Bersatu Menuju Pemilihan Untuk Memenangkan Caleg Aktifis Kerakyatan
9 April 2009, rakyat Indonesia akan termobilisasi ke kotak-kotak suara untuk memberikan mandatnya kepada partai dan calon legislatif (DPR, DPRD I, DPRD II), senator (DPD), dan tak lama kemudian rakyat akan kembali ke kotak suara untuk memilih secara langsung presiden dan wakil presiden yang baru.
Dalam pemilu, proses perubahan terletak di tangan rakyat itu sendiri; pemimpin mana yang dipercaya untuk memimpin; partai mana yang dianggap bisa memperjuangkan aspirasi rakyat, dan calon mana yang benar-benar bekerja melayani rakyat. Pemilu ini akan menentukan gerak bangsa kedepan, demikian pula dengan nasib 250 juta rakyat Indonesia.
Kita Masih Terjajah!
Di televisi, radio, Koran-koran, media online, hampir setiap menit kita mendengar iklan pemerintah yang menyampaikan keberhasilannya. Dengan congkak, pemerintah merasa sudah berhasil mengurangi kemiskinan, telah berhasil memberantas korupsi, dan menurunkan harga BBM sebanyak 3 kali. Iklan kampanye yang dibuat pemerintah benar-benar iklan pembodohan, memanipulasi keadaan, dan tidak memperhitungkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia kini terjerembab dalam kemiskinan, jutaan buruh terancam PHK, jutaan pemuda gelisah karena tidak adanya lapangan kerja, serta ibu dan anak-anak yang menderita karena pendidikan dan kesehatan yang makin mahal.
Pemerintah mencoba mengakal-akali rakyat dengan teori-teori ekonomi, statistik, dan survey, untuk menciptakan sebuah prestasi ekonomi gemilang diatas “kertas”. Akan tetapi, beban ekonomi yang makin sulit pada hampir semua bidang pekerjaan (petani, buruh, pedagang, sopir taksi, pegawai, ibu rumah tangga, anak-anak sekolah, dan lain-lain) membuktikan bahwa angka-angka prestisius itu adalah kebohongan besar.
Bangsa Indonesia sebetulnya masih terjajah. Proses penjajahan ini dilakukan melalui kekuasaan modal (capital) internasional yang mengontrol pemerintahan-pemerintahan terutama di negara dunia ketiga, untuk menjalankan sistem politik dan ekonomi yang bisa memperluas kekuasaan mereka menguasai bahan baku, pasar tenaga kerja, dan tempat yang akan menjadi pasar bagi produk-produk mereka. Fakta-fakta dibawah ini menunjukkan bahwa proses penjajahan sebenarnya masih berlansung.
Pertama; Sumber-sumber ekonomi yang vital dan mengusai hajat hidup orang banyak seperti pertambangan, kehutanan, pertanian, pabrik-pabrik, sarana transportasi, sarana komunikasi, dll sudah hampir dikuasai sepenuhnya oleh pihak asing. Di sektor migas, 80-90% pengelolaan migas nasional dikuasai oleh fihak asing, akibatnya 85% dari total produksi minyak mentah dan gas bumi berada ditangan korporasi asing seperti Chevron, Exxon, British Petroleum, ConocoPhilips, dll. Di Bidang telekomunikasi, penguasaan asing pada sektor ini sudah mencapai 65%. Pihak asing juga menguasai penuh aktivitas investasi, dimana mereka mengontrol 75% dari total investasi yang ada. Di sektor keuangan, kepemilikan asing terhadap perbankan nasional mencapai 48%, sedangkan di pasar modal pihak asing mengontrol sebesar 67,34%.
Kedua; Kebijakan ekonomi baik di sektor tenaga kerja, pengelolaan energi, perbankan, pertanian, kehutanan, dan sebagainya, sepenuhnya dibuat untuk menfasilitasi kepentingan asing. Dalam hal regulasi, pemerintahan SBY berkolaborasi dengan DPR menyusun UU yang mensahkan kekayaan alam kita dirampok oleh penjajah, mensahkan pendidikan kita dikuasai oleh asing, membiarkan pelayanan rumah sakit dan obat-obatan dikontrol oleh pihak penjajah.
