Oleh: Arie Ariyanto*)
JAKARTA, Berdikari Online: Sejak krisis ekonomi, muncul sebuah tekanan yang sangat kuat agar segala bentuk intervensi pemerintah dipangkas secara drastis, sehingga seluruh kepentingan nasional, termasuk urusan pangan, diserahkan kepada mekanisme pasar. Tekanan tersebut, terutama sekali, muncul dari negera-negara maju pemberi pinjaman, khususnya AS, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia (WB).
Pangan
Harga pangan dunia diperkirakan bakal mengalami lonjakan hebat pada tahun ini. Menurut perkiraan International Food Policy Research Institute (IFPRI), tren ketahanan pangan dunia terus mengalami penurunan. Beberapa waktu lalu, Pemimpin Bank Pembangunan Asia (ADB) memperingatkan bahwa "masa pangan murah sudah berlalu", dan ADB akan segera mengumumkan bantuan darurat yang ditujukan untuk membantu negara miskin mengatasi harga pangan yang melonjak. Presiden Bank, Haruhiko Kuroda dalam pertemuan ADB di Madrid Spanyol, mengumumkan lebih dari 11 miliar dolar dalam bentuk pinjaman akan disalurkan ke negara miskin yang terpukul oleh harga pangan.
Sebagai gambaran kenaikan, harga beras umum pada minggu kedua Februari 2010 mencapai Rp 7.409 per kilogram (kg). Terjadi kenaikan 7,41 persen di atas harga rata-rata Desember 2009 atau naik 9,28 persen dari posisi harga Oktober 2009, dan 12,36 persen lebih mahal daripada harga beras umum pada Januari 2009. Adapun harga beras termurah pada minggu kedua Februari 2010 pada kisaran Rp 6.000 per kg, lebih mahal 7,07 persen daripada Desember 2009. Harga tersebut naik 8,99 persen dibandingkan dengan harga beras termurah pada tiga bulan terakhir ini dan naik 11,19 persen dari posisi Januari 2009 (Pusat Distribusi Pangan, Badan Ketahanan pangan).
Pangan merupakan isu menarik, karena memuat dimensi yang sangat kompleks dan luas, serta saling terkait untuk dianalisis dari berbagai sudut pandang -- ekonomi, politik maupun sosial budaya. Satu dekade terakhir, isu pangan menjadi tema strategis ketika dunia di kejutkan oleh kenaikan harga secara global pada komoditi biji-bijian, hingga sejumlah negara menghadapi krisis dan rawan pangan. Hal itu, tentunya memaksa negara-negara untuk memformulasikan kebijakan pangan nasionalnya dalam mencukupi kebutuhan pangan penduduknya. Kondisi tersebut berkonsekuensi logis bagi semua pihak dalam menempatkan ketahanan pangan sebagai sebuah agenda utama untuk jangka menengah dan jangka panjang pembangunan, atau minimal menyadarkan bahwa ketahanan pangan adalah sebuah agenda yang harus ditransformasikan secepatnya secara kongkret.
Konstitusi kita mengamanatkan UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Dalam UU Pangan, secara gamblang didefinisikan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dalam konteks sebagai penduduk sebuah negara dan harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakatnya secara sinergis. Hal ini dapat diartikan bahwa untuk mewujudkan ketahanan pangan disyaratkan adanya interdependensi dari sisi pemerintah dan dari sisi masyarakat secara seimbang. Dengan demikian, secara eksplisit ditegaskan dalam UU tersebut bahwa pemerintah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan. Sedangkan, masyarakat berperan sebagai pihak yang bertugas menyelenggarakan proses produksi, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang memiliki hak untuk mengakses pangan yang cukup dalam hal jumlah, mutu dan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan (food security), merupakan kebijakan dan strategi pertanian dan penyediaan pangan. Ketahanan pangan, oleh sebagian ekonom dianggap konsep teknis dan definisi mengenai hal itu sangatlah luas, tergantung dari dimensi dan kepentingan dibaliknya (Smith et al, 1992). Definisi ketahanan pangan yang paling banyak dianut adalah hasil kesepakatan Pertemuan Puncak Pangan Dunia (World Food Summit) 1996, yang menekankan akses semua orang terhadap pangan pada setiap waktu, tidak memandang di mana pangan itu diproduksi dan dengan cara bagaimana. Ketahanan pangan lalu mengalami pembiasan ke kemampuan untuk menyediakan pangan pada level global, nasional, maupun regional yang menjadikan perdagangan internasional menjadi suatu keniscayaan.
