Oleh : Ir. Soekarno
SAUDARA-SAUDARAKU sekalian
Saya adalah orang islam, dan saya keluarga Negara Republik Indonesia. Sebagai orang islam, saya menyampaikan salami slam kepada saudara-saudara sekalian, “assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sebagai warga Republik Indonesia, saya menyampaikan kepada saudara-saudara sekalian, baik yang beragama islam, baik beragama Hindu-Bali, baik yang beragama lain, kepada saudara-saudara sekalian saya menyampaikan salam nasional “Merdeka”!
Tahukah saudara-saudara, arti perkataan “salam” sebagai bagian daripada perkataan assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu? Salam artinya damai, sejahtera. Jikalau kita menyebutkan assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, berarti damai dan sejahterahlah sampai kepadamu. Dan moga-moga rahmat dan berkat Allah jatuh kepadamu. Salam ber-arti damai, sejahtera. Maka oleh karena itu, saya minta ke-pada kita sekalian untuk merenungkan benar-benar akan arti perkataan “assalamu alaikum”.
Salam—damai—sejahtera!
Marilah kita bangsa Indonesia terutama sekalian yang beragama islam hidup damai dan sejahtera satu sama lain. Jangan kita bertengkar terlalu-lalu sampai membahayakan persatuan bangsa. Bahkan jangan kita sebagai gerombolan-gerombolan yang menyebutkan assalamu alaikum, akan tetapi membakar rumah-rumah rakyat.
Salam—damai—sejahtera! Rukun—bersatu! Terutama sekali dalam didalam revolusi nasional kita belum selesai ini.
Dan sebagai warganegara yang merdeka, saya tadi memekikkan pekik “Merdeka” bersama-sama dengan kamu. Kamu yang beragama islam, kamu yang beragama Kristen, kamu yang beragama Syiwa Buddha, Hindu-Bali atau agama lain. Pekik merdeka adalah pekik yang membuat rakyat Indonesia itu, walaupun jumlahnya 80 juta, menjadi bersatu tekad, memenuhi sumpahnya “sekali merdeka tetap merdeka”!
Pekik merdeka, saudara-saudara, adalah “pekik pengikat”. Dan bukan saja pekik pengikat, melainkan adalah cetusan daripada bangsa yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan imprealisme—dengan tiada ikatan penjajahan sedikit pun. Maka oleh karena itu, saudara-saudara, terutama sekali fase revolusi nasional kita sekarang ini, fase revolusi nasional belum selesai, jangan lupa kepada pekik merdeka! Tiap-tiap kali kita berjumpa satu sama lain, pekikkanlah pekik “merdeka”!
Tatkala aku mengadakan perjalanan ke tanah suci beberapa pekan yang lalu, aku telah diminta oleh khalayak Indonesia dikota Singapura untuk mengadakan amanat kepada mereka. Ketahuilah, bahwa di Singapura itu berpuluh-puluh ribu orang Indonesia berdiam. Mereka bergembira, bahwa Presiden Republiknya lewat Singapura. Mereka menyambut kedatangan Presiden Republik Indonesia itu dengan gegap-gempita, dan diminta kepada Presiden Republik Indonesia untuk memberikan amanah kepadanya. Didalam amanah itu beberapa kali dipekikkan pekik “merdeka”.
Apa lacur? Sesudah bapak meneruskan perjalanan ke Bangkok ke Rangoon, ke New Delhi, Karachi, ke Bagdad, ke Mesir, ke Negara Saudi Arabia, sesudah bapak meninggalkan kota Singapura, geger….pers imprealisme Singapura, saudara-saudara. Mereka berkata: “Presiden Soekarno kurang ajar”. Presiden Soekarno menjalankan ill-behavior, katanya. ill-behavior itu artinya tidak tau kesopanan. Apa sebabnya pers imprealisme mengatakan bapak menjalankan ill-behavior, kurang ajar? Kata mereka, toh tahu Singapura ini bukan negeri merdeka? Toh tahu, bahwa disini masih didalam kekuasaan asing, kok memekikkan pekik “merdeka”?
