan menjaga kesinambungan neoliberalisme, begitu meninggikan pagar sehingga mempersulit keterlibatan partai-partai dan tokoh-tokoh alternatif. Ketiga, isu anti neoliberalisme, termasuk Tri-Panji Persatuan Nasional, semakin menemukan tempatnya dalam isu dan program yang disusun oleh elit politik nasional, terutama sebagai amunisi untuk "menghajar" pemerintahan SBY-JK.
Ketidakpuasan terhadap neoliberalisme, entah karena dibakar oleh momentum pemilu atau tidak, kini sudah menjadi fenomena politik di kalangan partai-partai oposisi tak loyal dan rival-rival politik SBY-JK. Berbagai fenomena kebrutalan neoliberalisme, seperti keserakahan korporasi, penjarahan kekayaan alam, perebutan asset -aset strategis milik Negara, hingga pada regulasi-regulasi berbau neoliberal, telah mendapat penyikapan sejumlah tokoh politik dan partai-partai politik. Reaksi anggota Pansus Hak Angket atas temuan keterlibatan USAID dalam penyusunan UU Migas, ataupun terbongkarnya kasus penjualan minyak dan gas murah ke China, merupakan fenomena yang dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap neoliberalisme dan imperialisme.
Di kalangan gerakan kerakyatan, kendati berkali-kali mengambil peran menentukan dalam pertempuran menghadang kebijakan neoliberal, seperti penolakan kenaikkan harga BBM, kenaikan harga elipiji, maupun privatisasi, belum mampu merangkai "platform bersama", dalam pengertian sebuah penyatuan gerakan. Kendalanya adalah fragmentasi gerakan, serta cara pandang berbeda dalam menyikapi situasi yang berkembang atau momentum politik, sehingga seringkali lebih menyodorkan warna ideologis, ketimbang platform bersama. Akibatnya, gerakan kerakyatan masih kesulitan menemukan artikulasi politik yang real dalam perimbangan politik saat ini (pro neoliberal versus anti-neoliberal).
Di atas kertas, seharusnya spectrum politik yang memiliki kecenderungan anti (kritis) terhadap neoliberalisme seperti Nasionalis (progressif), sosialis/kerakyatan, dan religius progressif (sosialis), dapat dipersatukan dalam sebuah platform bersama. Jalan ini bisa menjadi jalan pintas (by-pass) dalam memperbesar perimbangan kekuatan anti-neoliberal, ketimbang memaksakan persatuan gerakan sebagai prioritas utama.
Dalam merespon pemilu 2009, cara untuk merangkai platform bersama adalah dengan mendorong koalisi persatuan nasional, dengan kesepakatan program minimum. Koalisi persatuan nasional bukan saja menggabungkan unsur-unsur gerakan, tokoh progressif, tetapi juga mendesak untuk menyatukan partai-partai politik yang memiliki kesamaan cita-cita; kemandirian bangsa.
Dalam krisis politik, dan terutama adalah krisis kepemimpinan nasional, diperlukan sebuah sebuah koalisi nasional dari berbagai spectrum politik (radikal dan moderat), untuk memunculkan figur baru, sebagai magnit politik baru bagi pilihan rakyat. Penyatuan semacam ini, seharusnya juga mendapat "support" dari unsur gerakan kerakyatan, meskipun dalam nota dukungan kritis (progmatik). Kemenangan Fernando Lugo di Paraguay, yang tidak pernah diprediksikan oleh banyak aktifis gerakan sosial sebelumnya, merupakan kombinasi dari penyatuan lebar seluruh kekuatan anti -politik Colorado dan kesepakatan bersama pada program-program sosial, terutama tiga program inti (pembasmian korupsi, reformasi agrarian, dan renegosiasi ulang soal bendungan hydorolik di perbatasan Brazil).
Di Indonesia, tiga platform utama yang dapat menjadi kesepakatan bersama adalah soal nasionalisasi (atau perbesaran keuntungan Negara dari pengolahan hasil tambang), penghapusan utang luar negeri, dan industrialisasi nasional. Tiga platform tadi, sudah menjadi isu umum yang banyak disikapi oleh politisi, akademisi, dan partai politik.
Tiga platform ini, telah menjadi isu utama dalam pelbagai debat-debat politik di media massa, seminar, talk-show, dan lainnya. Telah menjadi isu penting dalam setiap aksi-aksi anti-neoliberalisme di jalanan. Kemunculan koalisi persatuan nasional, sebagai alat persatuan yang mengangkat tinggi program ini, akan mempertahankannya dalam konteks perjuangan anti-imperialisme.
Visi (Cita-cita Politik)
Atas dasar situasi dan kondisi di atas, visi dan orientasi politik kekuasaan atau pemerintahan yang kita tawarkan adalah:
1.Mendirikan Pemerintahan Indonesia, yakni Pemerintahan Koalisi/Persatuan Nasional untuk kemandirian bangsa yang berdaulat dari intervensi/pengaruh asing, demokratis, bersih dari KKN, dan berpihak kepada rakyat.
2.Mewujudkan bangsa Indonesia yang damai, berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.
3.Mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang demokratis secara politik, memaksimalkan partisipasi rakyat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengontrolan, dan evaluasi kegiatan-kegiatan sosial.
4.Mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang adil secara ekonomi (tanpa eksploitasi antara sesama manusia), dan menjunjung tinggi nilai-nilai kepribadian Indonesia (sesuai semangat kemerdekaan Indonesia).
5.Mewujudkan Indonesia yang damai dalam pluralisme, saling menghargai dan bersatu dalam perbedaan-perbedaan suku, agama, ras, dan golongan.
Penutup
Kendati jalan ke depan begitu rumit, akan tetapi segala jalan menuju ke sana tetap harus diperjuangkan. Ini bukan khayalan, tapi bisa menjadi fakta. Fenomena di Amerika Latin telah memberikan inspirasi. Bukan itu saja, perubahan dan pergeseran kekuatan politik global telah merekonstruksi tata-dunia baru yang tak lagi uni-polar. Munculnya China dan Rusia, sebagai pesaing baru bagi imperialis AS dan Eropa, telah mendorong keberanian sejumlah pemimpin Negara berkembang untuk berani "berbeda politik" dengan AS. Dan Amerika Latin merupakan benua paling maju untuk hal ini.
Keberhasilan menjatuhkan orde baru pada 10 tahun silam, merupakan pengalaman awal bagi perjuangan rakyat Indonesia. Kebangkitan rakyat berikutnya, dalam segala bentuk arena, akan menstimulus lahirnya Indonesia baru yang lebih berdaulat dan mandiri. Dan kita kaum progressif, akan mengubah apa yang tidak mungkin pada hari ini, untuk menjadi mungkin di hari esok. Merdeka!
0 komentar:
Posting Komentar
Segala kritikan, cacian , makian dsb selalu diterim kirim juga pesan tau call : 0812 6034 7147 / 0819 3426 3185