Ketahanan pangan adalah sebuah bangunan sistem yang terdiri dari tiga subsistem yang saling interdependen dan tidak bisa dibahas secara parsial. Bangunan sistem tersebut dimulai dari produksi, distribusi sampai kepada aktivitas konsumsi. Sinergisitas dari ketiga subsistem ini akan menciptakan sebuah kondisi ketahanan pangan yang tercermin dari terjaga dan stabilnya tingkat pasokan, kemudian diikuti dengan mudahnya masyarakat dalam mengakses pangan baik dalam aspek ketersediaan maupun aspek keterjangkauan harga yang pada akhirnya akan tercapai sebuah tingkat gizi yang baik secara umum di masyarakat.
Subsistem pertama, ketersediaan atau produksi memastikan ketersediaan pasokan pangan dalam rangka pemenuhan kebutuhan seluruh penduduk dari berbagai segi (kuantitas, kualitas dan keragaman). Ada tiga alternatif yang dapat dilakukan sebuah negara untuk menjamin pasokan dalam membangun subsistem produksi, yaitu : (1) meningkatkan produksi dalam negeri, (2) Pengelolaan cadangan pangan, (3) impor pangan sebagai contingency planning ketika produksi dalam negeri diperkirakan tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Kedua, subsistem distribusi. Penguatan di subsistem produksi/ketersediaan pasokan tidak akan memberi nilai tambah bagi masyarakat apabila tidak didukung dengan berjalannya subsistem distribusi. Melihat kondisi Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki variasi kemampuan produksi antar wilayah dan antar musim, manajemen distribusi yang baik dan berpihak kepada seluruh lapisan masyarakat sangat mutlak diperlukan untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan sepanjang waktu. Hal ini membawa konsekuensi bagi pemerintah untuk menciptakan perundangan dan sebuah lembaga yang mampu memastikan terciptanya kondisi dimana seluruh masyarakat memiliki kemampuan untuk mengakses pangan secara mudah dengan harga yang rasional dan terjangkau sepanjang waktu.
Kebijakan menyerahkan kelancaran subsistem distribusi komoditi pangan pokok kepada entitas bisnis ansich dalam mekanisme pasar, tentu saja, akan memicu kerawanan sosial dan berpotensi dimanfaatkan oleh spekulan tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional. Hal ini berkorelasi dengan fluktuasi harga dan pasokan pada komoditi pangan pokok yang dampaknya akan menimbulkan kerugian bagi konsumen -- rakyat. Hampir semua negara berkembang di dunia memiliki perangkat hukum dan kelembagaan untuk melakukan intervensi kebijakan, dalam rangka menjaga stabilitas harga dan pasokan untuk komoditi pangan strategis yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Indonesia memiliki Bulog sebagai lembaga pangan yang pada masanya diakui dapat menjamin bekerjanya subsistem distribusi secara optimal. Dalam perjalananya, Bulog mengalami berbagai proses transformasi, semisal kelembagaan, dengan pembatasan kewenangan berkaitan dengan kegiatan operasional dan pengelolaan komoditi (hanya beras). Transformasi Bulog paling signifikan adalah akibat dari tekanan IMF dan World Bank pada era liberalisasi, yang berakibat tereduksinya peran Bulog secara signifikan dalam menunjang keberhasilan subsistem distribusi pangan. Bulog mempunyai beban untuk menjalankan fungsi komersial, ditengah fungsi sosial menjaga stabilisasi harga pangan.
Ketiga adalah subsistem konsumsi. Yaitu subsistem yang berfungsi untuk membawa masyarakat menuju pola food utilization yang optimal dan memenuhi kaidah mutu, keragaman dan kandungan gizi serta tingkat kehigienisannya. Kinerja subsistem ini memiliki indikator yang tercermin dalam pola konsumsi makanan sehat dalam entitas paling dasar yaitu rumah tangga.
Pada lingkup spesifik, Indonesia menghadapi masalah mendasar dalam menentukan kebijakan pertanian, sebagai bagian dari kebijakan pangan secara keseluruhan. Hal itu terkait antara pengelolaan keseimbangan di tingkat produksi dengan tingkat konsumsi secara nasional. Salah satu sumber masalahnya terletak pada pada tingkat akurasi data statistik yang disajikan oleh BPS dan berbagai instansi terkait lainnya dalam memperkirakan jumlah konsumsi dan produksi, yang menjadi dasar dalam memformulasikan kebijakan. Selama ini Indonesia memiliki kecenderungan over estimate di sisi produksi dan under estimate di sisi konsumsi dikarenakan data acuan yang kurang tepat. Akibatnya Pemerintah tidak pernah tahu tingkat supply dan demand di dalam negeri dan berapa ton yang harus dicukupi melalui impor bila supply lebih kecil dari pada demand.