Tatkala bapak kembali dari tanah suci, singgah lagi di Singapura, bapak dikeroyok oleh responden-responden dan wartawan-wartawan. Mereka menanyakan kepada bapak: “Tahukah PYM Presiden, bahwa tatkala PYM Presiden meninggalkan kota Singapura ddalam perjalanan ke Mesir dan tanah suci, PYM dituduh kurang ajar, kurang sopan, ill-behavior, oleh karena PYM memekikkan pekik merdeka dan mengajarkan kepada bangsa Indonesia disini memekikkan pekik merdeka? Apa jawab Paduka Yang Mulia atas tuduhan itu?”
Bapak menjawab: “jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warganegara Republik Indonesia berjumpa dengan warganegara Republik Indonesia, pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia selalu memekikkan pekik “merdeka”! Jangankan di sorga, didalam neraka pun”!
Nah…saudara-saudara dan anak-anakku sekalian, jangan lupa akan pekik merdeka itu. Gegap-gempitakan tiap-tiap kali pekik merdeka itu. Apalagi sebagai bapak katakan tadi dalam fase revolusi nasional kita yang belum selesai. Dus kuulangi lagi, sebagai manusia yang beragama islam, aku menyampaikan kepadamu salam “assalamu alaikum!” sebagai warganegara Republik Indonesia, aku menyampaikan kepadamu “merdeka!”
Saudara-saudara, aku pulang dari Bali—beristirahat beberapa hari disana—diminta oleh Kongres Rakyat Jawa Timur untuk pada inti malam memberikan sedikit ceramah, wejangan, amanah, terutama sekali mengenai hal “apa sebabnya negara Republik Indonesi berdasarkan kepada Pancasila? Dan memberikan penerangan tentang hal Panca Dharma.
Tadi, tatkala aku baru masuk gedung Gubernuran ini, hati kurang puas. Apa sebab? Terlalu jauh jarak rakyat dengan bung Karno. Maka oleh karena itulah saudara-saudaraku dan anak-anakku sekalian, maka bapak minta kepadamu pimpinan agar supaya saudara-saudara diberi izin lebih dekat. Sebab, saudara-saudara tahu isi hati bapak ini, isi hati Presiden, isi hati bung Karno, kalau jauh daripada rakyat rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat dengan rakyat, rasanya laksana Kokrosono turun dari pertapaannya.
Permintaan Kongres Rakyat untuk memberikan amanat kepada saudara-saudara, insya Allah saya kabulkan. Dan dengarkan benar, aku berpidato disini bukan sekedar sebagai Soekarno. Bukan sekedar sebagai bung Karno. Bukan sekedar sebagai pak Karno. Aku berpidato disini sebagai Presiden Republik Indonesia! Sebagai Presiden Republik Indonesia aku diminta memberi penjelasan tentang Pancasila. Apa sebabnya negara Republik Indonesia didasarkan atasa Pancasila?
Apa sebab? Tak lain dan tak bukan ialah oleh karena aku ini Presiden Republik Indonesia disumpah atas Undang-Undang dasar kita. Saya tadi berkata, bahwa saya memenuhi permintaan Kongres Rakyat Jawa Timur dengan penuh kesenangan hati, ialah oleh karena saya ini sebagai Presiden Republik disumpah atas dasar Undang-Undang dasar kita. Disumpah harus setia kepada Undang-Undang dasar kita. Didalam Undang-Undang dasar kita, dicantumkan satu mukadimah, kata pendahuluan. Dan didalam kata pendahuluan itu dengan tegas disebutkan Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan Indonesia yang bulat, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”. Malahan bukan satu kali ini Pancasila itu disebutkan didalam Undang-Undang dasar kita. Sejak kita didalam tahun 1945 telah berkemas-kemas untuk menjadi suatu bangsa yang merdeka, sejak itu kita telah mengalami empat kali naskah.
Sebelum kita mengadakan proklamasi 17 agustus, sudah ada naskah. Kemudian pada tanggal 17 agustus, satu naskah lagi. Kemudian tatkala RIS dibentuk, satu naskah lagi. Kemudian sesudah itu, tatkala kita kembali kepada zaman Republik Indonesia Kesatuan, satu naskah lagi. Empat kali naskah, saudara-saudara. Dan didalam keempat naskah itu dengan tegas disebutkan Pancasila.
