RUDI HARTONO
BERDIKARI ONLINE, Jakarta: Menjelang Pilpres 2009, sejumlah mantan petinggi militer turut mewarnai arena pemilihan. Disini bisa disebutkan; Prabowo Subianto yang masih berupaya mencari jalan untuk menjadi kandidat, Wiranto yang sudah mendeklarasikan diri sebagai kandidat bersama JK, dan SBY yang punya kans paling besar. Tapi yang terakhir ini jarang sekali disebutkan sebagai personifikasi jenderal pelanggara HAM. Entah karena luput atau disengaja.
Aku bukan pendukung petingi-petinggi militer itu maupun Orde baru, bahkan menentangnya. Akan tetapi, hal yang perlu didiskusikan disini adalah benarkah kemunculan petingi-petinggi militer ini adalah musuh paling reaksioner bagi demokrasi dan bagi rakyat. Isu ini perlu diperdebatkan lagi, apalagi mendekatnya momen Pilpres boleh jadi menggelindingkan isu ini untuk menguntungkan salah satu kubu, SBY, sambil mendepak kubu yang lain; kubu jenderal pelanggar HAM.
Tidak Bisa Dimaafkan
Untuk membendung pengaruh sosialisme dan gerakan pembebasan nasional di berbagai belahan dunia, AS melancarakan intervensi politik secara langsung dan tidak lansung melalui operasi militer maupun gerakan intelijen. Pada saat itu, AS terlibat dalam penjatuhan sejumlah pemimpin yang terpilih secara demokratis dan mendapat mandate dari rakyat, seperti Jacobo Arbenz di Guatemala, Salvador Allende di Chile, Mohammed Moassadegh di Iran, hingga Soekarno di Indonesia.
Di Indonesia, orde baru yang disponsori oleh AS berhasil mengambil kekuasaan dari pemerintahan Soekarno, kemudian mengelolah kekuasaannya dengan cara-cara militeristik dan anti demokrasi. Pada awal kekuasaanya, orde baru telah membunuhi jutaan orang yang dianggap sebagai pendukung dan simpatisan PKI. Setelah itu, semua kekuatan politik yang potensial menjadi lawan politiknya pun dihajar, termasuk gerakan mahasiswa dan kelompok islam.
Banyak diantara kejahatan itu tidak terpublikasikan. Bahkan, ada sejumlah pihak yang berusaha menutupi fakta-fakta mengenaskan ini. Di akhir pemerintahannya, tepatnya pada tahun 1997-1998, kekuasaan orde baru kembali menciptakan korban; sejumlah aktifis di culik, dihilangkan, ada yang tewas terkena tembakan, hingga mereka yang menjadi korban dari sebuah kerusuhan pada bulan Mei. Dalam sebuah artikel, saya menyebut “Indonesia” sebagai negeri genosida, dimana berbagai pembantaian berlansung terhadap berbagai kelompok masyarakat, baik di jaman kolonial maupun di era yang disebut “kemerdekaan”.
Ketika orde baru tumbang, berbagai kasus tersebut tidak juga berhasil diungkap, bahkan beberapa pelaku utamanya masih bebas berkeliaran. Berhadapan dengan kebuntuan tersebut, para pejuang HAM tidak henti-hentinya menuntut kejelasan dan tanggung jawab negara. Namun, hasilnya tetap nihil. Negara tidak bisa bertanggung jawab, sebab tanggung jawab yang lebih jauh akan menyeret begitu banyak actor kekuasaan dalam persoalan ini. hal itu, bagaimanapun, bukan hal yang dikehendaki.
Imperialisme Humanitarian
Paska perang dingin, AS mulai merasa “bahaya merah” mulai menurun. Di samping itu, rejim-rejim militer yang diprakarsai AS mulai kehilangan kekuasaan dan bertumbangan satu per satu. Mulai dari Argentina hingga ke berbagai negara lain. Negeri-negeri imperialis, khususnya AS, mulai memikirkan ulang bentuk pendekatan dan justifikasi untuk melindungi kepentingan mereka di dunia ketiga. mereka mulai kembali untuk meneguhkan nilai-nilai tradisional mereka mengenai kebebasan, demokrasi, keadilan, dan hak azasi manusia.
