Oleh : Tejo Priyono
Tahun 1940, pemerintah Uni Soviet dibawah Stalin menahan sekelompok orang yang berasal dari Amerika dan Polandia karena kegiatan mata-mata. Mereka dijebloskan ke penjara musim dingin Siberia yang di film ini digambarkan kejam tak manusiawi, digiring ke kamp kerja paksa dalam badai salju mengerikan. Hingga olok-olok sesama tahanan yang mengatakan bahwa kesanggupan hidup mereka paling lama 6 bulan dari 10 hingga 20 tahun masa hukuman. Karena situasi yang buruk itu, maka para tahanan pun berkomplot untuk “melarikan diri”.
Dalam masa pelarian, para tahanan ini harus bertahan hidup dengan melawan ganasnya alam, salju tebal Himalaya yang sanggup meremukkan tulang, hingga gersangnya gurun pasir Ghobi yang membuat kulit muka terkelupas. Jalan kaki 6 ribu kilometer, menjauh dari tanah komunis, dengan harapan bahwa mereka bisa berkumpul kembali dengan keluarga nan hangat di negeri “bebas” Amerika.
The Way Back karya sutradara Peter Weir dengan para aktor pemeran Colin Farrell, Ed Harris, Jim Sturgess, Saoirse Ronan, dibuat berdasar buku memori “The Long Walk” Slavomir Rawicz, pamer pemandangan alam nan menawan; gurun pasir – pegunungan salju, bukit musim gugur serta konflik selama pelarian para tokoh di film tersebut begitu dramatik.
Barat/hollywood kerapkali berpropaganda mengenai “komunisme yang buruk”, dan ini menjadi sangat efektif sekali lewat media film karena mereka menguasai jalur distribusi. Banyak pesan propaganda mereka sukses melalui film yang disebarkan ke seluruh belahan dunia.
Hanya saja memang, film bantahan terhadap film semacam ini sangat sedikit, sehingga propaganda semacam ini tetap terpelihara dengan baik.
Kalaupun ada, jumlahnya sangat minim dan juga sebarannya, dan itupun hanya sebatas pada panggung hajatan festival film independen yang sempit cakupan – jumlah pemirsa dan apresiatornya. Semisal karya-karya John Pilger ‘The War On Democracy’ tentang antologi kekejaman para diktator di negara-negara Amerika latin semasa perang dingin, atau “The New Rulers Of The World” tentang kejinya efek globalisasi karena membuat kemiskinan akut di banyak negeri dunia ketiga utamanya Indonesia. Juga ada Michael Moore yang begitu kontroversial dengan “Fahrenheit 9/11″-nya, atau mengobok-obok sistem pemerintahan AS lewat “Capitalism: A Love Story”.
Bagaimana dengan produksi film nasional? Tentu saja belum bisa berharap banyak, karena film-film kita (masih) sibuk ngurusi kuntilanak – pocong dan jelangkung, plus menghadirkan – melahirkan bom seks baru, biar orang banyak mau datang ke bioskop.
0 komentar:
Posting Komentar
Segala kritikan, cacian , makian dsb selalu diterim kirim juga pesan tau call : 0812 6034 7147 / 0819 3426 3185