Ketiga; Industrialisasi yang seharusnya diciptakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat dan menciptakan lapangan kerja justru berjalan dalam situasi yang mengkhawatirkan. Pemerintah mengabaikan industri nasional, malah semakin mengarahkan ekonomi nasional pada kebijakan “pasar bebas” yang membunuh industri di dalam negeri.
Bersamaan dengan proses industrialisasi untuk melayani keserakahan asing, sebanyak 95 juta hektar lahan telah diserahkan kepada perusahaan minyak di sektor hulu, tujuannya untuk membebaskan mereka mengekploitasi alam di wilayah tersebut. Lebih 40 juta hektar areal tanah diserahkan kepada asing untuk eksploitasi mineral dan batubara, 7 juta hektar diserahkan untuk perkebunan asing, dan 31 juta hektar beserta hutannya diserahkan kepada perusahaan pengelolaan hutan asing. Satu sisi, rakyat dipaksa mengelolah lahan sempit dan tanpa mendapat pasokan air. Dulu Bung Karno mengatakan “tidak boleh sejengkal pun tanah republik ini jatuh ke tangan asing, semuanya harus diserahkan kepada rakyat”.
Penggunaan kekerasan juga terus menerus meningkat, dan diarahkan kepada rakyat. Kekerasan berlangsung dengan berbagai metode, seperti kekerasan ekonomi berupa penggusuran, penertiban PKL, operasi kependudukan, dan lain-lain, maupun tindakan kekerasan yang dilakukan aparat negara terhadap rakyat, kepada kaum tani, terhadap buruh, terhadap golongan minoritas, dan golongan rakyat lainnya. Ada temuan yang menyebutkan, bahwa 70% kasus kebakaran di Indonesia adalah disengaja (dilakukan pemerintah) untuk menggusur rakyat dari tanahnya supaya nanti daerah itu dapat dimanfaatkan oleh pembangunan mall, hotel, lapangan olah raga, kawasan wisata dan sebagainya. Di ketahui pula, bahwa anggaran APBD untuk membiayai penggusuran di beberapa kota besar (Jakarta, Surabaya, dll) ternyata jauh lebih besar ketimbang untuk layanan sosial, seperti pendidikan dan kesehatan.
Di NTT misalnya, terdapat sentra-sentra busung lapar dan rakyat kesulitan memperoleh air untuk kebutuhan sehari-hari. Sementara di kawasan tersebut, sekarang banyak berdiri kawasan pariwisata, dan karenanya banyak berdiri hotel-hotel mewah yang dilengkapi dengan kolam renang yang luas. Artinya, negeri ini beserta aparatusnya lebih rela melayani imperialis untuk bersenang-senang, tetapi membiarkan rakyatnya mati dalam kelaparan.
Pemerintahan SBY adalah Pemerintahan Neoliberal
Pemerintahan SBY berkuasa karena mendapat sokongan kekuatan dan financial dari negeri-negeri imperialis. Di dalam negeri, kekuasaan SBY merupakan penggabungan dari aliansi dua partai utama, yakni Golkar dan Demokrat, beserta dukungan sejumlah partai-partai lain seperti PKS, PPP, dan PBB. Dengan aliansi tersebut, kekuatan partai pendukung SBY merupakan kekuatan mayoritas di parlemen. Sebagai kekuatan mayoritas, secara praktis kekuatan oposisi atau penentang tidak punya peran signifikan dalam menghalau kebijakan-kebijakan pro-neoliberalisme. Di lain pihak, kekuatan oposisi tidak cukup kuat. Partai-partai yang mengklaim oposisi hanya pada lebel saja, sedangkan pada tingkatan kebijakan praktis tidak terlihat garis pemisah yang jelas.