Disfungsi di subsistem produksi yang ditandainya dengan semakin tingginya kecenderungan untuk melakukan impor ternyata diikuti dengan keadaan yang kurang lebih sama di subsistem selanjutnya, yaitu subsistem distribusi. Sejak krisis ekonomi, timbul tekanan yang sangat kuat agar intervensi pemerintah dipangkas secara drastis sehingga semua kepentingan nasional termasuk pangan harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Tekanan tersebut terutama mucul dari negara-negara maju pemberi pinjaman khususnya AS dan lembaga keuangan internasional seperti IMF dan World Bank. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa tekanan barat dalam kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia agar lebih ‘bersahabat' dengan mekanisme pasar membawa banyak konsekuensi secara struktural dan kelembagaan, termasuk dalam kebijakan pangan.
Revitalisasi Pertanian Dan Kunci Ketahanan Pangan
Untuk memperbaiki ketahanan pangan pada subsistem ketersediaan, sudah saatnya kita harus benar-benar kembali kepada jati diri bangsa sebagai negara agraris, melalui revitalisasi pertanian. Revitalisasi pertanian memiliki pengertian bahwa kita harus mulai untuk menempatkan sektor pertanian menjadi sektor andalan dalam melaksanakan pembangunan. Selama ini pertanian adalah sebuah sektor yang selalu diinferiorkan dalam kebijakan pembangunan. Indikatornya sangat jelas yaitu sangat rendahnya tingkat pendapatan petani yang notabene adalah aktor utamanya.
Revitalisasi pertanian mensyaratkan kebijakan komprehensif di semua lini. Mulai dari hulu produksi pangan, meliputi ketersediaan kredit modal, lahan, air untuk irigasi dalam paket infrastruktur, benih, pupuk, pestisida dan sarana produksi lainnya. Dilanjutkan dengan industri pasca panen dan pengolahan hasil pertanian. Departemen pertanian sebagai garda depan dalam pembangunan pertanian diharapkan menjadi motor penggerak keberhasilan program ini. Pada subsistem distribusi, perlu digarisbawahi bahwa perubahan Bulog dari Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) tidak akan efektif tanpa adanya langkah-langkah yang komprehensif dan konsisten dari pemerintah untuk menjabarkan strategi dan kebijakan ketahanan pangan yang dapat dijadikan acuan sekaligus mensinergikan seluruh komponen penunjang ketahanan pangan. Peran sosial Bulog dalam menjaga stabilitas harga melalui distribusi beras bersubsidi untuk rakyat miskin (Raskin) dan operasi pasar, belum menujukan efektifitas. Tak ayal, justru menimbulkan masalah domino, baik bersifat kasuistis maupun sistemik.
Pada akhirnya, konsep ketahanan pangan hanya dapat diwujudkan dengan sinergisitas antara subsistem ketersediaan yang mencakup produksi, pasca panen dan pengolahan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan dengan didukung sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi dan manajemen dalam hal kelembagaan, yang efektif. Tanpa kemauan politik (political will) pemerintah, tentunya kebijakan pangan hanya hiasan diatas kertas dan akan menjadi kontribusi utama menuju negara gagal (failed state).
Menuju Kedaulatan Pangan
Tentu krisis pangan global merupakan interkoneksi dari krisis pangan di sejumlah negara. Santosa (2008) menegaskan bahwa krisis pangan suatu bangsa ternyata bermuara pada situasi "tidak berdaulat atas pangan". Kedaulatan pangan (food sovereignty) memang berdimensi politik, sebagaimana pendapat Windfuhr dan Jansen (2005) yang menyatakan "food sovereignty is essentially a political concept". Kedaulatan pangan merupakan hak setiap bangsa/masyarakat untuk menetapkan pangan bagi dirinya sendiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa menjadikannya subyek berbagai kekuatan pasar internasional. Secara konseptual, terdapat prinsip-prinsip tentang kedaulatan pangan, diantaranya: (1) hak akses ke pangan; (2) reformasi agraria; (3) penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan; (4) pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan; (5) pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi; (6) melarang penggunaan pangan sebagai senjata; dan (7) pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.
Sejak dimulainya liberalisasi sektor perdagangan pada pertemuan Bretton Woods, Juli 1944, yang diinisiasi Dana Moneter Internasional (IMF), International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) kemudian menjadi Bank Dunia (World Bank), serta Organisasi Perdagangan Internasional (WTO). Sejumlah pertemuan itu disusul rangkaian pertemuan, puncaknya adalah Doha pada Juli 2006. Sedangkan, liberalisasi perdagangan pertanian internasional berlangsung sejak Putaran Uruguay (1986- 1994) dan pada saat yang sama terbentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk membuat dan merumuskan aturan-aturan dalam perdagangan dunia. Dalam pertemuan itu, pertanian secara vatalis dimasukkan ke sistem perdagangan internasional dan kesepakatan internasional dihasilkan, kemudian menjadi elemen penting dalam produksi dan pertukaran komoditas pertanian dunia. Kesepakatan Pertanian (The Agreement on Agriculture) disetujui, yang menekankan penurunan dukungan negara terhadap sektor pertanian, meningkatkan akses pasar untuk impor pertanian, dan pengurangan subsidi ekspor pertanian.