Seperti yang dicatat oleh Jean Bricmont, penulis Humanitarian Imperialism, sejak berakhirnya perang dingin, kaum intelektual dan pemimpin di barat terseret pada sebuah dilemma untuk mencari bentuk justifikasi baru untuk segala bentuk intervensi mereka di dunia ketiga. AS kemudian buru-buru menarik dukungan terhadap rejim-rejim militer yang pernah disokongnya, setelah itu mereka mendokong proses yang disebut “demokrasi”, seperti pemilu regular, kebebasan pers, dan sebagainya. Dalam scenario baru ini, AS menggunakan isu HAM untuk melawan apa yang disebut ancaman “Hitler baru”.
Meskipun argumentasi Bricmont sebetulnya untuk membantah sejumlah argumentasi kiri eropa yang mengijinkan intervensi imperialis di beberapa tempat, seperti Kosovo, dengan alasan hak azasi manusia. Tetapi, bagi saya, konsep Bricmont juga berlaku kepada bentuk-bentuk intervensi imperial di berbagai belahan dunia lainnya melalui isu kemanusiaan.
Sekarang ini, sejumlah negara yang dicap mengabaikan HAM, seperti Kuba, Irak, China, Korea utara, dan terakhir Venezuela, merupakan negara-negara yang kurang harmonis dengan AS. Diluar China, misalnya, kebanyakan negara yang disebut “melanggar HAM” adalah negara-negara yang tidak mau didikte oleh kebijakan “Washington Consensus”.
Penilaian mereka sungguh tidak valid. Sebagai contoh, Human Rights Watch dalam releasenya yang berjudul Venezuela: Rights Suffer Under Chavez”, dikatakan, presiden Chavez telah melakukan diskriminasi politik terhadap oposisi, mencabut kebebasan berekspresi dan mengelurkan pendapat, membungkam media massa, dan menindas aksi protes oposisi. Pada kenyataannya, Chaves tidak pernah memberlakukan diskriminasi politik terhadap siapapun, justru ia berhasil mengembalikan hak-hak politik orang miskin yang merupakan mayoritas dari penduduk Venezuela. Ketika terjadi bentrokan antara polisi dan kaum oposisi, sejumlah penggiat HAM liberal lansung mengeluarkan kecaman. Akan tetapi, mereka tidak pernah mengeluarkan kecaman resmi terhadap peristiwa peristiwa “caracazo” pada februari 1989 yang menewaskan 300-3000 rakyat yang sedang memprotes “pasar bebas”nya IMF.
Pada tahun 1995, misalnya, Washintong menyimpulkan bahwa rejim di Haiti sudah terlampau lama melakukan penyiksaan dan kejahatan HAM, sehingga menjadi justifikasi bagi AS menjatuhkan junta. Pada kenyataannya, Yang dijatuhkan bukanlah junta, tetapi yang dijatuhkan AS adalah ekonomi Haiti yang mengarah ke kiri. Rejim yang ditunjuk oleh Washington kemudian adalah pembela neoliberalisme.
Ada beberapa hal yang perlu diberi catatan pada perkembangan baru ini; pertama, perubahan pendekatan dari yang awalnya mendukung kediktatoran militer dalam melawan bahaya “merah”, beralih menjadi pendukung pemilu regular, kebebasan pers dan media massa, penegakan HAM, dsb. Kedua, rejim-rejim yang terpilih dalam pemilu sama sekali tidak menjalankan mandate rakyat, tetapi kemudian menjalankan anjuran IMF dan kehendak korporasi-korporasi multinasional. Ketiga, antara rejim militer dengan rejim demokratis yang terpilih oleh pemilu mempunyai keterkaitan; mereka sama-sama tunduk kepada imperialisme AS.
Isu HAM dan Pemilu Presiden
Berbeda dengan peringatan bulan mei sebelumnya, gerakan yang mengangkat isu HAM harus berhati-hati, setidaknya karena beberapa hal; pertama, menjelang pilpres, isu HAM bukanlah isu yang netral, tetapi merupakan isu yang dapat dikendalikan untuk menyerang sosok capres tertentu dan memberi keuntungan kepada capres lain. Kedua, Isu HAM yang berkembang sekarang ini lebih banyak soal kejahatan kekerasan kemanusian, seperti penculikan, pembunuhan, kekerasan, dan sebagainya. Itupun berputar-putar pada peristiwa mei dan penculikan sejumlah aktifis pada tahun 1996-1998, maka isu ini begitu mudah dipermainkan untuk kepentingan kubu capres tertentu. Kenapa tidak mengungkap kejahatan pembantai 65-66?