SBY tidak lebih baik dibanding pemerintahan sebelumnya. Sebagian besar yang dijanjikannya pada masa kampanye tidak berjalan, kemudian beralih menjalankan kebijakan-kebijakan yang mengikuti resep IMF. Dalam hal ini, jelas SBY lebih patuh dan agresif menjalankan neoliberalisme yang terhambat pada masa pemerintahan sebelumnya. Mengenai privatisasi BUMN, yang juga merupakan scenario IMF, SBY jauh lebih agresif menjual dibanding pemerintahan sebelumnya. Periode 1991-2001, pemerintah Indonesia 14 kali memprivatisasi BUMN. Yang terprivatisasi 12 BUMN. Sedangkan dibawah SBY, situasinya cukup menggemparkan, bayangkan, hanya dalam setahun 44 BUMN dilego. Apalagi, privatisasi kali ini disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN kepada investor strategis, dan beberapa BUMN lainnya kepada asing.
Apa yang sering disebutkan sebagai keberhasilan, karena menurunkan harga BBM sebanyak 3 kali, perlu diperiksa kebenarannya. Pada saat memulai kekuasaannya, harga BBM berkisar pada harga Rp. 4.500/liter, sedangkan setelah menaikkan BBM tiga kali harga BBM merangkak lebih dari 100%, yaitu Rp. 6500/liter. Harga BBM sekarang ini, setelah tiga kali diturunkan, adalah Rp. 4.500, yang berarti tidak ada perbaikan terhadap ekonomi. Padahal, harga minyak dunia yang menjadi patokan SBY telah turun 50%, mestinya BBM di Indonesia juga turun 50% sehingga harganya dipatok hanya 3000-3.500 rupiah. Kenapa SBY menurunkan BBM dengan cara mengansur tiga kali? Tujuannya ada dua; pertama, untuk mengejar popularitas di mata rakyat; kedua, mencegah penurunan harga BBM tidak menyeret kejatuhan harga-harga barang pokok, terutama jenis harga konsumsi impor yang kini membanjiri pasar-pasar (pasar modern/tradisional).
Pada saat menaikkan BBM kedua kali pada tahun 2005, inflasi mengalami kenaikan tajam sebesar 17,75% (2006). Di sisi industri, kenaikan harga BBM untuk kedua kalinya tahun 2005 tersebut telah mendorong percepatan deindustrialisasi, Bila pada tahun 2004 sektor manufaktur masih tumbuh 7,2% maka pada tahun 2007 hanya tumbuh sebesar 5,1%.
Kebijakan energi nasional, yang seharusnya dibuat untuk memacu dan menyokong industri nasional dan pemenuhan kebutuhan rakyat, justru dikelola berdasarkan hukum pasar yang benar-benar liberal. Korporasi swasta asing bukan saja merajalela dalam sektor hulu, tetapi juga kian marak di kegiatan hilir. Beberapa SPBU bermerek asing seperti Petronas, Shell, dan lain-lain, kian marak di kota-kota besar di Indonesia. Sementara itu, kebijakan energy tidak juga berubah sejak kolonialisme angkat kaki dari bumi pertiwi. Sumber-sumber energi berupa minyak, gas, dan batubara hampir seluruhnya dikuasai oleh korporasi asing, kemudian hasil produksi tersebut diekspor dalam bentuk mentah dan harga yang murah untuk melayani kebutuhan industri-industri di negara maju, padahal industri dalam negeri hancur karena kehilangan pasokan energi.
Di bidang politik, kinerja pemerintah juga kurang berhasil. Aparatus birokrasi belum bebas dari mental korupnya, bahkan lembaga penegak hukumnya (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) dijangkiti penyakit korup dan penuh suap. Korupsi masih tumbuh subur ibarat jamur di musim hujan. Gerakan pemberantasan korupsi juga terpental oleh tembok “politisasi”, dimana korupsi yang diberantas hanya kasus korupsi kecil-kecil dan terutama melibatkan lawan-lawan politik, sedangkan korupsi yang merajalela dalam pemerintahan tidak diutak-atik. Bakrie yang sudah melakukan kejahatan ekonomi, melalui lapindo brantas dan Bumi resources, ternyata tidak pernah tersentuh pengadilan politik SBY. SBY juga terlihat melindungi beberapa menterinya, seperti MS Kaban, yang berkali-kali terlibat kasus korupsi dan suap.
