TRIPANJI PERSATUAN NASIONAL

1. HAPUSKAN HUTANG LUAR NEGERI 2. NASIONALISASI INDUSTRI ASING 3. INDUSTRIALISASI NASIONAL

27 Desember 2009

Desaku Tempo Dulu: Manipol Usdek

Jakarta, Berdikari Online- Waktu kecil aku sesekali diajak jalan oleh Bapak melihat desa-desa yang tidak begitu jauh dari desa tempat aku dilahirkan, jalannya menanjak tajam, beraspalkan tanah bercampur bebatuan, jika musim kemarau berumput kering berdebu, dan manakala musim hujan tiba, jalan becek, berair licin sekali. Desa-desa yang sering aku kunjungi berada di bibir perbukitan. Di sebelah kiri atau kanan jalan ditumbuhi pepohonan yang rindang, menjadi pagar jalan dengan sawah atau ladang.



Berhawa sejuk, jika malam atau pagi datang kabut putih seperti payung raksasa membentang. Sunyi, hanya ada suara angin menerpa dedaunan ataupun kicauan merdu burung bersautan.

Sering kali di tanah ketinggian di sekitar desaku itu, aku bersama kawan-kawan kecilku bermain layang-layang atau duduk di rerumputan melihat mobil-mobil berlalu lalang, tampak kecil sekali dari kejauhan. Seperti semut yang berjalan di pinggir pematang. Kota, hanya aku dengar dari cerita. Kakiku belum pernah melangkah ke sana. Impian saja sudah cukup bagiku sebagai anak desa.

Rumah-rumah yang ada di desaku berlantai tanah, berpagar kayu atau anyaman bambu. Yang terlihat mereka hidup rukun, bertani sebagai mata pencaharian utama satu-satunya. Walau tidak terlalu luas para petani mengolah sawah, kebun atau ladang di sekitar desa, baik yang mereka punya, atau menggarap tanah tetangga. Menanam padi, singkong, jagung atau palawija. Hasil panen digunakan untuk dinikmati sendiri, kalau ada lebih biasanya dijual untuk membeli atau memenuhi kebutuhan lainnya. Walau mengandalkan air hujan untuk pengairan sawah, bermacam-macam tumbuh-tumbuhan hidup di desa. Pohon, buah dan sayur mayur juga tumbuh subur. Ada durian dan pisang. Ada cabe, terong dan kacang panjang.

Kalau ada yang menjadi tukang kayu atau tukang batu, hanyalah sebagai kerja tambahan setelah mereka bercocok tanam atau menunggu panen padi datang. Terkadang ada yang berternak ayam atau kambing, itupun hanya tiga atau empat ekor, dibiarkan berkeliaran di pinggiran desa mencari makan. Beberapa keluarga menambah penghasilan dengan membuat arang untuk dijual di perkotaan, ada yang membuat gula merah dari nira pohon kelapa, ada juga yang membuat makanan gethuk hitam atau geblek singkong, tiap pagi mereka jual ke pasar. Yang aku ingat Ibuku juga pernah membuat minyak kelapa, kecap dan tempe dari kedelai untuk makanan kami semua.

Semua bekerja, laki perempuan sama saja, sabit dan cangkul dipundaknya, dengan tanah mereka mengikatkan hidup serta hari depannya. Berpangku tangan berarti tidak makan dan akan jadi omongan.

Desa, tidak jauh dari sungai atau mata air mengelilinginya. Dengan hutan di hulu yang masih cukup lebat menjadikan air sungai jernih serta banyak ikan. Ini juga sumber kehidupan lain yang disediakan karena kemurahan alam.

Yang aku heran di genteng-genteng rumah penduduk itu ada tulisan MANIPOL menggunakan labur putih. Rumah yang lain ada tulisan USDEK. Atau di satu rumah ada dua tulisan MANIPOL USDEK. Walau menimbulkan pertanyaan dalam hatiku, aku tidak pernah menanyakan ke Bapak atau Ibu atau siapapun makna dan maksud tulisan itu. Aku terus digoda untuk bisa memahami arti dan tujuan warga desa membuat tulisan di genteng rumah mereka. Walau akhirnya aku simpan dalam-dalam, terukir menghiasi pikiran.

Kegemaran aku kecil waktu itu adalah melihat-lihat koran, Bapak aku sering membawa pulang Koran AB (Angkatan Bersenjata) atau Suara Karya dari kantor Kecamatan, sering juga ada koran Suara Merdeka. Bapak aku memang suka sekali membaca. Sebagai perangkat desa, dia mendapatkan jatah koran dan majalah secara cuma-cuma.

Bacaan yang aku suka tentu cerita, serial mingguan laba-laba selalu aku tunggu di Suara Merdeka Minggu, juga petualangan Tarzan. Di rumah Bapak juga sering membawa majalah, Krida, menjadi majalah bacaan keluarga. Aku suka kartun-kartunnya dan cerita pendek yang dimuat di dalamnya. Aku baca terus aku baca, sampai aku paham apa maksudnya.