Tidak dapat ditutupi, kubu Prabowo dan Wiranto merupakan kubu yang paling dirugikan, sementara kubu SBY sedikit diuntungkan karena cenderung dianggap kubu reformis. Padahal, kejahatan SBY terhadap kemanusiaan jauh lebih besar, terutama karena kebijakan neoliberalnya, seperti pemiskinan, pengangguran, dsb. Untuk itu, perlu dipikirkan agar isu HAM yang dibangun oleh gerakan perlu memikirkan hal-hal berikut; pertama, perspektif HAM-nya harus diperluas bukan hanya pelanggaran HAM berbentuk penculikan, penembakan, pembunuhan, dsb, tetapi juga hak azasi manusia di bidang ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB), sehingga neoliberalisme juga bisa kena batunya. Kedua, karena perspektifnya diperluas, maka sasaran tembaknya bukan hanya kepada capres-capres tertentu, tetapi juga harus mengarah kepada seluruh capres yang melanggar Hak Asasi rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, dan sebagainya.
Jadi, perspektif perjuangan HAM tidak bisa sekedar berbicara kerusuhan mei dan penculikan aktifis, tetapi harus berbicara luas mengenai pelanggaran ekosob yang dilakukan oleh neoliberalisme. Hal ini juga perlu dilakukan, supaya kita tidak terjebak penjahat yang belum agressif, namun memberikan peluang dan ruang besar kepada penjahat yang lebih ganas dan brutal.
Neoliberalisme dan Persoalan Demokrasi
Bagi saya, merupakan hal aneh jika ada yang beranggapan bahwa ancaman terbesar sekarang adalah kembalinya jenderal-jenderal pelanggar HAM dan tokoh-tokoh orde baru, sementara melupakan persoalan demokrasi yang lebih kasat mata, khususnya pelaksanaan pemilu curang pada 9 april lalu dan sejumlah represi yang kian sering terjadi. Kejahatan mereka nampak jelas di depan mata.
Perlu dijelaskan: kecurangan pemilu lalu merugikan perjuangan demokrasi dari berbagai aspek, diantaranya; (1) menghilangkan ruang bagi rakyat untuk berpartisipasi menentukan perwakilan dan arah politik dari pemerintahan. (2) menghidupkan kembali pola-pola lama yang pernah dianut rejim orde baru. Jadi, apa yang kita benci pada masa orba sehingga menggulirkan gerakan reformasi, kini kembali dihidupkan oleh rejim neoliberal, SBY; (3) kecurangan ini melahirkan pemerintahan yang tidak legitimate. Begitu kecurangan bekerja, maka suara rakyat secara real tidak punya nilai artikulasi politik lagi.
Sekarang ini, neoliberalisme bukan hanya ancaman bagi kesejahteraan rakyat, tetapi juga merupakan ancaman serius bagi demokrasi. Kenapa hal itu bisa terjadi? Dalam segala hal, rejim neoliberal yang sudah mulai kehilangan dukungan rakyat ini akan menggunakan cara-cara anti-demokrasi untuk mempertahankan kekuasaannya, seperti kecurangan pemilu dan mengorganisikan represifitas.
Nah, dalam konteks itu, neoliberalisme justru merupakan ancaman nyata terhadap baru, perlu ditekankan bahwa ancaman terhadap demokrasi sebagai hasil perjuangan kehidupan demokrasi. Untuk ini, saya mengajukan beberapa fakta; pertama, rejim neoliberal menggunakan kecurangan dan manipulasi untuk memenangkan pemilu. fakta dan data mengenai kecurangan pemilu tidak sulit didapatkan, tetapi hampir semua orang mengantongi data dan fakta mengenai hal ini, tentunya. Kedua, meningkatnya penggunaan represi dan intimidasi terhadap aksi-aksi protes yang digelar, seperti kejadian di aksi peringatan hari buruh sedunia di Kupang, aksi mahasiswa memperingati hari pendidikan nasional di Makasar, penangkapan aktifis Walhi di Manado, dan berbagai tempat yang tidak terekam catatan ini.
Dalam menghadapi berbagai momen peristiwa mei, terutama peringatan lengsernya orde reformasi bukan saja berasal dari kekuatan lama (orde baru), tetapi juga berasal dari sistim neoliberalisme. Jadi, jangan sampai kita menjadi pion-pion yang secara tidak sadar dikendalikan oleh sebuah kekuatan besar, neoliberalisme.
Rudi Hartono, Peneliti Lembaga Pembebasan dan Media Ilmu Sosial (LPMIS), Pengelola Jurnal Arah kiri, dan Pemimpin Redaksi Berdikari Online.