Pertama, tatkala kita didalam zaman Jepang, kita telah berkemas-kemas didalam tahun 1945 itu untuk menjadi bangsa yang merdeka. Pada waktu itu telah disusunlah satu naskah yang dinamakan “Charter Jakarta”. Didalam Charter Jakarta ini telah disebutkan dengan tegas lima azas yang hendak kita pakai sebagai pegangan untuk negara yang akan datang. “Ketuhanan yang maha esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”.
Demikian pula tatkala kita telah memproklamirkan kemerdekaan kita pada tanggal 17 agustus 1945, dengan tegas pula keesokan harinya, saudara-saudara, kukatakan dengan Undang-Undang Dasar yang kita pakai ini. Yaitu undang-undang dasar yang kita rencanakan pada waktu zaman Jepang dibawah ancaman bayonet Jepang; kita rencanakan satu undang-undang dasar daripada negara Republik Indonesia yang kita proklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945. Dan didalam Undang-Undang Dasar itu dengan tegas dikatakan Pancasila: “Ketuhanan yang maha esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”.
Tatkala berhubung dengan jalannya politik, negara Republik Indonesia Serikat dibentuk (RIS), pada waktu itu dibentuklah Undang-Undang Dasar RIS. Dan didalam mukadimah Undang-Undang Dasar RIS ini disebutkan lagi dengan tegas Pancasila.
Kita tidak senang dengan federal-federalan. Segenap rakyat akan memprotes akan adanya susunan ini. Delapan bulan susunan federal ini. Delapan bulan susunan RIS berdiri, hancur lebur RIS, berdirilah negara Republik Indonesia Kesatuan. Dan Undang-Undang Dasar yang dipakai RIS ini diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara daripada negara Republik Indonesia Kesatuan. Tetapi tidak diubah isi mukadimah yang mengandung Pancasila.
Jadi, dengan tegas, saudara-saudara, jelas! Empat kali didalam sepuluh tahun ini kita melewati empat naskah. Tiap-tiap naskah menyebutkan Pancasila. Dan tatkala aku dengan karunia Alla SWT dinobatkan menjadi Presiden, aku disumpah. Dan isi sumpah itu antara lain setia kepada Undang-Undang Dasar. Maka oleh karena itulah, saudara-saudara, rasa sebagai kewajiban jikalau diminta oleh sesuatu golongan akan keterangan tentang Pancasila, memenuhi permintaan itu.
Dan pada ini malam dengan mengucap suka syukur kehadira Allah SWT, aku berdiri dihadapan saudara-saudara. Berhadap-hadapan muka dengan kaum buruh, dengan pegawai, rakyat jelata, Pihak Angkatan Laut Republik Indonesia dan pihak tentara, dengan pihak Mobrig, pihak polisi, pihak perintis, dengan pemuda, dengan pemudi, berdiri dihadapan saudara-saudara dan anak-anak sekalian, yang telah datang membanjiri lapangan yang besar ini laksana air hujan. Aku mengucap banyak terima kasih kepadamu. Dan insya Allah, saudara-saudara, aku akan terangkan kepadamu tentang apa sebab negara Republik Indonesia didasarkan Pancasila.
Saudara-saudara. Ada yang berkata Pancasila ini hanya sementara! Yah….jikalau diambil didalam arti itu, memang Pancasila adalah sementara. Tetapi bukan saja Pancasila adalah sementara, bahkan ketentuan didalam Undang-Undang Dasar kita, bahwa Sang Merah Putih bendera kita, itupun sementara! Segala Undang-Undang Dasar kita sekarang ini adalah sementara.
Tidakkah tadi telah kukatakan, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita pakai sekarang ini, malahan disebut Undang-Undang Dasar Sementara daripada negara Republik Indonesia? Apa sebab sementara? Yah…..oleh karena akhirnya nanti yang akan menentukan segala sesuatunya ialah konstituante.
Maka itu saudara-saudara, kita akan mengadakan pemilihan umum dua kali. Pertama, pada tanggal 29 september nanti, insya Allah, untuk memilih DPR. Kemudian pada tanggal 5 desember untuk memilih konstituante adalah Badan pembentuk Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar yang tetap. Konstituante adalah pembentuk konstitusi. Konstitusi berarti Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar tetap bagi negara Republik Indonesia, yang sampai sekarang ini segala-segalanya masih sementara.
