Ditulis Oleh Mulyani Hasan, Sekjend AJI Bandung
Menjelang tutup tahun, para aktivis perempuan di berbagai belahan dunia, memperingati hari anti kekerasan terhadap perempuan selama 16 hari, 25 November-10 Desember. Banyak hal yang dilakukan, dari mulai diskusi hingga pemutaran film-film yang mengisahkan kekerasan terhadap perempuan.
Peringatan 16 hari melawan kekerasan terhadap perempuan ini, berawal dari kasus pembunuhan yang dilakukan oleh pemerintah diktator Trujilo, Republik Dominika terhadap Mirabal bersaudara, aktivis buruh perempuan pada 25 November 1960.
Perlawanan-perlawanan simbolik ini, lalu berkembang. Peristiwa 6 Desember 1989 di Kanada , juga jadi catatan buruk. Saat itu terjadi pembantaian terhadap 14 mahasiswi Fakultas Teknik di Montreal. Mereka dianggap telah mengganggu hak-hak khusus laki-laki karena mempelajari bidang teknik. Tragedi ini disebut dengan The Montreal Massacre. Kedua peristiwa itu melatarbelakangi pergerakan perempuan. Momentum itu diperkuat dengan penandatanganan Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia , pada 10 Desember 1948.
Gerakan perempuan kini menggelinding ke arah penyamaan hak dan keterlibatannya dalam panggung politik. Perempuan bukan lagi kelompok manusia kelas ke dua. Meski secara nyata perlakuan-perlakuan yang merendahkan perempuan, masih berlaku dimana-mana. Isu perempuan bukan lagi isu sektoral yang eklusif dan mementingkan kelompoknya saja, tapi isu ini bagian penting dari pengakuan Hak Azasi Manusia.
Lantas bagaimana pola gerakan perempuan selanjutnya? Apakah masih melingkar di arus tuntutan eksistensi dan kebebasan?
Banyak kelompok aktivis perempuan di Indonesia yang merangkak di jalur penyadaran kolektif, melalui kampanye-kampanye. Ini terjadi pada paruh 1970 di Amerika dan Inggris. Kaum perempuan memprotes kekuasaan laki-laki yang sangat dominan di luar dan di dalam rumah. Gerakan ini mampu membangun wacana pribadi menjadi politis, demikian juga sebaliknya. Apa yang dirasakan oleh perempuan di dalam rumah tangganya, menjadi persoalan yang bersifat politis.
Namun, sayangnya pada perkembangan ini, penyadaran yang dilakukan akhirnya bersifat elitis, dan membentuk kelas. Bagaimana bisa perempuan miskin yang hidup di perkampungan kumuh atau perempuan miskin yang hidup di desa, mendapat akses ke usaha-usaha penyadaran itu? Jangankan berdiskusi atau ikut mendengar ceramah, sementara waktunya sudah habis untuk mencari makan. Pada keluarga miskin, biasanya istri juga bekerja mencari nafkah di luar pekerjaan domestiknya sebagai ibu rumah tangga. Berbeda dengan perempuan kelas menengah, penekanannya bukan pada eksistensi sosial tapi untuk keberlangsungan hidup. Pekerjaan-pekerjaan yang tersedia bagi kaum perempuan miskin, seperti pembantu rumahtangga, tukang cuci atau berdagang.
Kemiskinan menyebabkan arus itu tetap berputar di sana. Perempuan dan kemiskinan terjalin intim, karena porsi perempuan untuk mengakses pendidikan dan memiliki alat produksi, sangat sedikit. Lalu timbul ketergantungan kepada laki-laki, dan memicu penguasaan dan kekerasan terhadap kaum perempuan.
Kaum Marxis menilai persoalan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan diakibatkan oleh modal dan akan selesai setelah “revolusi” (lihat Jules Tohwnshead dalam bukunya Politik Marxisme). Namun perdebatan apakah gerakan perempuan harus terpisah dari organisasi Marxis, terus diperdebatkan.
Dalam konteks gerakan perempuan saat ini, kita tidak lagi bicara seberapa banyak perempuan yang bisa merebut sektor kerja yang dikuasai laki-laki atau bicara soal hak bicara dan bereskpresi, tapi sudah saatnya kaum perempuan melakukan gerakan perubahan sistemik. Perempuan mengambil langkah politik yang bisa menentukan kebijakan, bukan hanya sub-ordinat dari organisasi-organisasi yang bersifat umum.