Partai-Partai Pendukung Neoliberal
KEGAGALAN SBY dan pemerintahannya sudah tidak tertutupi. Kegagalan ini juga melengkapi kegagalan partai-partai politik pendukungnya, yang sementara ini mencoba keberuntungan dalam pemilu 2009. Di belakang SBY, ada dua partai utama yang berdiri, dan membela mati-matian seluruh kebijakan neoliberal pemerintahan Yudhoyono, yaitu partai Golkar dan Demokrat. Di luar kedua partai ini, masih terdapat sejumlah partai pendukung yang loyal seperti PPP, PKS, dan PBB. Pada awalnya, hanya PDIP yang menegaskan sikap oposisi, tetapi kemudian PAN menarik dukungan kepada pemerintahan SBY dan berdiri sebagai partai oposisi.
Partai pendukung pemerintah maupun oposisi tidak memiliki garis pemisah yang jelas, terutama dalam menjalankan kebijakan. Mengenai isu-isu neoliberal, pada awalnya hampir seluruh partai di parlemen adalah pendukung neoliberalisme, tetapi menjelang pemilu 2009 beberapa partai kemudian bersikap kritis terhadap kebijakan neoliberalisme. PDI-Perjuangan sebagai contoh, kendati berdiri sebagai oposisi, tetapi sebenarnya juga bersikap akomodatif terhadap neoliberal. Ketika Megawati memerintah, kebijakan neoliberal juga menjadi poros kebijakan pemerintahan ini. Maka tidak heran, ketika PDIP menjadi oposan terhadap kebijakan SBY, dukungan rakyat terhadap partai ini tetap tidak membesar.
Ada beberapa partai yang mencoba menghidupkan “poros tengah jilid II”, tentunya dengan memanfaatkan isu agama. Perlu diketahui, partai-partai yang menjual “agama” ini baru saja melukai persatuan nasional rakyat Indonesia yang dibangun diatas kebhinekaan, dengan mensahkan UU Pornografi. Selain itu, partai-partai “poros tengah” ini merupakan pengikut setia kebijakan neoliberal. Mereka turut mengesahkan UU migas, UU ketenagakerjaan, UU Penanaman Modal, UU minerba, UU BHP, dan sebagainya. Mereka juga menyetujui kenaikan harga BBM, privatisasi terhadap BUMN, serta kebijakan-kebijakan serupa yang merugikan rakyat.
Ada pula partai yang menjual isu kedaerahan, kesukuan dan politik patron-primordialisme. Perlu kami jelaskan, partai-partai yang menjual isu-isu diatas hanya untuk memuluskan kepentingan segelintir elit politik daerah (lokal) yang terlempar dari politik pusat (nasional). Politik kedaerahan, yang dibangun oleh mereka, hanya merupakan bargaining politik untuk mendapatkan jabatan politik lebih bagus di pemerintahan pusat.
Kesempatan hanya datang sekali. Rakyat sudah mengetahui sepak terjang masing-masing partai-partai tersebut, sehingga menjelang pemilu 2009 sikap kritis rakyat menjadi ancaman terhadap partai-partai pro-neoliberalisme.
Penyebab Kegagalan
Kemerdekaan yang diperoleh melalui Revolusi Agustus 45 ternyata belum tuntas, belum bisa menjadikan ekonomi, politik, dan kebudayaan kita terbebas sepenuh-penuhnya dari pengaruh kolonialisme (atau imperialisme). Kemerdekaan kita masih sebatas kemerdekaan formal, yaitu pengakuan bahwa kita merdeka tetapi dalam prakteknya kita tidak merdeka sama sekali, kita tetap menjadi kuli diantara bangsa-bangsa.
Meski sudah merdeka, hanya sedikit sekali struktur ekonomi kolonial yang berupa aturan ekonomi, perundangan, dan prinsip-prinsip ekonomi yang dihapuskan. Indonesia tetap merupakan mengekspor bahan baku, terutama minyak, gas, batubara, dan mineral, dan terus menerapkan kebijakan impor bahan konsumsi dari negeri-negeri maju.