BERDIKARI ONLINE, Jakarta: Menjelang Pilpres 2009, sejumlah mantan petinggi militer turut mewarnai arena pemilihan. Disini bisa disebutkan; Prabowo Subianto yang masih berupaya mencari jalan untuk menjadi kandidat, Wiranto yang sudah mendeklarasikan diri sebagai kandidat bersama JK, dan SBY yang punya kans paling besar. Tapi yang terakhir ini jarang sekali disebutkan sebagai personifikasi jenderal pelanggara HAM. Entah karena luput atau disengaja.
Aku bukan pendukung petingi-petinggi militer itu maupun Orde baru, bahkan menentangnya. Akan tetapi, hal yang perlu didiskusikan disini adalah benarkah kemunculan petingi-petinggi militer ini adalah musuh paling reaksioner bagi demokrasi dan bagi rakyat. Isu ini perlu diperdebatkan lagi, apalagi mendekatnya momen Pilpres boleh jadi menggelindingkan isu ini untuk menguntungkan salah satu kubu, SBY, sambil mendepak kubu yang lain; kubu jenderal pelanggar HAM.
Tidak Bisa Dimaafkan
Untuk membendung pengaruh sosialisme dan gerakan pembebasan nasional di berbagai belahan dunia, AS melancarakan intervensi politik secara langsung dan tidak lansung melalui operasi militer maupun gerakan intelijen. Pada saat itu, AS terlibat dalam penjatuhan sejumlah pemimpin yang terpilih secara demokratis dan mendapat mandate dari rakyat, seperti Jacobo Arbenz di Guatemala, Salvador Allende di Chile, Mohammed Moassadegh di Iran, hingga Soekarno di Indonesia.
Di Indonesia, orde baru yang disponsori oleh AS berhasil mengambil kekuasaan dari pemerintahan Soekarno, kemudian mengelolah kekuasaannya dengan cara-cara militeristik dan anti demokrasi. Pada awal kekuasaanya, orde baru telah membunuhi jutaan orang yang dianggap sebagai pendukung dan simpatisan PKI. Setelah itu, semua kekuatan politik yang potensial menjadi lawan politiknya pun dihajar, termasuk gerakan mahasiswa dan kelompok islam.
Banyak diantara kejahatan itu tidak terpublikasikan. Bahkan, ada sejumlah pihak yang berusaha menutupi fakta-fakta mengenaskan ini. Di akhir pemerintahannya, tepatnya pada tahun 1997-1998, kekuasaan orde baru kembali menciptakan korban; sejumlah aktifis di culik, dihilangkan, ada yang tewas terkena tembakan, hingga mereka yang menjadi korban dari sebuah kerusuhan pada bulan Mei. Dalam sebuah artikel, saya menyebut “Indonesia” sebagai negeri genosida, dimana berbagai pembantaian berlansung terhadap berbagai kelompok masyarakat, baik di jaman kolonial maupun di era yang disebut “kemerdekaan”.
Ketika orde baru tumbang, berbagai kasus tersebut tidak juga berhasil diungkap, bahkan beberapa pelaku utamanya masih bebas berkeliaran. Berhadapan dengan kebuntuan tersebut, para pejuang HAM tidak henti-hentinya menuntut kejelasan dan tanggung jawab negara. Namun, hasilnya tetap nihil. Negara tidak bisa bertanggung jawab, sebab tanggung jawab yang lebih jauh akan menyeret begitu banyak actor kekuasaan dalam persoalan ini. hal itu, bagaimanapun, bukan hal yang dikehendaki.
Imperialisme Humanitarian
Paska perang dingin, AS mulai merasa “bahaya merah” mulai menurun. Di samping itu, rejim-rejim militer yang diprakarsai AS mulai kehilangan kekuasaan dan bertumbangan satu per satu. Mulai dari Argentina hingga ke berbagai negara lain. Negeri-negeri imperialis, khususnya AS, mulai memikirkan ulang bentuk pendekatan dan justifikasi untuk melindungi kepentingan mereka di dunia ketiga. mereka mulai kembali untuk meneguhkan nilai-nilai tradisional mereka mengenai kebebasan, demokrasi, keadilan, dan hak azasi manusia.