Tetapi, saudara-saudara, jikalau ditanya kepadaku “Apa yang berisi kalbu bapak ini akan permohonan kepada Allah SWT? Terus terang aku berkata, jikalau saudara-saudara membelah dada bung Karno ini, permohonanku kepada Allah SWT ialah, saudara-saudara bisa membaca didalam dada bung Karno memohon kepada Allah SWT supaya negera Republik Indonesia tetap berdasarkan Pancasila.
Yah…benar, bahwa segal sesuatunya adalah sementara. Tetapi aku berkata, bahwa Sang Merah Putih adalah sementara, adalah bendera Republik Indonesia pun sementara. Dan jikalau nanti konstituante bersidang, insa Allah, Saudara-saudaraku, siang dan malam bapak memohon kepada Allah SWT agar supaya konstituante tetap menetapkan bendera Sang Merah sebagai bendera negara Indonesia.
Aku minta kepadamu sekalian, janganlah memperdebatkan Sang Merah Putih ii . jangan ada satu pihak yang mengusulkan warna lain sebagai bendera Republik Indonesia.
Tahukah saudara-saudara, bahwa warna Merah Putih ini bukan buatan Republik Indonesia? Bukan buatan kita dari zaman pergerakan nasional. Apalagi bukan buatan bung Karno, bukan buatan bung Hatta! Enam ribu tahun sudah kita mengenal akan warna Merah Putih ini. Bukan beribu tahun, bukan dua ribu tahun, bukan tiga ribu tahun, bukan empat ribu tahun, bukan enam ribu tahun! Enaaaam….ribu tahun kita telah mengenal warna Merah Putih!
Tatkala disini belum ada agama Kristen, belum ada agama Islam, belum ada agama Hindu, bangsa Indonesia telah mengagungkan warna Merah Putih. Pada waktu itu kita belum mengenal Tuhan dalam cara mengenal sebagai sekarang ini. Pada waktu itu yang kita sembah adalah matahari dan bulan. Pada waktu itu kita hanya mengira, bahwa yang memberi hidup itu matahari. Siang matahari, malam bulan. Matahari merah, bulan putih. Pada waktu itu kita telah mengagungkan warna Merah Putih.
Kemudian bertambah kecerdasan kita. Kita lebih dalam menyelami akan hidup di alam ini. Kita memperhatikan segala sesuatu didalam alam ini dan kita melihat. Oh, alam ini ada yang hidup bergerak, ada yang tidak bergerak. Ada manusia dan binatang, makhluk-makhluk yang bergerak. Ada tumbuh-tumbuhan yang tidak bisa bergerak. “manusia dan binatang itu darahnya merah. Tumbuh-tumbuhan darahnya putih”. Getih-getah. Cuma i diganti a. Dulu kita mengagungkan matahari dan bulan yang didalam alam Hindu dinamakan Surya Chandra. Kemudian kita mengagunkan getah-getih. Merah-Putih, saudara-saudara, itu adalah fase kedua.
Fase ketiga, manusia mengerti akan kejadian manusia. Mengerti, bahwa kejadian manusia ini adalah daripada perhubungan laki dan perempuan, perempuan dan laki. Orang mengerti perempuan adalah merah, laki adalah putih.
Dan itulah sebabnya maka tidak turun-temurun mengagungkan merah putih. Apa yang dinamakan “gula-kelapa”, mengagungkan bubur bang putih. Itulah sebabnya maka kita kemudian tatkala kita, mempunyai negara-negara setelah mempunyai kerajaan-kerajaan, memakai merah putih itu sebagai bendera negara. Tatkala kita mempunyai kerajaan Singosari, merah putih telah berkibar terus dirampas oleh imprealisme asing. Tetapi didalam dada kita tetap hidup kecintaan kepada merah putih.
Dan tatkala kita, mengadakan pergerakan nasional sejak tahun 1908, dengan lahirnya Budi Utomo dan diikuti oleh Serikat Islam, oleh NIP (National Indische Party), oleh ISDP oleh PKI, oleh Serikat Rakyat, oleh PPPK, oleh PBI, oleh Parindra, dan lain-lain, maka rakyat Indonesia tetap mencintai merah putih sebagai warna benderanya.