Kendati setiap pemerintah berkuasa berjanji menjalankan industrialisasi, tetapi prakteknya selalu menemukan kegagalan. Penyebabnya, pertama, industrialisasi yang terbangun lebih menfasilitasi kepentingan ekspansi modal asing, bukan memenuhi kebutuhan dalam negeri dan seluruh rakyat. Model industrialisasi seperti ini, oleh orang Amerika Latin, disebut "desarollo hacia afuera" (pembangunan yang berorientasi ke luar negeri). Kedua, partai dan elit selalu mendapatkan sokongan dari pihak asing. Ketika berbicara industrialisasi sebagai tujuan ekonomi yang koheren dengan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, maka akan bertentengan dengan politik impor, sebagaimana yang dikehendaki oleh negeri imperialis, dan bertentangan dengan sektor swasta atau importir swasta dalam negeri. Ketiga, liberalisasi dan privatisasi. Rejim yang bertumpu pada liberalisme ekonomi, serta menjalankan privatisasi terhadap perusahaan nasional bersifat strategis, seperti perusahaan telekomunikasi, perusahaan baja, perusahaan penerbangan, perkebunan, perbankan, dan konstruksi, tentu tidak akan bisa menjalankan industri nasional. Malah sebaliknya, menjalankan de-industrialisasi.
SBY jelas patuh pada kehendak asing. Hal itu dapat diperiksa pada kebijakan energinya; SBY-JK memaksakan kita sebagai eksportir gas, tetapi mayoritas produksi gas kita diekspor keluar negeri tiap tahunnya, itupun dengan harga sangat murah, padahal tiap tahunnya industri kita menderita deficit gas. Atau batubara, kendati komoditi ini memegang peran vital dalam proses industrialisasi, tetapi 75% produksi batubara nasional kita tiap tahun diekspor, atau setara dengan 25% permintaan batubara dunia.
Tidak ada kemandirian ekonomi, terutama menghadapi kepentingan asing, yang dimiliki oleh pemerintahan SBY, maupun partai-partai yang berada dibelakangnya. Hal ini, tentu saja, merupakan penghalang besar bagi tercapainya industrialisasi nasional untuk melepas ketergantungan terhadap asing.
Kami Berjuang untuk Kemandirian Nasional
Berbicara mengenai Indonesia yang adil dan makmur, maka yang pertamakali perlu diketahui adalah cara dan bagaimana kebutuhan dasar rakyat terpenuhi; sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. pemenuhan kebutuhan dasar berarti perlu ada kerja ber-produksi; harus ada mesin, bahan baku, pabrik, modal, dan yang terpenting tenaga kerja. Maka industrialisasi nasional pertama kali bertujuan memenuhi kebutuhan nasional, memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
Tidak mungkin terwujud industrialisasi nasional jika sumber-sumber energy (minyak, gas, dan batubara) tetap dikuasai oleh asing. Demikian pula dengan perusahaan baja, logam, aluminium, dan sebagainya masih dikuasai asing. Perjuangan untuk kemandirian nasional berarti penegasan atas kedaulatan seluruh kekayaan alam negeri ini, kebebasan menjalankan kerjasama dengan bangsa lain diatas prinsip setara dan solidaritas, serta kebijakan politik dan ekonomi yang koheren dengan kepentingan nasional dan seluruh rakyat.
Untuk itu, bagi kami, pertama, memastikan seluruh sumber daya alam Indonesia, terutama sumber energi (minyak, gas, batubara) harus diambil dan berada dalam control bangsa Indonesia. Kebijakan ekspor yang sejak dulu dilakukan sejak jaman kolonial perlu dirombak; prioritas adalah memenuhi kebutuhan industri dalam negeri dan kebutuhan rakyat. Kontrak-kontrak pertambangan yang kurang adil dan merugikan pemerintah Indonesia perlu dirombak, terutama memastikan item besaran pembagian yang menguntungkan, alih teknologi, dan pengalihan asset (divestasi) setelah beberapa tahun.