Seperti yang dicatat oleh Jean Bricmont, penulis Humanitarian Imperialism, sejak berakhirnya perang dingin, kaum intelektual dan pemimpin di barat terseret pada sebuah dilemma untuk mencari bentuk justifikasi baru untuk segala bentuk intervensi mereka di dunia ketiga. AS kemudian buru-buru menarik dukungan terhadap rejim-rejim militer yang pernah disokongnya, setelah itu mereka mendokong proses yang disebut “demokrasi”, seperti pemilu regular, kebebasan pers, dan sebagainya. Dalam scenario baru ini, AS menggunakan isu HAM untuk melawan apa yang disebut ancaman “Hitler baru”.
Meskipun argumentasi Bricmont sebetulnya untuk membantah sejumlah argumentasi kiri eropa yang mengijinkan intervensi imperialis di beberapa tempat, seperti Kosovo, dengan alasan hak azasi manusia. Tetapi, bagi saya, konsep Bricmont juga berlaku kepada bentuk-bentuk intervensi imperial di berbagai belahan dunia lainnya melalui isu kemanusiaan.
Sekarang ini, sejumlah negara yang dicap mengabaikan HAM, seperti Kuba, Irak, China, Korea utara, dan terakhir Venezuela, merupakan negara-negara yang kurang harmonis dengan AS. Diluar China, misalnya, kebanyakan negara yang disebut “melanggar HAM” adalah negara-negara yang tidak mau didikte oleh kebijakan “Washington Consensus”.
Penilaian mereka sungguh tidak valid. Sebagai contoh, Human Rights Watch dalam releasenya yang berjudul Venezuela: Rights Suffer Under Chavez”, dikatakan, presiden Chavez telah melakukan diskriminasi politik terhadap oposisi, mencabut kebebasan berekspresi dan mengelurkan pendapat, membungkam media massa, dan menindas aksi protes oposisi. Pada kenyataannya, Chaves tidak pernah memberlakukan diskriminasi politik terhadap siapapun, justru ia berhasil mengembalikan hak-hak politik orang miskin yang merupakan mayoritas dari penduduk Venezuela. Ketika terjadi bentrokan antara polisi dan kaum oposisi, sejumlah penggiat HAM liberal lansung mengeluarkan kecaman. Akan tetapi, mereka tidak pernah mengeluarkan kecaman resmi terhadap peristiwa peristiwa “caracazo” pada februari 1989 yang menewaskan 300-3000 rakyat yang sedang memprotes “pasar bebas”nya IMF.
Pada tahun 1995, misalnya, Washintong menyimpulkan bahwa rejim di Haiti sudah terlampau lama melakukan penyiksaan dan kejahatan HAM, sehingga menjadi justifikasi bagi AS menjatuhkan junta. Pada kenyataannya, Yang dijatuhkan bukanlah junta, tetapi yang dijatuhkan AS adalah ekonomi Haiti yang mengarah ke kiri. Rejim yang ditunjuk oleh Washington kemudian adalah pembela neoliberalisme.
Ada beberapa hal yang perlu diberi catatan pada perkembangan baru ini; pertama, perubahan pendekatan dari yang awalnya mendukung kediktatoran militer dalam melawan bahaya “merah”, beralih menjadi pendukung pemilu regular, kebebasan pers dan media massa, penegakan HAM, dsb. Kedua, rejim-rejim yang terpilih dalam pemilu sama sekali tidak menjalankan mandate rakyat, tetapi kemudian menjalankan anjuran IMF dan kehendak korporasi-korporasi multinasional. Ketiga, antara rejim militer dengan rejim demokratis yang terpilih oleh pemilu mempunyai keterkaitan; mereka sama-sama tunduk kepada imperialisme AS.
Isu HAM dan Pemilu Presiden
Berbeda dengan peringatan bulan mei sebelumnya, gerakan yang mengangkat isu HAM harus berhati-hati, setidaknya karena beberapa hal; pertama, menjelang pilpres, isu HAM bukanlah isu yang netral, tetapi merupakan isu yang dapat dikendalikan untuk menyerang sosok capres tertentu dan memberi keuntungan kepada capres lain. Kedua, Isu HAM yang berkembang sekarang ini lebih banyak soal kejahatan kekerasan kemanusian, seperti penculikan, pembunuhan, kekerasan, dan sebagainya. Itupun berputar-putar pada peristiwa mei dan penculikan sejumlah aktifis pada tahun 1996-1998, maka isu ini begitu mudah dipermainkan untuk kepentingan kubu capres tertentu. Kenapa tidak mengungkap kejahatan pembantai 65-66?