Salah satu yang aku ingat, aku pernah membaca sebuah cerpen bercerita tentang perjuangan seorang Guru, tenaga pendidik sebuah sekolah dasar di pelosok desa, kampung lereng gunung. Persis di bawah judul cerita, ada gambar seorang lelaki setengah baya sedang duduk sendirian di bebatuan, memandang kosong ke depan, wajahnya lebar bergaris keras, mengisap sebatang rokok dengan asap tebal membumbung, di belakangnya kelihatan pohon pinus serta pohon lainnya. Mencerminkan seorang lelaki terpelajar yang jauh dari keluarganya, tinggal di pedalaman negeri, menjalankan tugas sebagai seorang guru. Sendiri, terasing, berteman sepi.

Cerita pendek lain yang sering aku baca tentang Peristiwa Madiun 1948 dan MMC, Merapi Merbabu Compleks.

Selain majalah Krida, Bapakku sering juga membawa majalah Trubus yang berisi tentang pertanian.

Jika petang tiba, selain membaca, aku kecanduan mendengarkan sandiwara radio. Cerita tentang Mahesa Jenar, Nogososro-Sabuk Inten yang dimainkan oleh Sanggar Prativi selalu aku nanti. Masih teringat kuat cerita itu, tempat-tempat yang tidak begitu jauh dari desaku menjadi pusat peristiwa dalam sandiwara, gunung Telomoyo, Rawa Pening, gunung Tidar. Selain kepahlawanan, bertutur tentang mata rantai sejarah Babad Tanah Jawa. Sering kali pemeran utamanya mempengaruhi pikiran serta perasaanku, kadang aku kagum, jika besar nanti ingin menjadi seperti tokoh itu, dan aku benci sekali tokoh-tokoh yang berprilaku angkara. Ada Pasingsingan, pendekar bertopeng yang sangat sakti dan misterius, tempat tinggalnya di daerah Gunung Telomoyo, ada Lowo Ijo pendekar jahat yang sangat aku benci, ada pendekar Banyubiru, Gajah Suro, Lembu Suro dan ada juga Simoludro dari Gunung Tidar, aku mengidolakan sosok Mahesa Jenar dan Roro Wilis.

Jika malam tekadang aku lanjutkan mendengarkan sandiwara , tetapi ceritanya sedih dan sering menakutkan aku. Kakak aku juga suka membaca serta mendengar juga sandiwara, tapi yang dibaca lebih banyak komik. Cerita tentang Tigor pendekar asmara atau komik wayang Sosrobahu, cerita tentang Sumantri dan Sukrosono. Sandiwara yang dia suka ‘Butir-butir Pasir di Laut' disiarkan siang hari setelah warta berita jam setengah dua.

Tetapi mengapa dan aku selalu bertanya, dari koran, radio, di sekolah maupun majalah, aku tidak pernah mendengar cerita tentang tulisan yang ada di genteng-genteng rumah itu. Manipol Usdek. Aku terus berpikir apa maksud tulisan itu. Kenapa di genteng-genteng rumah petani itu tidak ditulis Mahesa Jenar atau Roro Wilis, tokoh cerita kegemaran aku.

Waktu terus berlalu, berputar mengitari buana membelah cakrawala. Aku beranjak dewasa, untuk melangkah maju aku meninggalkan desa, melanjutkan sekolah di kota. Menjadi mahasiswa, terjun mengolah pikiran serta sikap kebangsaan, dunia pergerakan menjadi pilihan. Bacaan sejarah masyarakat, filsafat dan politik menjadi santapan sehari-hari. Sejenak melupakan kehidupan desaku, masuk ke dalam hiruk pikuk jaman yang menyesakkan.

Lambat laun kemudian terjawab apa yang aku pikirkan selama ini. Manipol USDEK. Garis politik bangsa Indonesia, dasar dan arah revolusi membangun bangsa serta manusia Indonesia yang menolak mentah-mentah penjajahan satu bangsa terhadap bangsa lain, penjajahan manusia terhadap manusia lainnya. Manipol USDEK, gotong royong membangun bangsa menuju kejayaan Nusantara.

Namun penemuan itu menyisakan sesuatu. Bagaimana jalan ceritanya mereka orang-orang desa itu memiliki kesadaran politik yang demikian tinggi. Mestinya mereka diburu karena dianggap bagian dari Gestapu. Dan aku tidak pernah mendengar cerita yang terang tentang sejarah politik di desaku.

Apapun, aku sangat hormat dan bangga, kepada orang-orang desa. Alangkah hebatnya kesadaran mereka, semangat mereka berbangsa, sampai ke pelosok desa. Satu sikap yang kini menjadi mahal dan barang langka.Walau yang aku lihat hanyalah tulisan di atap-atap rumah, memiliki makna yang teramat dalam. Ditulis di tempat yang tinggi, dijunjung tinggi, menjadi panji-panji. Desaku oh desaku.