Kedua, mencabut semua produk perundangan yang merugikan perkembangan industri nasional; seperti UU nomor 22 tahun 2001 tentang migas, UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, UU penanaman modal, UU BHP, dan sebagainya.
Pemerintahan Persatuan Nasional dan Program-programnya
RAKYAT Indonesia bukan saja menghendaki pergantian kepemimpinan nasional, tetapi yang paling penting adalah perubahan kebijakan; arah ekonomi, prinsip berpolitik, serta perubahan kepribadian (budaya). Untuk itu, SPARTAN menilai bahwa dibutuhkan sebuah pemerintahan baru, yang benar-benar berpihak kepada kemandirian nasional (anti-imperialisme), serta menjalankan program-program yang berpihak seluruh rakyat. Baru yang dimaksud adalah Pemerintahan Persatuan Nasional; pemerintahan ini, seperti dijelaskan diatas terbentuk berdasarkan front nasional diantara seluruh tenaga-tenaga anti-imperialisme (kaum nasionalis progressif, religius progressif, dan sosialis kerakyatan).
Di lapangan ekonomi, pemerintahan persatuan nasional akan melikuidasi seluruh susunan ekonomi kolonialisme, serta menghapuskan kesepakatan-kesepakatan ekonomi dan perdagangan yang tidak menguntungkan rakyat dan ekonomi nasional. Pemerintahan persatuan rakyat akan menjalankan ekonomi “berdikari” dengan memfokuskan pembangunan ekonomi yang berporos kepada pemenuhan kebutuhan mendasar rakyat.
Untuk kepentingan kaum buruh, pemerintahan persatuan nasional akan mendorong pengembangan industri nasional agar memberikan nilai tambah bagi upah buruh. Dengan proses industrialisasi di tangan negara, maka perlindungan terhadap hak-hak dasar bagi buruh akan diatur dalam konstitusi; larangan PHK sepihak, jaminan sosial bagi buruh dan keluarganya, dan lain-lain.
Untuk kepentingan kaum tani, pemerintahan persatuan nasional akan memajukan tenaga produktif di pedesaan, melalui; mobilisasi modal ke desa dan teknologi guna modernisasi pertanian dan pengembangan ekonomi keluarga di desa-desa. Pemerintah persatuan nasional akan menjamin ketersediaan pupuk bagi petani, menjamin pengadaan dan pemeliharaan irigasi pertanian, serta menciptakan bank khusus pertanian untuk penyaluran kredit mikro bagi petani.
Untuk kepentingan rakyat miskin di Indonesia baik di perkotaan maupun di pedesaan, maka pemerintahan persatuan nasional akan segera memperluas pembukaan lapangan kerja baru, terutama pembangunan infrastruktur, penyediaan kredit bagi usaha-usaha keluarga (home industri) maupun koperasi-koperasi rakyat. Pemerintahan Persatuan Nasional akan menjamin pendidikan dan kesehatan gratis kepada seluruh rakyat.
Di lapangan politik, Pemerintahan persatuan nasional akan melikuidasi semua peraturan-peraturan maupun perundangan yang merugikan kepentingan nasional, menyerang hak-hak rakyat, dan bersifat diskriminatif. Pemerintahan Persatuan Nasional akan memberantas korupsi dengan membentuk KPK hingga kecamatan. Selain itu, rakyat akan terlibat langsung dalam mendiskusikan, mengusulkan, merumuskan prioritas pembangunan dan anggarannya melalui institusi partisipasi rakyat. Kami berslogan; “Rakyat yang akan menjalankan pemerintahan di tangannya”
Mempertahankan susunan pemerintahan sekarang ini, sama saja dengan melanjutkan kemiskinan, kesengsaraan, busung lapar, harga-harga kebutuhan pokok tetap tinggi, dan biaya transportasi tinggi. Tidak bisa! Jangan lagi saudara-saudara mau diperdaya dengan sembako, dengan duit 50 ribu, dengan janji-janji yang selangit, dengan muka ganteng dan omongan yang sopan. Tidak! Sudah cukup mereka membuat kerusakan seperti ini. Kedepan ini, rakyat Indonesia harus memberikan dukungan kepada partai atau calon yang memperjuangkan kemandirian nasional.