Tidak dapat ditutupi, kubu Prabowo dan Wiranto merupakan kubu yang paling dirugikan, sementara kubu SBY sedikit diuntungkan karena cenderung dianggap kubu reformis. Padahal, kejahatan SBY terhadap kemanusiaan jauh lebih besar, terutama karena kebijakan neoliberalnya, seperti pemiskinan, pengangguran, dsb. Untuk itu, perlu dipikirkan agar isu HAM yang dibangun oleh gerakan perlu memikirkan hal-hal berikut; pertama, perspektif HAM-nya harus diperluas bukan hanya pelanggaran HAM berbentuk penculikan, penembakan, pembunuhan, dsb, tetapi juga hak azasi manusia di bidang ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB), sehingga neoliberalisme juga bisa kena batunya. Kedua, karena perspektifnya diperluas, maka sasaran tembaknya bukan hanya kepada capres-capres tertentu, tetapi juga harus mengarah kepada seluruh capres yang melanggar Hak Asasi rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, dan sebagainya.
Jadi, perspektif perjuangan HAM tidak bisa sekedar berbicara kerusuhan mei dan penculikan aktifis, tetapi harus berbicara luas mengenai pelanggaran ekosob yang dilakukan oleh neoliberalisme. Hal ini juga perlu dilakukan, supaya kita tidak terjebak penjahat yang belum agressif, namun memberikan peluang dan ruang besar kepada penjahat yang lebih ganas dan brutal.
Neoliberalisme dan Persoalan Demokrasi
Bagi saya, merupakan hal aneh jika ada yang beranggapan bahwa ancaman terbesar sekarang adalah kembalinya jenderal-jenderal pelanggar HAM dan tokoh-tokoh orde baru, sementara melupakan persoalan demokrasi yang lebih kasat mata, khususnya pelaksanaan pemilu curang pada 9 april lalu dan sejumlah represi yang kian sering terjadi. Kejahatan mereka nampak jelas di depan mata.
Perlu dijelaskan: kecurangan pemilu lalu merugikan perjuangan demokrasi dari berbagai aspek, diantaranya; (1) menghilangkan ruang bagi rakyat untuk berpartisipasi menentukan perwakilan dan arah politik dari pemerintahan. (2) menghidupkan kembali pola-pola lama yang pernah dianut rejim orde baru. Jadi, apa yang kita benci pada masa orba sehingga menggulirkan gerakan reformasi, kini kembali dihidupkan oleh rejim neoliberal, SBY; (3) kecurangan ini melahirkan pemerintahan yang tidak legitimate. Begitu kecurangan bekerja, maka suara rakyat secara real tidak punya nilai artikulasi politik lagi.
Sekarang ini, neoliberalisme bukan hanya ancaman bagi kesejahteraan rakyat, tetapi juga merupakan ancaman serius bagi demokrasi. Kenapa hal itu bisa terjadi? Dalam segala hal, rejim neoliberal yang sudah mulai kehilangan dukungan rakyat ini akan menggunakan cara-cara anti-demokrasi untuk mempertahankan kekuasaannya, seperti kecurangan pemilu dan mengorganisikan represifitas.
Nah, dalam konteks itu, neoliberalisme justru merupakan ancaman nyata terhadap baru, perlu ditekankan bahwa ancaman terhadap demokrasi sebagai hasil perjuangan kehidupan demokrasi. Untuk ini, saya mengajukan beberapa fakta; pertama, rejim neoliberal menggunakan kecurangan dan manipulasi untuk memenangkan pemilu. fakta dan data mengenai kecurangan pemilu tidak sulit didapatkan, tetapi hampir semua orang mengantongi data dan fakta mengenai hal ini, tentunya. Kedua, meningkatnya penggunaan represi dan intimidasi terhadap aksi-aksi protes yang digelar, seperti kejadian di aksi peringatan hari buruh sedunia di Kupang, aksi mahasiswa memperingati hari pendidikan nasional di Makasar, penangkapan aktifis Walhi di Manado, dan berbagai tempat yang tidak terekam catatan ini.
Dalam menghadapi berbagai momen peristiwa mei, terutama peringatan lengsernya orde reformasi bukan saja berasal dari kekuatan lama (orde baru), tetapi juga berasal dari sistim neoliberalisme. Jadi, jangan sampai kita menjadi pion-pion yang secara tidak sadar dikendalikan oleh sebuah kekuatan besar, neoliberalisme.
Rudi Hartono, Peneliti Lembaga Pembebasan dan Media Ilmu Sosial (LPMIS), Pengelola Jurnal Arah kiri, dan Pemimpin Redaksi Berdikari Online.