Dan tatkala kita pada tanggal 17 agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan itu, dengan resmi kita menyatakan sang merah putih adalah bendera kemerdekaan kita.
Itu semua jika dikatakan sementara, ya sementara ! sebab konstituante belum bersidang. konstituate mau mengubah warna ini?? lho, kok menurut haknya, boleh saja. Sebab konstituante itu adalah kekuasaan kita yang tertinggi. penyusun, pembentuk konstitusi. Jadi konstituante misalnya hendak menentukan warna bendera Negara Republik Indonesia bukan merah putih, yah mau dikatakan apa?
Tetapi bapak berkata, bapak memohon kepada allah swt agar supaya warna merah putih tetap menjadi warna bendera bendera republik Indonesia.
Kembali lagi kepada Indonesia. Jika dikatakan sementara, yaaa….sementara!
Lagi-lagi bapak berkata ini berkata, allah swt, allah swt. Dan bapak pun bersyukur kehadirat allah swt, bahwa cita-cita bapak yang sudah bertahun-tahun untuk haji dikabulkan oleh allah swt. Lagi-lagi, allah swt.
Saudara-saudara, jikalau aku meninggalkan dunia nanti, ini hanya tuhan mengetahui, dan tidak bisa dielakkan semua orang, jikalau ditanya oleh malaikat: hai….Soekarno, tatkala engkau hidup di dunia, engkau telah mengerjakan beberapa pekerjaan. Pekerjaan yang paling engkau cintai? Pekerjaan apa yang paling engkau kagumi? Pekerjaan apa yang paling engkau ucapkan syukur kepada allah swt? moga-moga saudara-saudara aku bisa menjawab–ya…bisa menjawab demikian tau tidaknya itu tergantung dari pada allah swt: “tatkala aku hidup didunia ini, aku telah ikut membentuk negara republik Indonesia. Aku telah ikut membentuk satu wadah bagi masyarakat Indonesia”.
Sebagai sering kukatakan saudara-saudara, negara adalah wadah. Jikalau aku diberi karunia oleh allah swt mengerjakan pekerjaan satu ini saja, allahu akbar, aku akan berterima kasih setinggi langit. Yaitu untuk pekerjaan ini saja, ikut membentuk wadah. Wadahnya, wadahnya saja yang bernama negeri ini. Didalam wadah ini ada masyarakat. Wadah yang dinamakan negara ini adalah wadah untuk masyarakat.
Membentuk wadah adalah lebih mudah daripada membentuk masyarakat. Membentuk wadah adalah sebenarnya bisa dijalankan dalam satu hari—wadah yang bernama negeri itu.
Tidaklah, saudara-saudara, dari sejarah dunia kadang-kadang mendengar, bahwa oleh suatu konperensi kecil sekonyong-konyong diputuskan dibentuk negara ini, dibentuk negara itu. Misalnya, dahulu sesudah peperangan dunia yang pertama, tidakkah negara Cekoslowakia sekedar dengan coretan pena dari suatu konperensi kecil. Membentuk negara…., gampang! Dulu disini pernah dibentuk negara Indonesia Timur, negara Pasundan, hanya dengan dekrit Van Mook, saudara-saudara! Tetapi mencoba membentuk masyarakat, susah!.
Membentuk masyarakat, kita harus bekerja siang dan malam, bertahun-tahun, berpuluh-tahun, kadang-kadang berwindu-windu, berabad-abad. Masyarakat apapun tidak gampang dibentuknya. Itu meminta pekerjaan kita terus menerus. Baik masyarakat islam, maupun masyarakat kristen maupun sosialis. Bukan bisa dibentuk dengan satu dekrit saudara-saudara, dengan satu tulisan, dengan satu unjau nafas manusia. Membentuk masyarakat makan waktu!
Yah…, aku bermohon kepada tuhan, diperbolehkanlah hendaknya ikut membentuk masyarakat pula. Masyarakat di dalam wadah itu.