Kemandirian nasional, tidak bisa tidak, harus bermakna pemulihan terhadap kedaulatan nasional atas kekayaan alam, terhadap produksi migas, mineral, dan batubara, dan sektor-sektor produksi yang vital bagi pemenuhan kebutuhan rakyat. Jika ada partai yang berkampanye menjalankan kemandirian nasional, tetapi tidak bermaksud “mengambil alih” kekayaan alam, pabrik-pabrik, sarana telekomunikasi, dan sektor-sektor vital yang berada ditangan asing, maka kampanye kemandirian itu hanya “omong kosong”belaka.
Demikian pula dengan pentingnya persatuan nasional. Perlu kami tegaskan, bahwa tanpa persatuan nasional dari unsur-unsur yang anti neoliberal (nasionalis progresif, sosialis kerakyatan, dan religius progressif), maka kemandirian nasional akan sulit tercapai.
Untuk itu, momentum pemilihan tidak boleh diserahkan kepada partai-partai maupun elit politik yang pro neoliberalisme, pro-imperialisme. Dan bersamaan dengan proses ini, dari pihak kami, terdapat 590 orang caleg aktifis kerakyatan yang terdiri dari 4 caleg DPD, 31 caleg DPR RI, 61 caleg DPRD I, dan 498 DPRD II. Keseluruhan caleg ini, merupakan aktifis-aktifis pergerakan yang sudah berbaur dengan penderitaan rakyat selama bertahun-tahun.
Bagaimana kami menjamin kepercayaan rakyat terhadap suara yang telah diberikan kepada caleg-caleg aktifis kerakyatan;
1. Membuat Laporan berkala mengenai kerja-kerja di badan parlemen;
2. Bersedia memotong gaji sebanyak 70%, dimana pengelolannya diserahkan kepada partai dan organisasi-organisasi rakyat;
3. Melakukan aksi walk out dan bergabung dengan aksi-aksi rakyat pada sidang-sidang DPR yang mencoba meloloskan perundangan yang tidak berpihak kepada rakyat;
4. Kami akan melakukan konsultasi, diskusi terbuka, dan menampung usulan-usulan dari konstituen pemilih) melalui badan-badan (dewan) konsultasi maupun melalui organisasi-organisasi sosial kerakyatan;
5. Bersedia di-recall kapan saja;
6. Dalam periode tertentu masa jabatan, bersedia menggelar referendum; apakah rakyat masih mendukung atau tidak;
Maka, pada saat seluruh rakyat Indonesia memberikan suara pada pemilu 2009 nanti, tanpa memandang warna kulit, agama, suku, laki-laki atau perempuan, maka serahkanlah suara anda kepada caleg-caleg aktifis kerakyatan.
Memilih caleg aktifis kerakyatan berarti upah yang layak, lapangan kerja, serta jaminan sosial yang layak kepada bagi kaum buruh.
Memilih caleg aktifis kerakyatan berarti tanah, modal, jaminan ketersediaan pupuk, serta teknologi modern dan massal bagi petani;
Memilih caleg aktifis kerakyatan berarti sembako murah, jaminan pendidikan gratis, kesehatan gratis, serta jaminan pekerja bagi rakyat miskin;
Memilih caleg aktifis berarti kebebasan berekspresi dan penyediaan sarana-sarana berkesenian bagi para seniman;
Memilih caleg aktifis kerakyatan berarti jaminan persamaan hak dan perlindungan bagi hak-hak perempuan;
Memilih caleg aktifis kerakyatan berarti tata kelola ekonomi dan pembangunan secara demokratik dan menyelamatkan lingkungan;
Memilih caleg aktifis kerakyatan berarti proteksi dan perlindungan bagi pengusaha nasional dari gempuran neoliberalisme;
Bersatu, menuju pemilihan untuk mengalahkan partai-partai pendukung neoliberal, partai korup, dan penindas rakyat;
0 komentar:
Posting Komentar
Segala kritikan, cacian , makian dsb selalu diterim kirim juga pesan tau call : 0812 6034 7147 / 0819 3426 3185