Kesepakatan lain adalah paten terhadap kehidupan yang dijamin dalam Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) yang menimbulkan reaksi penolakan kuat. Putaran Doha yang dimulai 2001 menyusun berbagai tahapan tentatif yang menyebabkan liberalisasi perdagangan pertanian kian tak terbendung. Sebenarnya, liberalisasi merupakan perwujudan konsep "perdagangan bebas" yang mendasarkan diri pada "keunggulan komparatif"-nya ekonom liberal David Ricardo.
Membangun suatu sistem yang efisien untuk perdagangan pangan internasional merupakan komponen vital guna menjamin ketahanan pangan dunia. Deputi Dirjen WTO menekankan, strategi ketahanan pangan nasional harus diletakkan dalam kerangka perdagangan internasional sebagaimana diatur WTO (WTO, 2002). Ketahanan pangan versi WTO ini merupakan konsep yang bias ke kepentingan negara-negara maju dan perusahaan multinasional.
Dari sisi ekonomi politik ketahanan pangan, berbagai kesepakatan internasional terkait menggeser kontrol atas ketahanan pangan dari ranah publik ke ranah privat. Kini 90% perdagangan pangan (serealia) dikuasai hanya oleh 5 perusahaan multinasional (MNC) (Oram, 2008), 90% pasar benih dan input pertanian (pestisida dan herbisida) dikuasai 6 MNC (Guzman, 2008). Demikian juga dengan 99,9% benih transgenik. Ketika krisis pangan melanda tahun 2008, pedagang pangan dunia menangguk keuntungan 55-189%, benih dan herbisida 21-54%, dan pupuk 186-1.200% dibanding dengan tahun sebelumnya (Angus, Global Research, 2008).
Kecenderungan itu sudah diperkirakan sehingga banyak pihak mengkritisi ketahanan pangan sebagai "kuda troya" kapitalisasi sistem pangan dunia yang memarjinalisasi petani kecil (Santosa, "Krisis Pangan dan Kebangkitan Petani", Kompas 13/6/2008). Pada 1996 muncul konsep kedaulatan pangan yang semula merupakan kerangka kebijakan dan wacana untuk mengangkat kesejahteraan petani kecil. Kedaulatan pangan lalu menjadi konsep yang berkembang paling cepat dan diadopsi ribuan organisasi petani, masyarakat lokal, LSM, lembaga kemasyarakatan, bahkan mulai diadopsi lembaga-lembaga di bawah PBB, termasuk lembaga pangan dunia, FAO.
Sebagai sebuah konsep, kedaulatan pangan sejajar dengan ketahanan pangan yang dibedakan pada elemen di dalamnya. Elemen-elemen itu meliputi model produksi pertanian agro-ekologis yang berbeda dengan pertanian industri, model perdagangan pertanian yang proteksionis dan mendorong pasar lokal dibandingkan liberal, menggunakan instrumen dari International Planning Committee for Food Security (IPC) yang berbeda dengan WTO, pendekatan terhadap sumber daya genetik pertanian yang bersifat komunal dan lebih cenderung antipaten yang bertolak belakang dengan TRIPS, serta wacana lingkungan green rationalism dibandingkan economic rationalism sebagaimana diadopsi dalam ketahanan pangan.
Di tengah klaim-klaim tentang produksi pertanian di Indonesia, di masa depan kita hadapkan pada masalah serius di bidang pangan. Tahun 2008, Indonesia merupakan importir pangan terbesar kedua di dunia setelah Mesir, lahan untuk pangan hanya 359 m per kapita. Kesejahteraan petani menurun dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya. Kini saatnya merenungkan dan mengkritisi paradigma pembangunan pertanian dan pangan nasional. Sekali lagi, tanpa kemauan politik (political will) pemerintah, tentunya kebijakan pangan hanya hiasan diatas kertas dan akan menjadi kontribusi utama menuju negara gagal (failed state).
Penulis adalah Managing Director Partisipasi Indonesia/PI, Sekjend Serikat Konstituen Indonesia/SAKTI, dan Kader Partai rakyat Demokratik/PRD
0 komentar:
Posting Komentar
Segala kritikan, cacian , makian dsb selalu diterim kirim juga pesan tau call : 0812 6034 7147 / 0819 3426 3185