Faktanya, gerakan perempuan hanya memperpanjang pencitraan ortodoks, bahwa kaum kita ini hanya bisa bicara sendiri, dan dapat melihat persoalan secara keseluruhan, individualistik seperti peran pribadinya di lingkungan rumah tangga.
Meski beberapa partai politik di Indonesia, menyediakan keleluasaan bagi kaum perempuan, namun, itu hanya bagian dari perwujudan memenuhi tuntutan demokrasi. Dia (perempuan) hanya dipersiapkan untuk mengubah kaumnya sendiri dan dia terus tergerus dalam hal-hal kebijakan politik.
Di Amerika Latin, yang mengalami dekade perubahan sosial yang mirip dengan Indonesia, kondisi ini juga terjadi. Tapi gerakan perempuan di beberapa negara di Amerika Latin, mampu memobilisasi dirinya sendiri dan menyumbang perubahan yang berarti bagi kehidupan sosialnya.
Seorang ahli ilmu politik Uruguay, Corina Pereli mengeritik gerakan perempuan pasca jatuhnya rezim militer di negara itu. Pereli melihat betapa kekuatan perempuan hanya bisa berbagi dengan kaumnya sendiri.
Tidak ada yang berbau politis, setidaknya menurut istilah yang digunakan partai politik, mereka dipersiapkan untuk mengubah keadaan mereka sendiri, bukan untuk mengubah dunia atau menggulingkan rezim. (lihat dalam buku Gerakan Perempuan di Amerika Latin)
Di Indonesia, gerakan perempuan melawan kediktatoran pernah terjadi, tapi bukan dalam bentuk kelompok gerakan feminis. Pada saat keditatoran rezim Soeharto, banyak perempuan yang terlibat dalam gerakan politik radikal dan bergabung dengan kelompok-kelompok buruh, petani, kaum miskin kota dan mahasiswa. Menjelang reformasi 1998, ketika ribuan orang menduduki gedung Dewan Perwakilan Rakyat, ibu-ibu dengan sigap berinisiatif memasak dan membuat nasi bungkus untuk para demonstrans yang berjuang demi tegaknya demokrasi.
Di Aceh juga begitu, ibu-ibu turun ke jalan, menuntut hak rehabilitasi korban konflik. Mereka meneriakan Hak Azasi Manusia, karena anggota keluarganya mati atau dihilangkan paksa oleh rezim.
Bagaimana lantas gerakan perempuan ini bisa membentuk struktur kekuatan yang lebih besar dan signifikan terhadap bentuk-bentuk perlawanan dan perubahan sosial?
Partai politik yang ada, cenderung memanfaatkan isu ini untuk perolehan suara, tapi kondisi obyektifnya, tak berbuat apa-apa, selain mendudukan perwakilan perempuan di kursi parlemen.
Usul quota 30 % kursi untuk perempuan juga tak menjadi apa-apa. Pada akhirnya perwakilan perempuan itu akan mengamini kepentingan partai. Entah baik, entah buruk, yang penting sudah duduk perempuan di kursi parlemen.
Perempuan tak ubahnya seperti dagangan politik. Seperti ketika para politisi itu mengekploitasi kaum miskin, menjajikan perubahan dan kesejahteraan, padahal rakyat sudah mencatatnya. Berulangkali ingkar janji, ada saatnya melawan dan menagih bakul berisi janji-janji itu.
Perempuan sebagai bagian dari struktur sosial, sangat memungkinkan menyulam tali pengikat untuk perubahan dan kehidupan yang lebih baik. Setidaknya berteriak melawan kekuasaan yang feodalistik dan menghisap rakyat.
Diskrimansi dan kekerasan terhadap perempuan adalah watak feodalisme yang berkembangbiak di setiap otak manusia, bukan hanya kaum laki-laki. Perubahan itu bukan tidak mungkin, meski merangkak kesadaran itu akan menggelembung, jika akar persoalannya kita bereskan lebih dulu.
0 komentar:
Posting Komentar
Segala kritikan, cacian , makian dsb selalu diterim kirim juga pesan tau call : 0812 6034 7147 / 0819 3426 3185