Menjelang pagi tadi aku coba buka kembali dokumen Manipol Usdek, Gesuri, Jarek, Resopim dan Takem.

Satu semangat melawan imperialisme, yang sedang bermetamorfosa wujudnya, menggilas bangsa manapun yang mau bangkit. Manipol Usdek, Manifesto Politik yang berlandaskan UUD 1945, Sosialisme Demokrasi, Ekonomi Nasional dan Kepribadian Bangsa.

Apa yang salah dari semua itu, buah karya Bung karno, Proklamator pendiri bangsa,yang salah adalah imperialis dan antek imperialis yang bersembunyi di tanah air ini, berlindung di bawah atap demokrasi.

Maka wajar jika musuh-musuh politiknya gentar dan berhitung untuk menghadang semangat Sukarno dengan semangat kebangsaannya, yang didukung oleh rakyat klas tiga dunia, bangsa Asia Afrika, juga para petani pedalaman di desa.

Jarek, sudah mandeg, seperti bis kehabisan bensin di tengah jalan. Kemudian ditarik mobil derek ke tepian. Para penumpang diam kebingungan. Sopir baru datang, dia bilang kita salah jalan. Maka dibuat jalan baru yang cepat, sampai ke tujuan. Meninggalkan para penumpang yang kebingungan. Tanpa ada satu pun yang mampu menghentikan.

Takem ditelan bumi, para petani bertahan hidup dalam mimpi, buruh-buruh antri hilang harapan, pengangguran seperti buih di lautan. Tanah kelahiran tidak sanggup lagi menyangga kehidupan. Sebagian dari mereka harus ke kota menjual tenaga. Seperti ternak menyeret gerobak tuannya. Seringkali nasibnya seperti serangga kecil terperangkap dalam sarang laba-laba. Di himpit gedung tinggi, mereka memburu rejeki. Untuk menyediakan sesuap nasi buat anak isteri.

Angin musim kemarau, gemerisik, kering menghempas pepohonan, meranggas. Terik mentari menukik menghatam kepala para petani yang mengais-ngais sawah ladang yang tersisa. Sungaipun kering, penuh batu, sudah habis pepohonan di hulu. Modal telah menjadi setan serta hantu gentayangan, siap melumat serta menelan siapa saja, kuburkan sila peri kemanusiaan, di bawah nisan teramat dalam.

Demokrasi, kebebasan, kini seperti kehidupan di tengah belantara, saling memburu untuk memenuhi kebutuhan serta mengembangkan kekuasaan. Yang lemah berlari ke sana ke mari dikejar-kejar untuk menjadi mangsa bagi yang kuat.

Manipol Usdek tidak lagi tertulis di genteng-genteng itu, seolah terhapus terkikis rintik hujan, jaman merubah menjadi pelayan kehendak para Tuan. Terasing bangsaku dari tanah airku.

Kini diam, seolah semua diam, sepi seperti malam hari di dalam hutan. Anak bangsa dipenjarakan, diperkosa di ranjang di atas tanah tempat mereka dilahirkan.

Penderitaan akibat penindasan akan tercatat dalam sanubari dan setiap tarikan nafas, membangkitkan perlawanan. Percikan api akan menyala, membakar ilalang kering di tengah ladang. Menghanguskan keterasingan aturan yang menjerat kehidupan.

Angin sejuk akan kembali tiba wahai orang-orang desa. Selimut mendung tebal yang menggumpal di atas negeri kita, akan menjadi hujan, menyirami bumi, tanah akan menjadi basah, menumbuhkan tanaman serta pepohonan. Menyerah menghadapi keadaan bukanlah budaya kita, bukan seperti sandiwara radio yang dulu pernah kita dengar bersama, bukan tulisan yang pernah kita ukir di genteng rumah bambu kita. Menyerah berarti mengkhianati semangat para pendiri bangsa kita, tanah air kita.


Pantang kita mengubur harapan.

Mari kita keluar rumah melihat kembali dunia, menghidupkan kembali jiwa kita. Dan tuliskan kembali di jendela hati, gapura jalan serta genteng rumah kita. Seperti dulu kala, di desa-desa kita.

Selamat datang MANIPOL USDEK , kami menunggumu, merindukanmu, wahai generasi baru bangsaku!

Jakarta, akhir tahun 2009

*) Ketua Umum Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas), dan Sekjend Komite Pimpinan Pusat- Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kumpulan puisinya sudah diterbitkan oleh Jaker dengan judul "Negeriku".

0 komentar:

Posting Komentar

Segala kritikan, cacian , makian dsb selalu diterim kirim juga pesan tau call : 0812 6034 7147 / 0819 3426 3185

Perfect Day

BTricks


ShoutMix chat widget

Pengunjung

PENGUNJUNG

free counters