Tetapi aku telah bersyukur seribu syukur kepada tuhan, jikalau nanti aku bisa menjawab kepada malaikat itu, bahwa hidupku di dunia ini antara lain-lain ialah telah ikut membentuk wadah ini saja. Membentuk wadah yang bernama negara dan wadah ini buat suatu masyarakat yang besar. Walaupun rapat ini lebih daripada satu juta manusia saudara-saudara, wadah ini bukan kok cuma buat satu juta manusia itu saja. Tidak! wadah yang bernama negara, negara yang bernama republik Indonesia itu adalah wadah untuk masyarakat Indonesia yang 80 juta, dari sabang sampai marauke! Dan masyarakat Indonesia ini adalah beraneka ragam, beraneka adat-istiadat, beraneka suku. Bertahun-tahun aku ikut memikirkan ini. Nanti jikalau allah swt memberikan kemerdekaan kepada kita, dulu berpikiran demikianlah bapak, jikalau negara republik Indonesia telah berdiri, segenap rakyat Indonesia yang 80 juta. Negara harus didasarkan apa?
Tatkala aku masih berumur 25 tahun, aku telah memikirkan hal ini. Tatkala aku aktif didalam pergerakan, aku lebih-lebih lagi memikirkan hal ini. Tatkala dalam zaman Jepang, tetapi oleh karena tekad kita sendiri, usaha kita sendiri, pembantingan tulang sendiri, korbanan kita sendiri, tatkala fajar telah menyinsing, lebih-lebih kupikirkan lagi hal ini. Wadah ini hendaknya jangan retak. Wadah ini hendaknya utuh sekuat-sekuatnya. Wadah untuk segenap rakyat Indonesia, dari sabang sampai marauke yang beraneka agama, beraneka suku beraneka adat-istiadat.
Sekarang aku menjadi presiden republik Indonesia adalah karunia tuhan. Aku tidak menyesal, bahwa aku telah memfomulirkan pancasila. Apa sebabnya? barangkali lebih daripada siapa pun di Indonesia ini, aku mengetahui akan keanekaan bangsa Indonesia ini, aku mengetahui publik Indonesia aku berkesempatan sering-sering untuk melewat ke daerah-daerah. Sering-sering aku naik kapal udara. Malahan jikalau didalam kapal udara aku sering-sering, katakanlah, main gila dengan pilot. Pilot terbanglah tinggi, lalu akan tanya kepadanya:
“Saudara pilot, berapa tinggi ?”
“12.000 kaki paduka yang mulia”
“kurang tinggi, naikkan lagi”
“13.000 kaki”
“Hahaa…kurang tinggi bung!”
“14.000 kaki”
“kurang tinggi!”
“15.000 kaki”
“kurang tinggi”
“16.000 kaki”
“kurang tinggi”
“17.000 kaki”
“kurang tinggi”
“sudah tidak bisa lagi, paduka yang mulia. Kapal udara kita sudah mencapai plafon’.
Plafon itu ialah tempat yang setinggi-tingginya bagi kapal udara itu.
Aku terbang dari barat ke timur, dari timur ke barat. Dari utara ke selatan, dari selatan ke utara. Aku melihat tanah air kita. Allahu akbar, cantiknya bukan main! dan bukan saja cantik, sehingga benarlah apa yang diucapkan oleh Multatuli didalam kitab “Max Havelar”, bahwa Indonesia ini adalah demikian cantiknya, sehingga ia sebutkan “Indulinde de zich daar slingert om den evenaar als een gordel van smaragd”. Indonesia yang laksana ikat pinggang terbuat daripada zamrud berlilit-lilit sekeliling khatulistiwa! Indahnya demikian.
Ya…, memang saudara-saudara, jikalau engkau terbang 17.000 kaki diangkasa dan melihat kebawah, kelihatan betul-betul Indonesia ini adalaha sebagai ikat pinggang yang terbuat dari zamrud, melilit mengelilingi khatulistiwa, berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu pulau saudara melihat. Dan tiap-tiap pulau itu berwarna-warna. Ada yang hijau kehijauan, ada yang kuning kekuningan. Indah permai tanah air kita ini, saudara-saudara. Lebih daripada 3.000 pulau, bahkan kalau dihitung dengan yang kecil-kecil, 10.000 pulau.
*)Pidato di Surabaya, 24 September 1955
0 komentar:
Posting Komentar
Segala kritikan, cacian , makian dsb selalu diterim kirim juga pesan tau call : 0812 6034 7147 / 0819 3426 3185